Minggu, 30 Agustus 2015
masalah fakta dalam sejarah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat sejarah kritis hadir untuk menggantikan filsafat sejarah spekulatif yang deskriptin – naratif karena untuk mengetahui pengetahuan baru tentang sejarah. Sehingga lahirlah filsafat sejarah naratif untuk menggugat paradigma mainstrem sejarah ilmiah yang bersumber kepada pemikiran filsafat sejarah kritis. Dalam sejarah masalah fakta bukan hal baru lagi. Dalam sejarah, kredibelitas fakat sudah lama diperbincangkan. Dari penulisan-penulisan sejarah yang sudah ada, banyak terjadi perdebat tentang kebenaran sebuah sejarah. Seorang sejarawan tentu tau bagaimana pentingnya peran sebuah fakta dalam sejarah. Hal ini yang menimbulkan banyaknya masalah fakta dalam sejarah. Sebuah fakta dapat disalahgunakan, sehingga menimbulkan sebuah cerita sejarah yang salah. Masalah ini akan dapat mengurangi kemurnian sebuah ilmu sejarah.
Seorang sejarawan harus siap dengan masalah-masalah fakta yang telah ada. Seorang sejarawan harus jeli dalam menyeleksi sebuah fakta agar penulisan sejarah yang dibuat sejarawan dapat dipertanggungjawabkan. Jadi dengan adanya makalah ini mungkin bisa membantu untuk lebih teliti dan memahami masalah fakta dalam sejarah. Makalah ini juga membantu lebih kritis dalam memahi cerita sejarah.
B. Batasan Masalah
Jika dilihat dari latar belakang masalah di atas maka batasan masalah dalam makalah ini adalah membahas tentang pendekatan dan fakta dalam sejarah.
C. Rumusan masalah
Rumusan makalah untuk masalah ini adalah sebagai berikut:
a. Apa-apa saja Pendekatan dalam sejarah?
b. Apa defenisi fakta sejarah?
c. Apa-apa saja masalah fakta yang ada dalam sejarah?
BAB II
PEMBAHASAN
Pendekatan dan Fakta dalam Sejarah
1. Pendekatan dalam sejarah
A. Rekonstruksionis
Model pendekatan rekonstruksionis ini berasal dari tradisi penelitian dan penulisan sejarah pada abad ke – 19. Sebagai disiplin ilmu, sejarh dianggap sebagai studi empirik karena sejarawan mempunyai tugas untuk merekontruksi sejarah secara objektif yang apa adanya tanpa memasukkan unsur pribadi kedalamnya. Sejarawan percaya bahwa masa silam dapat disusun kembali berdasarkan bukti-bukti yang ada, yang selanjutnya dalam proses rekonstruksi sejarah mereka mampu membebaskan prasangka idiologis dan subjektivitas dalam penulisan peristiwa tersebut.
Masa silam dengan masa kini atau masa sekarang adalah sesuatu yang nyata dan benar adanya, yang sesuai dengan fakta-fakta dalam sumber. Karena setiap bangsa mengerti peristiwa masa lampaunya berdasarkan pemahaman sendiri karena setiap bangsa memiliki asal usul dan perkembangan yang berbeda. Sehingga siapa pun yang menanyakan kebenaran fakta-fakta sejarah yang sama dapat ditafsirkan secara jujur dengan cara yang berbeda-beda. Sehingga, Realitas masa silam adalah partikular, unik dan tidak mungkin digeneralisasikan.
Rekonstruksi sejarah harus ada pembatasan yang jelas antara fakta dan nilai. Karena sejarawan untuk dapat bermakna harus mempunyai ukuran atika dan estetika dan suatu kerangka referensi. Sehingga semangat ilmiah diperlihatkan oleh suatu kesediaan untuk mengerti potensi metode sejarah dalam melakukan pilihan dan suatu pengakuan tentang adanya tempat bagi ketidak sepakatan antara sejarawan. Karena ia merasa wajib untuk mengumpulkan semua data relevan yang dapat ditemukannya dengan harapan bahwa suatu pertimbangan pada akhirnya dapat dibenarkan; ia akan berusaha untuk memberikan kesaksian didalam data yang dikumpulkannya dengan penilaian yang penuh, apa adanya; ia melakukan usaha untuk menjauhkan diri sikap subjektif, sehingga jelas antara subjek dan objek; data yang diperoleh atau tidak diperoleh tidak mencukupi suatu kesimpulan; sehingga pada akhirnya ia akan menghindari kesimpulan yang tidak berdasarkan dan berusaha untuk mengajukan konklusi sebagai kesimpulan logis dari bukti yang telah diajukan.
B. Konstruksionis
Model pendekatan ini berasal dari tradisi pemikiran strukturalisme, yang menganggap bahwa dunia nyata termasuk alam manusia yang terdiri dari unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam menjalankan fungsinya dengan menjelaskan dunia manusia serta kehidupannya harus dijelaskan melalui sistem relasi yang membentuk satu kesatuan. Sehingga, Metode penalaran induktif model sejarah rekonstruksonisme tidak mungkin bekerja secara independen atau sendiri atau lepas dari metode penalaran deduktif yang memerlukan hipotesis yang bersifat a priori. Karena sejarah yang utuh selalu melibatkan berbagai dimensi karena penafsiran yang menekankan pada satu aspek hanyalah salah satu penafsiran yang berupaya mencari kebenaran. Satu faktor dalam sejarah secara konstan mempengaruhi faktor lain melalui interaksi dan saling mempengaruhi.
Sehingga para ilmuwan sosial terbiasa menjelaskan kebiasaan adat serta kebiasaan dan pranata sosial di masa lalu menurut fungsi sosialnya yaitu dengan cara menganalisis sumbangan setiap unsur terhadap keutuhan keseluruhan struktur. Pada awalnya, ilmu politik dan ilmu geografi merupakan bidang yang sangat erat hubungannya dengan sejarah konvensional karena mampu memperluas intrepretasi. Geografi merupakan panggung sejarah karena dimensi ruang mampu menjelaskan kejadian sejarah terutama yang berhubungan dengan sumber dan bentuk-bentuk tanah serta peristiwa sejarah manusia. Ilmu politik berusaha untuk menjelaskan secara analitis dan sistematis tentang rentang data politik dan kejadian yang mempengaruhi pengalaman sejarah manusia. Melalui statistika sejarawan dapat melihat perubahan konjungtur aktivitas ekonomi yang terjadi dalam masyarakat. Sosiologi yang lebih menekankan kepada jaringan informal dengan hubungan formal antar manusia, sehingga sejarah itu adalah hasil dari interaksi antar manusia. Antropologi, berbagai pola perilaku dan keyakinan yang membedakan masyarakat dalam suatu kebudayaan memungkinkan sejarawan untuk memahami komunitas sejarah yang ditelitinya secara cermat. Psikologi, yang terkait dengan masalah psikis, pikiran, emosi, dan perilaku mampu mamberikan referensi dalam melihat keberadaan manusia; sehingga mampu membantu sejarawan dalam menjelaskan perilaku masyarakat serta melihat aspek kesadaran kolektif masyarakat di masa lampau.
Sehingga, Pengungkapan fakta mengenai peristiwa sejarah tidak harus tertuju pada sejarah politik saja atau sejarah orang besar, melainkan mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat dengan kehidupan masa sekarang. Karena sejarah memahami realitas individual sejarah tertentu dan mencoba mengerti hasil dan konsekuensinya. Karena sejarah secara luas mengarah kepada kebenaran, ketertkaitan yang kompleks mengenai motif, sebab, kesempatan, dan keadaan dalam kehidupan manusia. Sehingga sejarawan menunjukkan bagaimana bentuk kebijaksanaan, kebrengsekan, komedi dan tragedi drama kehidupan manusia.
Menurut kaum strukturalis, mental strukturalisme terletak pada kesadaran manusia dan tampak dalam dunia nyata yang tercermin dalam struktur bahasa, hubungan kekerabatan, mitos bahkan pola konsumsi bahan makanan. Para pengikut aliran ini percaya bahwa kenyataan sejarah hanya dapat dipahami bila dikenali strukturnya. Struktur ini terdiri dari suatu jaringan sistem yang dapat diidentifikasi melalui penyelidikan ilmiah. Tugas sejarawan pada tahap ini yaitu menemukan struktur peristiwa serta maknanya. Dengan kata lain, tugas sejarawan bukan merekonstruksi peristiwa masa lalu melainkan menstrukturkan, memolakan peristiwa sejarah dan menjelaskan hubungan-hubungan kausal atau sebab – akibat. Sehingga, Sejarawan bukan hanya pekerja teknis sebagai tukang kumpul fakta, tetapi menjadi analisis masa lampau, karena bukan hanya menyusun hubungan kausal yang bersifat kronologis tetapi menurut logika deduktif dengan hukum-hukum kausal dengan menggunakan model CLM. Kajian sejarah tidak hanya bersifat naratif, melainkan harus mampu membangun generalisasi sejarah yang memadai dan komparasi dan bermanfaat untuk memahami pola-pola sejarah dalam kontinuitas atau keberlanjutan, dan perubahan dalam sejarah melalui pendekatan sinkronik dan diakronik.
C. Dekonstruksionisme
Pendekatan ini merupakan pemdekatan yang mengarah kepada filsafat sejarah naratif, karena mereka mengajukan untuk pemahaman baru tentang sejarah yang sesuai dengan sifatnya karena menegaskan pemahaman sejarah yang di kenal selama ini. Kajian sejarah diubah menjadi ilmu baru, yaitu The Scince of Narative (ilmu cerita). Karena sejarah adalah hasil kreasi ( interpretasi / perspektif) sejarawan. Sehingga sejarah bukanlah suatu yang empirik tetapi hanya ada di dalam teks. Tugas sejarawan pada tahap ini adalah mengolah data dalam, bentuk teks dan hasilnya juga dalam bentuk teks. Teks sebagai sumber berasal dari masa lalu dan memiliki logika sendiri serta mempunyai kaitan dengan teks lainnya. Sehingga tindakan manusia dalam sejarah merupakan fakta yang tidak terbantah. Tetapi fakta tersebut hanyalah representasi atau yang mewakili kenyataan dan bukan kenyataan itu sendiri. Sehingga sejarawan mengidentifikasi kesadaran sejarah yang terkandung dalam teks dan teks memberikan serta membatasi makna sejarah. Dalam hal ini juga dikatakan bahwa sejarah adalah tekstual karena karya sejarah berawal serta berakhir dari teks. Sejarawan berupaya menyelami historitas dari teks dan menyatakannya dalam bentuk teks sejarah.
Menurut pendekatan ini penafsiran sejarah sama artinya dengan menafsirkan sebuah teks dengan dasar pemikirannya bahwa dunia kehidupan manusia merupakan suatu dunia yang penuh arti karena hanya dapat ditangkap melalui bahasa atau sebuah teks sebagai suatu kesatuan yang dibangun dengan arti-arti. Sehigga realitas dianggap sebagai suatu yang tidak ada sebelum dikatakan kembali di dalam teks. Sehingga tugas peneliti yaitu mengungkapkan kebenaran realitas, sehingga akan membuat makna baru dan terbuka serta dapat dikritik.
Sehingga pendekatan ini berusaha merelokasi sejarah sebagai bagian dari karya sastra yang berkaitan dengan institusi masyarakat serta peristiwa sejarah itu mempengaruhi karya mereka. Pengetahuan seseorang tentang dunia adalah suatu yang dikonstruksikan oleh sejarawan atas dasar konsep dan menurut bahasa yang digunakan. Untuk mengenal sejarah yang sebenarnya, maka digunakan sumber sejarah yang kultural yang menentukan persepsi dan pengertian seseorang tentang masa lampau.
2. Fakta dalam sejarah
A. Pengertian Fakta
Menurut The New Lexicon (Helius Sjamsuddin dalam buku Metodologi Sejarah 2007:20) menyatakan bahwa, “fakta adalah sesuatu yang diketahui kebenarannya, suatu pernyataan tentang sesuatu yang telah terjadi”.
Munurut Gottschalk (Nugroho Notosusanto dalam buku Mengerti Sejarah 1993:113), menyatakan bahwa, “fakta didefenisikan sebagai sesuatu unsur yang dijabarkan secara langsungatau tidak langsung dari dokumen-dokumen sejarah dan dianggap kredibel setelah pengujian yang saksama sesuai dengan hukum-hukum metode sejarah”.
Menurut Hariono dalam buku mempelajari sejarah secara efektif (1995: 54), fakta adalah hasil dari seleksi data yang terpilih. Data yang sudah terseleksi dan menjadi fakta sejarah kemudian direkonstruksi sebagai dasar untuk bercerita.
Fakta sejarah memiliki berbagai bentuk, yaitu ada fakta yang berbentuk benda kongret seperti artefak, fakta yang berdimensi sosial contohnya jaringan interaksi antar manusia, serta fakta yang bersifat abstrak seperti kepercayaan. Fakta sejarah sebenarnya merupakan memori dari sejarawan yang ditunjukkan suatu makna dari data yang ada.
Fakta itu ada yang bersifat keras dan lunak. Fakta dikatakan lunak apabila keberadaan fakta tersebut masih diperdebatkan, contohnya tentang peristiwa G 30 S yang sampai pada saat ini masih beklum terselesaikan siapa dalang dari peristiwa tersebut. Sedangkan fakta keras adalah suatu fakta yang telah menjadi konsesus umum, contohnya keberadaan Soekarno – Hatta yang menjadi proklamator pada saat kemerdekaan Indonesia.
B. Masalah fakta dalam sejarah
1. Hipotesis Sementara
Dalam fakta-fakta yang didapat peneliti, peneliti harus memiliki dugaan atau pemikiran sementara untuk dipertanyakan. Guna pertanyaan yang muncul dari peneliti adalah untuk mengarahkan sebuah penelitian. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul maka seorang peneliti dapat menemukan gambaran-gambaran atau mungkin dapat menimbulkan hipotesis mengenainya. Tetapi seorang peneliti tidak akan dapat mempertanyakan pertanyaan yang sederhana sekalipun tanpa mengetahui beberapa masalah yang dipertanyakan.
2. Fakta Dari Kesaksian Primer Dan Kesaksian Sekunder
Dalam penulisan sejarah, peneliti butuh data yang didapat dari kesaksian orang-orang yang berhubungan langsung dengan sebuah kejadian atau peristiwa sejarah. Kesaksian bisa didapat dari kesaksian primer atau dari kesaksian sekuder. Seorang saksi primer adalah saksi yang berhubungan langsung dengan peristiwa sejarah tersebut. Sedangkan kesaksian sekunder adalah kesaksian dari orang yang paling dekat dengan saksi primer seperti: keluarga, saudara, teman, dan yang lainnya. Kesaksian sekunder dipergunakan apabila sudah tidak ada lagi saksi primer yang hidup pada masa itu. Tetapi seorang peneliti juga tidak dapat terlalu mengandalkan kesaksian sekunder karena kesaksian sekunder bukan orang yang berperan langsung dalam peristiwa sejarah. Perkataan kesaksian sekunder juga tidak dapat dipercaya keseluruhannya karena kesaksian sekunder hanya mendapat cerita pokok dari kesaksian primer.
3. Kebenaran Fakta Dari Kesaksian
Dalam memperoleh fakta terutama yang berhubungan dengan kesaksian, seorang peneliti perlu jeli dalam mengolah fakta yang didapat. Dalam sebuah kesaksian dari penuturan saksi, peniliti perlu untuk mempertanyakan sebuah kesaksian yang didapatnya. Dalam sebuah kesaksian seorang saksi, akan ada banyak unsur yang mempengaruhi akan mempengaruhi keasilan sebuah kesaksian, yang diantaranya;
- seorang saksi yang mampu dan mau untuk memberi kesaksian berkemungkinan memiliki keuntungan sendiri untuk dirinya, atau sebuah kesaksian yang disampaikan saksi berkemungkinan bohong apabila seorang saksi memiliki tujuan dari kesaksiannya,
- ada pula kesaksian yang mengarahkan, maksudnya bahwa kesaksian yang diberikan saksi bermaksud untuk mengarahkan peneliti pada kesaksian yang diinginkan saksi
- Kesaksian yang diberikan dapat merugikan saksi, orang-orang terdekat saksi, dan yang lainya. sehingga saksi memberikan kesaksian palsu
4. Pencarian Detail Khusus Dari Kesaksian
Dalam sebuah kesaksian, walaupun kesaksian palsu sekalipun seorang peneliti harus dapat mencari detail khusus dari kesaksian pelaku. Dari kesaksian tersebut jika sebuah kesaksian bohong dalam kesaksiannya, maka peneliti dapat mencari pokok penting yang menjadi petunjuk dari sebuah kesaksian. Karena bagaimanapun sebuah kesaksian yang palsu akan mengarah atau menjurus pada sebuah fakta yang sebenarnya. Dalam kesaksian palsu sekalipun satu kata saja bisa membantu seorang peneliti dalam melakukan penelitiannya.
Jadi seorang peneliti tidak dapat mengabaikan sebuah kesaksian yang didapatnya tanpa adanya penyelidikan, dan tugas penelitilah yang nantinya akan memisahkan mana data yang relevan dan yang tidak.
5. Fakta Yang Berbentuk Objek/Barang
Sebuah fakta yang berasal dari barang seperti dokumen, biasa dipergunakan oleh peneliti. Sebuah dokumen amat berguna dalam penelitian sejarah sebagai bukti otentik. Fakta yang bersifat objektif sangat berguna dalam penelitian sejarah untuk menentukan perkiraan waktu, tempat, atau peristiwa. Karena bukti yang berbentuk barang tidak dapat berbohong tetapi dapat dipalsukan. Namun dalam mengolah dokumen peneliti dipersulit oleh data yang kurang lengkap terutama jika sebuah dokumen yang sudah lama tetapi beberapa bagian hilang, atau untuk mengetahui perkiraan waktu pada dokumen yang didapat peneliti ternyata dokumen tersebut sudah sulit untuk diolah mungkin karena bagian dokumen ada yang terpotong atau dukumen telah usang.
6. Keaslian Sebuah Fakta Berbentuk Objek/Barang
Dalam meneliti seorang peneliti tidak dapat dengan mudah mempercayai apa yang dilihatnya. Dalam penelitian sejarah seorang peneliti harus kritis terhadap fakta yang ia dapat terutama yang berbentuk barang. Bisa dicontohkan sebuah dokumen, dari dokumen-dokumen yang didapat oleh seorang peneliti, peneliti harus dapat mempertanyakan dokumen-dokumen tersebut apakah dokumen itu asli atau palsu. Karena dalam masalah fakta yang berbentuk objek/barang ini, sering terjadi pemalsuan terutama pada dokumen yang menjadi bukti sejarah. Dokumen-dokumen yang dimiliki peneliti terkadang adalah dokumen palsu. Sehingga peneliti diharapkan untuk teliti dalam mengolah bukti yang didapat.
7. Kebenaran Fakta Dari Pengarang
Dalam sebuah fakta berupa dokumen atau data yang didapat peneliti, data tersebut tidak boleh langsung dipercayai oleh peneliti tanpa adanya penelitian. Terutama apabila pengarang atau penulis dari dokumen atau data belum diketahui atau datanya kurang, maka tugas peneliti untuk melakukan penyelidikan terhadap pengarang terlebih dahulu. Karena tanpa tau pengarang dari sebuah fakta sejarah akan berakibat fatal. Sebuah dokumen bisa saja dibuat oleh orang-orang yang berkepentingan untuk melakukan pemalsuan sejarah untuk kepentingannya. Jadi peneliti tidak dapat menerima begitu saja sebuah bukti tanpa mengetahui darimana bukti itu berasal.
8. Penilaian Pribadi
Menurut Sartono Kartodirjo (1993:88), menyatakan bahwa, “fakta adalah kontruks yang dibuat sejarawan, sehingga telah mengandung unsur-unsur subjektif dari penulis sendiri”. Jika pandangan ini benar, maka akan sulit untuk mempertanggujawabkan fakta yang benar terjadi. Tetapi Bapak studi sejarah kritis mengatakan bahwa sejarawan hanya bertugas untuk membuat sejarah sesuai fakta. Sedang Von Ranke menyatakan bahwa fakta itu sudah objektif, tetapi yang sebenarnya tidak ada fakta yang benar-benar 100% objektif karena bagainamapun sebuah fakta sejarah nilainya sudah berubah. Hal ini disebabkan karena adanya unsur subjektif. Namun paling tidak fakta itu ada yang hampir mendekati. Seperti penuturan Gottschalk (Nugroho Notosusanto dalam buku Mengerti Sejarah 1993:112), bahwa “fakta tidak harus sungguh-sungguh terjadi, tetapi setidaknya fakta mendekati dengan kejadian yang sesungguhnya, sejauh kita dapat mengetahui dengan melakukan penyelidikan kritis dengan sumber-sumber terbaik yang ada”. Jadi fakta dikatakan sesuatu yang tampaknya benar tetapi bukan benar secara objektif.
Dalam sejarah masalah fakta banyak terjadi karena setiap sejarawan memiliki pandangan tersendiri terhadap sejarah yang ia tulis. Banyak tulisan sejarah yang pro dan kontra tentang sebuah sejarah. Hal ini disebabkan oleh bagaimana sejarawan dalam penulisannya sendiri sehingga fakta itu sering diarahkan pada sebuah penilaian seperti nilai etis, nilai rasial, nilai agama, kelas sosial, dan lainnya. Fakta sangat terpengaruh terhadap nilai-nilai tersebut. Contohnya fakta akan peran wanita masa feminimisme banyak di abaikan. Jadi nilai dan norma membantu dalam penyeleksian fakta. Faktor nilai juga menunjukan relevansi fakta terhadap konteks, keberpihakan, partisipan dalam menggarap fakta. Jika nilai-nilai dibiarkan masuk kedalam fakta maka subjektifisme akan merajalela dan kejujuran ilmu akan terpengaruhi.
Tetapi fakta seperti apa, kapan, siapa, dan dimana, akan terasa kosong ibarat rumah yang tidak diisi, maka dibutuhkan pemikiran-pemikiran dari sejarawan untuk mengisi fakta-fakta tersebut agar berisi. Fakta tidak bicara sendiri, fakta tanpa sejarawan tidak akan memiliki arti, karena sejarawanlah yang akan mengisi fakta sehingga menjadi cerita. Fakta tanpa diisi akan seperti cerita kosong tetapi setelah diisi oleh pemikiran sejarawan, maka fakta itu akan menjadi sebuah cerita yang berisi dan penting. Hubungan antara fakta dengan sejarawan adalah sebagai pemberi dan penerima. Sejarawan dan fakta ibarat masa lampau dan masa sekarang, mereka saling terhubung dan saling membutuhkan.
Jadi pada intinya pemikiran yang dimiliki oleh sejarawan memang dibutuhkan untuk mengolah fakta yang ada untuk menjadikannya sebuah cerita yang penting dan bermakna. Tetapi seorang sejarawan tetap harus memperhatikan dalam menyeleksi fakta dan penulisan sejarah, bahwa fakta harus sesuai dengan fakta yang sebenarnya dan seorang sejarawan tidak boleh mencampurkan unsur subjektif (keberpihakan) terhadap fakta sejarah yang akan dibuat.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Filsafat sejarah naratif mengajukan suatu bentuk pengetahuan tentang sejarah yaitu dengan cara menggabungkan antara filsafat sejarah dengan kritik sastra. Karena sejarah sama halnya dengan sastra yang meletakkan naratif sebagai komponen utama dalam wacana mengenai dunia karena tanpa naratif sejarah kehilangan ciri aslinya. Sejarah naratif selalu berkenaan dengan fakta-fakta, cerita tentang kehidupan manusia dalam dimensi waktu lampau, serta berurusan dengan teks sehingga tidak ada pemisahan yang tegas antara sejarah dengan fiksi. Sejarah melibatkan imajinasi yang dibatasi oleh komitmen epistimologi dari disiplinnya.
Dalam penelitian sejarah, unsur terpenting adalah fakta. Fakta amat menentukan dalam sebuah penulisan sejarah. Masalah-masalah yang dibahas dalam makalah ini lebih menjelaskan penyalahgunaan fakta dalam sejarah, bagaimana penyalahgunaan dilakukan menyangkut fakta sejarah dan bagaimana fakta sejarah yang telah ada atau didapat ternyata memiliki tingkat keakuratan yang rendah. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kemurnian ilmu sejarah, bahkan sebuah cerita sejarah dapat dipertanyakan pertanggungjawabannya terhadap peneliti akibat kurangnya ketelitian dapam melakuakn penelitian. Jadi dengan adanya masalah-masalah fakta dalam sejarah tersebut, sejarawan diharapkan dapat lebih teliti dalam mengelolah fakta-fakta yang didapat agar tidak ada lagi kesalahan terhadap sumber yang didapat oleh peneliti dan agar tidak adanya kesalahan terhadap penulisan sejarah yang akan membuat persepsi yang salah pula terhadap orang-orang yang mengetahui tentang sejarah tersebut.
DAFTAR BACAAN
Gottschalk, Louis. 1993. Mengerti Sejarah. Bandung: UIP.
Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah secara Efektif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakatra: Bentang
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Bandung: Ombak.
Zed, Mestika. 2010. Pengantar Filsafat Sejarah. Padang: UNP PRESS.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar