Minggu, 30 Agustus 2015
indonesia dan kerjasama regional
MAKALAH
Sejarah Indonesia Kontemporer
“Indonesia dan Kerja Sama Regional”
Disusun
oleh :
kelompok 3
Nandia Pitri : 1106542/2011
Fitri Handayani : 1106580/2011
Sintia Mardiska : 1106551/2011
Muhammad Dori S : 1106556/2011
Aulia Bonanta : 1106550/2011
Ruth Neni : 55243/2010
JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2014
Indonesia dan Kerjasama Regional (ZOPFAN, SEANWFZ, dan Masalah Kamboja)
Dengan munculya ASEAN (Association of Southest Asia Nation) sebagai asosiasi bangsa-bangsa Asia Tenggara, yang membuat ASEAN ini sebagai fondasi politik luar negeri Indonesia. Karena pada saat itu perhatian utama dari elit baru adalah upaya untuk menciptakan stabilitas politik di wilayah regional, khususnya diantara negara-negara di ASEAN non-Komunis. Sehingga dengan stabilitasnya keadaan regional maka Indonesia mampu membangun ekonominya pada saat itu.
1. ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality Declaration)
Ketika Soekarno yang berkuasa hubungan Indonesia – Malaysia sangat hangat karena pada saat itu Indonesia anti kolonialis dan antiimperealis yang berbeda dengan Malaysia. Pada saat itu Soekarno menginginkan adanya Maphilindo yaitu suatu organisasi embrio, yang diharapkan menjadi dunia Melayu antara Malaysia – Thailand – Indonesia. Tetapi setelah Soeharto yang menjadi pemimpin Indonesia, konfrontasi dengan Malaysia berakhir serta hubungan kedua negara dipulihkan. Dengan cara dikirimkan dosen dan guru Indonesia ke Malaysia untuk mengajar di sekolah Melayu yang baru didirikan; pada tahun 1972, bahasa Melayu dan Indonesia disatukan menjadi satu ejaan yang sama; latihan militer bersama untuk menghancurkan komunis di Sabah dan Serawak.
Ketika Tun Razak menjadi PM Malaysia, hubungan kedua negara semakin membaik karena ia mulai menata kembali politik luar negeri Malaysia untuk menganjurkan netralisasi dan pembentukan Zona Perdamaian, Kemerdekaan, dan Netralitas (ZOPFAN – Zone of Peace, Freedom, and Neutrality Declaration) yang ditanda tangani di Kuala Lumpur pada tahun 1971 yang merupakan upaya ASEAN untuk membentuk kawasan yang damai, bebas, dan netral dari segala bentuk campur tangan pihak di luar Asia Tenggara . Selain itu, ZOPFAN juga mencakup kawasan Asia Pasifik termasuk Major Power dalam bentuk seramgkaian tindak pengekangan diri secara sukarela (voluntary self-restraints).
Hubugan Jakarta – Kuala Lumpur semakin membaik pada masa Hussein Onn menjadi PM Malaysia. Untuk kerukunan ASEAN dan Deklarasi Bali, maka pada tahun 1976 pemimpin ASEAN mengadakan pertemuan pertama di Bali. Pada tahun 1980 Soeharto bertemu Hussein Onn yang menghasilakan Doktrin Kuantan, yang menganggap bahwa Vietnam di bawah tekanan Cina yang pada akhirnya Vietnam akan legih mendekati Uni Soviet hal itulah yang akan membahayakan keamanan regional. Doktrin ini menawarkan bantuan kepada Vietnam. Indonesia selain mendukung adanya ZOPFAN ia juga mengeluarkan doktrin baru yaitu Zona Bebas Senjata Nuklir (SEANWFZ – Southeast Asian Nuclear Weapons Free Zone) yang merupakan bagian dari ZOPFAN untuk melengkapi ZOPFAN itu sendiri.
Konsep ZOPFAN sebenarnya merupakan kompromi dari berbagai pendapat negara anggota ASEAN khususnya Indonesia dan Malaysia. Prakarsa netralitas ASEAN oleh Malaysia dilatar belakangi dengan pertimbangan politik domestik kerusuhan berdarah di Malaysia tahun 1969. Konflik rasial ini dikhawatirkan akan mengundang perhatian China karena banyaknya warga Malaysia keturunan Cina. Malaysia berharap agar prinsip netralitas tersebut bisa menghalangi Cina melakukan campur tangan terhadap urusan dalam negeri Malaysia. Sementara Indonesia menerjemahkan ZOPFAN sebagai netralitas ASEAN dari kerjasama militer dengan negara-negara barat. Adalah ironis kerjasama militer antara Malaysia, Singapura, Inggris, Australia, dan Selandia Baru yang tergabung dalam Five Powers Defence Arrangement (FPDA), ditandatangani pada tahun yang sama dengan lahirnya konsep ZOPFAN pada tahun 1971. Di dalam deklarasi ZOPFAN terdapat berbagai langkah prosedural dan strategis untuk memenuhi tuntutan tersebut yang secara keseluruhan bukan hanya memusatkan perhatiannya pada perlucutan senjata atau pencegahan profilerasi nuklir melainkan meliputi juga kerjasama politik, ekonomi dan fungsional lainnya. ZOPFAN bisa mengurangi kebutuhan akan intervensi militer langsung negara-negara besar, dan yang lebih penting lagi, menghindarkan negara-negara kecil mengundang atau mempropokasi keterlibatan negara-negara besar dalam masalah-masalah bilateralnya.
2. SEANWFZ (Southeast Asian Nuclear Weapons Free Zone)
Selain mendukung ZOPFAN indonesia juga membuat doktrin baru yaitu SEANWFZ yang merupakan zona bebas senjata nuklir yang merupakan bagian dari ZOPFAN. Karena Indonesia menganggap bahwa jika ZOPFAN tidak dapat tercapai, maka SEANWFZ lah yang harus dijalankan terlebih dahulu. Yang pada akhirnya Zona Bebas Senjata Nuklir ini dimasukkan kedalam deklarasi Manila pada tahun 1987 .
Pembentukan SEANWFZ merupakan upaya negara di Asia Tenggara untuk meningkatkan keamanan da stabilitas kawasan baik regional maupun global, dan rangka untuk mendukung upaya tercapainya suatu pelucutan dan pelanggaran senjata nuklir secara umum dan menyeluruh. Penandatanganan traktat SEANWFZ di Bangkok pada tanggal 15 Desember 1995 dan sudah diratifikasi oleh seluruh negara ASEAN. Penandatangan Traktat ini merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi ASEAN dalam upaya untuk mewujudkan kawasan Asia Tenggara yang aman dan stabil serta usaha untuk mewujudkan perdamaian dunia .
Kawasan Bebas Senjata Nuklir (KBSN) terbentuk pada KTT ASEAN ke 5 di Bangkok 18 Desember 1996. Perlucutan senjata khususnya senjata nuklir, merupakan hal yang sulit dan kompleks, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif dan beragam, yang mencakup pendekatan global maupun regional. Pembentukan suatu KBSN pada umumnya dianggap sebagai upaya pengawasan senjata atau non proliferasi regional (regional arms control and non profileration measures), dengan tujuan memberikan keamanan yang lebih baik bagi negara-negara di kawasan dengan tidak membiarkan negara-negara kawasan untuk memiliki senjata nuklir. Pembentukan KBSN memperkuat NPT (Non profileration treaty) karena secara tegas melarang penempatan senjata nuklir di suatu kawasan oleh negara-negara luar kawasan. Negara-negara penandatangan juga berharap melalui pengaturan semacam ini mereka dapat menjauhkan diri dari semua aktivitas nuklir yang berhubungan dengan negara-negara nuklir sehingga tidak terseret dalam persaingan negara-negara besar. Adanya ketentuan bagi negara-negara nuklir untuk memberikan jaminan untuk tidak menggunakan atau mengancam untuk menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara non nuklir.
3. Masalah Kamboja
Konflik Internal Kamboja
Pada masa kepemimpinan Pangeran Sihanouk Kamboja sudah bekerja sama dengan negara-negara barat terutama dengan Perancis dan Amerika Serikat. Dengan dukungan dari Amerika Serikat banyaknya masalah yang terjadi, Lon Nol menteri pertahanan saat itu melakukan kudeta terhadap pemerintahan Pangeran Sihanouk, dengan beberapa alasan; pertama, Pangeran Sihanouk mengizinkan pasukan sementara Vietnam Selatan menduduki wilayah Kamboja, dan hal tersebut jelas-jelas dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Kamboja. Kedua, Pangeran Sihanouk dianggap otoriter karena bertindak tanpa memperhatikan Undang-Undang dan Konstitusi. Ketiga, karena Pangeran Sihanouk bersifat pilih kasih terhadap keluarga dalam memilih orang-orang yang akan duduk dalam kursi pemerintahan. Dan yang terakhir, Pangeran dituduh membiarkan terjadinya korupsi diantara keluarga - keluarga kerajaan.
Setelah berhasil menjatuhkan kepemimpinan Pangeran Sihanouk, di bawah kepemimpinan Lon Nol dan pengaruh Amerika Serikat, Kamboja menjadi negara yang sangat pro barat. Sikap terbuka Kamboja ini dimanfaatkan AS untuk membendung pengaruh Komunis yang sedang menjalar dikawasan Indochina dan Asia Tenggara. Tetapi pemerintahan Lon Nol tidak bertahan lama. Pada tahun 1975 Pemerintahan Khmer Republic dijatuhkan oleh Democratic Kampuchea (DK) di bawah rezim Khmer Merah, dengan Pol Pot sebagai pemimpinnya. Dibawah pemerintahan Pol Pot inilah Kamboja menjadi negara beraliran komunis dan terisolir dari hubungan diplomatik. Ia memutuskan hubungan dengan negara-negara di kawasan regionalnya dan di belahan dunia lainnya, kecuali dengan Cina, Vietnam, dan Swedia. PBB pun tidak mengakui adanya pemerintahan ini.
Politik Luar Negeri yang di jalankan oleh Demokratik Kampuchea ini disebut sebagai konsep Year Zero, yaitu revolusi destruktif yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan secara massal dalam suatu periode.
Invasi Vietnam ke Kamboja
Pada Desember 1978 Vietnam benar-benar menginvasi kamboja, menggulingkan rejim Pol Pot (yang haus darah), dan menanamkan pemerintahan Heng Samrin pro-vietnam. denagn dukungan pasukan kuat vietnam bertahan menguasai Kamboja, yang diubah menjadi RRK (Republik Rakyat Kamboja). Sementara tokoh RRK seperti Heng Samrin, Chea Sim, dan Hun Sen sebenarnya adalah mantan komandan Khmer Merah di kawasan timur Kamboja. Mereka menentang keganasan Pol Pot dan melarikan diri ke Vietnam. Di sanalah para pemberontak ini dilatih dan dipersiapkan Vietnam untuk kemudian merebut dan menduduki Kamboja dengan dukungan pasukan Vietnam .
Invasi Vietnam ke Kamboja menciptakan persoalan serius di sekitar perbatasan wilayah Thailand-Kamboja. Sisa-sisa pasukan Khmer Merah yang masih bertahan plus puluhan ribu pengungsi dari Kamboja memenuhi wilayah tersebut. Konflik bersenjata di kawasan tersebut tidak terhindarkan .
Penyelesaian Invasi Vietnam ke Kamboja
Sikap Vietnam yang menginvasi kamboja sangat dikecam keras oleh negara-negara ASEAN. Para Menlu ASEAN mengeluarkan suatu keputusan bersama tanggal 7 Januari 1979 di Jakarta. Dalam Komunike itu dinyatakan bahwa ASEAN mengutuk invasi bersenjata Vietnam ke Kamboja, serta menegaskan hak-hak rakyat Kamboja untuk menentukan masa depannya yang terbebas dari campur tangan pihak luardan menyerukan penarikan pasukan asing dari Kamboja. Namun pernyataan tersebut di tolak oleh Vietnam dan penolakan yang dilakukan Vietnam mengakibatkan seruan-seruan perang yang muncul di setiap wilayah Kamboja.
Kamboja semakin komplek dengan campur tangan pihak luar, seperti RRC dan AS. Untuk memecahkan masalah Kamboja pada bulan Juli 1988 di Istana Bogor (Indonesia) berkumpul pihak-pihak yang bertikai dan pertemuan tersebut dikenal dengan JIM (Jakarta Informal Meeting). Kemudian untuk menindak lanjuti JIM yang pertama pada bulan Februari 1989 diadakan JIM II dan berhasil menemukan 2 masalah penting, yaitu:
• Penarikan pasukan Vietnam dari kamboja akan dilaksanakan dalam kaitannya dalam penyelesaian politik menyeluruh. Vietnam mulai memberikan janji dan bersedia menarik pasukannya dari Kamboja;
• Muncul upaya untuk mencegah kembalinya rezim Pol Pot, yang semasa berkuasa di Kamboja telah melakukan pembantaian keji terhadap sekitar sejuta rakyat.
Daftar Bacaan
Dian Triansyah Djani. 2007. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Direktorat Jenderal Kerja
Sama ASEAN.
Leo Suryadinata. 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar