Selasa, 01 September 2015

keadaan masyarakat pada masa Bercocok tanam

I. Pendahuluan Bercocok Tanam lahir melalui proses yang panjang yang dilalui oleh manusia prasejarah. Setelah masa berburu dan mengumpul makanan, manusia prasejarah memasuki Masa Bercocok Tanam yang merupakan masa yang amat penting karena pada masa inilah terdapat penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam yang bertambah cepat. II. Pembahasan A. Pola menetap (Revolusi dalam kehidupan manusia) 1) Asal mula tradisi bercocok tanam Berdasarkan penelitian etnobotany yang dilakukan oleh para peneliti Rusia, diketahui bahwa 7 daerah tempat kepandaian bercocoktanam mula-mula dilakukan dan kemudian berkembang dengan menanam tanaman tertentu. Daerah tersebut adalah: • Daerah aliran sungai-sungai besar di Asia tenggara (Sungai Mekong, Salwin, Irawadi, dan lain-lain), yang menyebar ke Kepulauan Indonesi, Filipina, maupun kedaerah Sungai Gangga di India. Dari sinilah berasal tanaman Padi dan keladi (Colocasia antiquorum); • Daerah aliran sungai-sungai di Asia timur (seperti Sungai Yangtse, dan Huangho), dengan menghasilkan berbagai macam jenis sayuran Cina, pohon Murbei, teh dan kedele; • Asia Barat-Daya, termasuk daerah aliran sungai Tigris dan Alfurat di Irak, yang menyebar ke Irian, Afganistan, hingga daerah hulu sungai Sindu di Pakistan. Dari daerah ini berasal berbagai varietas gandum seperti barley (Hordeum vulgare) dan wheat (Triticum vulgare), berbagai jenis buah Eropa misalnya anggur; • Daerah laut Tengah, terutama Mesir, Palestina, lembah-lembah sungai di Italia dan Spanyol, yang menjadi tempat asal buah zaitun dan buah ara; • Daerah Afrika Timur terutama Abesinia, tempat berasal berbagai varietas gandum eleusine (Eleusine caracana) • Daerah sekitar hulu sungai Sinegal di Afrika Barat, tempat berasal varietas gandum fonio (Digitaria exilis) dan sorghum (sorghum vulgare); • Daerah Meksiko Selatan, tempat asal jagung, kapas, singkong dan ubi (Ipomoea batatas), yang kemudian menyebar kearah utara hingga daerah sungai Mississippi; • Daerah Peru, tempat berasalnya tanaman kentang, singkong dan ubi. Menurut para ahli Prasejarah, bercocok tanam dimulai sejak zaman Neolitik (Zaman Batu Baru), dan bahkan sudah di kenal sejak zaman paleolitikum (Zaman Batu Tua), ketika manusia masih hidup berburu dan meramu. Pada masa ini tampak jelas bahwa cara hidup berburu dan mengumpulkan makanan mulai ditinggalkan dan masyarakat sudah menjalankan cara hidup menetap di suatu tempat dan mengembangkan penghidupan baru berupa kegiatan bercocok tanam sederhana dan penjinakan hewan-hewan tertentu. Jika dilihat dari penemuan di Indonesia telah didiami secara luas, dan cenderung untuk mendiami tempat-tempat terbuka yang dekat dengan air seperti pinggir sungai, tepian danau, dan daerah pantai. Selain itu, juga ada yang berdiam di tempat yang agak tinggi dan bukit-bukit kecil yang dikelilingi sungai atau jurang serta di pagar oleh hutan. Hal ini dilakukan untuk menghindari serangan musuh atau gangguan binatang buas. Terkadang disekeliling tempat tinggalnya dibuat tanggul dan parit pertahanan. Cara yang digunakan untuk memanfaatkan hutan yang belukar dengan cara menebang dan membakar pohon, sehingga terciptalah ladang-ladang yang memberikan hasil pertanian walaupun hasil pertanian yang diperoleh masih sederhana. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, kegiatan berburu dan menangkap ikan terus dilakukan. Masyarakat yang sudah mulai berproduksi seperti ini adalah di Eropa, Asia Kecil, Afrika, India, Asia Timur, Asia Tenggara, termasuki Kepulauan Indonesia. Pada masa ini terdapat pola hidup menetap di suatu perkampungan yang terdiri dari tempat tinggal sederhana yang didiami secara kelompok dan oleh beberapa keluarga. Pada tahap ini, populasi sudah mulai meningkat dan kegiatan-kegiatan dalam kehidupan perkampungan yang terutama untuk mencukupi kehidupan bersama, mulai diatur dan di bagi antar anggota masyarakat. Ada beberapa teori yang menyatakan tentang kehidupan masyarakat pada masa bercocok tanam ini. Teori Pertama, menyatakan bahwa pola perkampungan dari satu masyarakat pertanian ditentukan oleh beberapa faktor fisik, seperti kadaan topografi, iklim, dan potensi pertanian. Teori Kedua, menyatakan bahwa pola perkampungan bertolak dari sistem ekonomi yang berkembang dalam masyarakat, sedangkan sistem pemilikan tanah adalah faktor yang menentukan sistem ekonomi dalam masyarakat pertanian. Perubahan tata kehidupan yang ditandai oleh perubahan cara memenuhi kebutuhan hidup berlangsung secara perlahan-lahan. Untuk tempat tinggal, kemungkinan pada masa itu terbentuk desa-desa kecil semacam pedukuhan. Setiap dukuh terdiri dari tempat tinggal yang dibangun secara tidak beraturan. Pada awalnya, bentuk rumah pada tingkat permukaan agak kecil dan berbentuk bulatan-bulatan dengan atap yang dibuat dari daun-daunan yang langsung menempel di tanah. Rumah yang seperti diyakini sebagai bangunan tertua di Indonesia dan masih terdapat sampai sekarang seperti di Timor, Papua/Irian Jaya, Kalimantan Barat, Nikobar dan Andaman. Bangunan tersebut berkembang membentuk yang lebih besar yang di bangun di atas tiang, yang berbentuk persegi panjang dan dapat menampung beberapa keluarga inti. Rumah seperti ini di bangun karena perkampungan baru yang dibawa oleh para pendukung tradisi beliung persegi, serta meningkatnya jumlah penduduk yang semakin memerlukan tempat tinggal lebih banyak. Selain itu, karena pengelompokan sosial mengarah kepada Sistem Komunal. Rumah-rumah tersebut biasanya di bangun berdekatan dengan ladang atau pun sawah mereka, sehingga situasi bercocok tanam liar selalu berpindah-pindah untuk mencari tanah yang lebih subur. Tujuan dibangunnya bangunan yang seperti ini untuk menghindari bahaya banjir atau serangan binatang buas. 2) Sistem pemerintahan dan masyarakat Masa bercocok tanam ini, masyarakat sudah mengenal adanya sistem pemerintahan. Walaupun sisitem pemerintahan yang dikenalnya masih sederhana yang disebut Pemerintahan Desa. Pemimpin dalam suatu masyarakat mereka sebut sebagai Kepala Suku (Kepala Desa) yang dipilih dengan beberapa kriteria atau syarat, yaitu seorang pemimpin harus mempunyai kelebihan dibandingkan dengan masyarakat biasa seperti kelebihan kuat fisiknya dan mampu memimpin masyarakatnya. Selain itu, pemimpin juga harus dicintai dan dipercayai oleh masyarakatnya. Setelah dikenalnya sistem pemerintahan maka kehidupan masyarakat menjadi tentram, damai dan sejahtera. Selain itu, mereka juga mengenal asas gotong royong dan kekeluargaan dalam menjalankan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan. Misalnya bergotong royong dalam membuat tempat tinggal dan mencari bahan kebutuhan hidup sehari-hari, serta menghadapi bencana alam atau bahaya. Pengaturan bahan makanan sehari-hari dan pengaturan air untuk bercocok tanam dilakukan secara teratur dan penuh rasa kekeluargaan. B. Manusia pendukung dan kebudayaan Boscon-Hoabinh 1. Manusia pendukung a) Ciri-ciri Manusia pendukung pada masa ini sudah mulai menetap, bercocok tanam, berternak, mengembangkan perikanan, serta mengembangkan kebudayaan agraris walaupun dalam tingkatan yang masih sederhana. Mereka telah mampu membuat tempat tinggal yang permanen dan membuat kerajinan, membuat aturan hidup bersama dalam satu komunitas, seperti pembagian tugas. Oleh karena adanya kekosongan tentang manusia pada masa ini, maka kita harus memperhatikan sisa-sisa manusia dari negeri tetangga seperti di Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Di Thailand ditemukan ciri-ciri Mongoloid yang ditemukan dari Ban Kao, dengan ciri-ciri: Bentuk kepala bundar (brakikefal), Muka lebar, dan gigi seri yang menembilang. Temuan-temuan rangka di Indo – China juga menunjukkan ciri Mongoloid yang dominan, meskipun ciri-ciri Austro-melanesoid ada sedikit. Oleh sebab itu, Indonesia Timur sangat terpengaruh dengan ras Mongoloid. Walaupun sampai sekarang mereka terpengaruh oleh ras Austro-melanesoid dengan Mongoloid. Selain itu, ada juga jenis manusia pendukung dari masa ini adalah manusia dari ras Papua-Melanesoid, karena ditemukan fosil manusia ras Papua-Melanesoid baik pada kebudayaan Tulang Sampung maupun di bukit-bukit kerang di Sumatera. b) Populasi Masa bercocok tanam kelompok manusia sudah mulai besar, karena adanya pertanian dan peternakan yang dapat memenuhi makanan masyarakat dalam jumlah yang besar. Dalam periode ini, anak-anak sangat menguntungkan dalam masyarakat pertanian, karena mereka dapat membantu dalam berbagai kegiatan. Sehingga, dalam masa bercocok tanamm ini jumlah anak dalam tiap keluarga lebih banyak dari masa sebelumnya. Masa ini dikenal dengan adanya pola hidup menetap. Hal ini menimbulkan masalah baru dalam masyarakat, karena penduduk tidak berpindah-pindah sehingga banyak sampah dan kotoran dan terjadilah pencemaran untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia. Hal ini menyebabkan berbagai wabah penyakit dalam kehidupan masyarakat seperti penyakit schistosomiasis dan rhinoscleroma, sehingga dukun pada saat ini merangkap sebagai pemimpin kepercayaan masyarakat pula. 2. Kebudayaan Boscon-Hoabinh  Kebudayaan Hoa-Binh Terjadi antara 5.000 – 3.000 SM karena pada masa itu bahan-bahan mulai banyak, sehingga mulai terlihat menguatnya suatu budaya-budaya Hoa-Binh yang memiliki karakter Mesolitik, bahkan dengan ciri Neolitik seperti Pemolesan sebahagian benda-benda tajam. Pada saat itu, ada ekspansi suatu kelompok manusia yang datang ke Semenanjung yaitu orang Melanesia; berkulit hitam, yang datang dari Cina Selatan, namun sangat berbeda dari orang hitam Afrika. Kedatangan orang-orang ini terjadi dua periode; periode pertama terdiri dari orang-orang yang berperawakan pendek, kulitnya sangat hitam, yang mengajarkan teknik pemolesan sebagian kepada orang-orang Australoid. Hasil produksi dari tahap pertama ini terdapat di Tonkin, di tepi kanan Sungai Merah dan terutama di wilayah Hoa-Binh yang menjadi nama dari Kebudayaan ini.  Kebudayaan Bac-Son Kebudayaan ini serempak dengan gelombang kedua kelompok orang Melanesia yang menyebar di Indo-China dari arah Utara ke Selatan, yang merupakan asal mula dari kebudayaan Bac-Son. Dengan ciri manusianya lebih tinggi, kulitnya lebih putih dan rambutnya berombak, serta mereka dianggap sebagai manusia pembuat alat baru seperti kapak pendek yang di peroleh dengan memotong sebuah kapak berisi dua dan memoles bagian tajamnya dengan apik. Orang tersebut juuga banyak menggunakan kerang dan tulang serta mengenal tembikar yang dibuat dengan teknik keranjang. Di daerah Tonkin di Indo-China ditemukan pusat kebudayaan prasejarah, yaitu di pegunungan Boscon dan di daerah Hoabinh yang letaknya berdekatan. Alat-alat yang dutemukan di daerah tersebut menunjukkan adanya suatu kebudayaan yang disebut Mesolithikum. Kapak yang ditemukan di daerah tersebut merupakan kapak dengan cara pengeerjaannya yang kasar, disamping itu juga terdapat kapak yang sudah di asah (Proto-neolithikum). Kapak-kapak tersebut adalah Kapak Sumatera dan Kapak Pendek (Pebbles). Mme Madeleine Colani (Ahli prasejarah Prancis) menamakan kebudayaan tersebut dengan Kebudayaan Boscon-Hoabonh. Tonkin merupakan letak pusat dari kebudayaan Mesolithikum di Asia Tenggara yang tersebar ke berbagai daerah dan sampai ke Indonesia melalui Thailand dan Malaysia Barat. Selain ditemukannya perkakas, juga ditemukan tulang manusia, yang menunjukkan bahwa Tonkin didiami oleh dua golongan bangsa, yaitu jenis Papua-Melanesoide dan jenis Europacide. Selain, kedua golongan bangsa tersebuit juga ada jenis Mongoloide dan Australoide. Papua-Melanesoide mempunyai penyebaran yang paling luas di daerah Selatan, yaitu di Hindia Belakang, Indonesia sampai ke pulau-pulau lautan Teduh. Bangsa ini lah yang berkebudayaan Mesolithikum yang belum di asah (Pebbles), sedangkan kecakapan mengasah (Proto-Neolithikum) merupakan hasil pengaruh dari Mongoloid yang peradabannya sudah tinggi. Kebudayaan Mesolithikum di daerah asalnya Tonkin tidak ditemukan Flakes, sedangkan dari Abris Sous Roche flakes jenis ini sangat banyak ditemukan begitupun di Luzon (Filipina). Kebudayaan flakes datang dari Asia melalui Jepang, Formosa dan Filipina. Hal inik dikuatkan dengan kenyataan bahwa di Sumatera Timur, Malaysia Barat dan Hindia Belakang tidak ditemukan flakes. III. Penutup Pada masa bercocok tanam ini masyarakat mengalami perubahan struktur yang mana pada tahap sebelumnya mereka bergantung keoada alam dengan hidup nomaden yang mencari alam yang subur untuk dijadikan sebagai tempat tinggal yang mampu untuk memnuhi kebutuhan pokok mereka dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Namun, dengan bergantinya zaman, maka masyarakat prasejarah dari hidup nomaden sudah mulai mengenal pola hidup menetap serta mereka melakuka bercocok tanam untuk mermnuhi kebutuhan pokok mereka baik menanam padi di swan maupun di ladang. Dengan demikian, mereka sudah mampu untuk mengolah alam yang ada serta mereka sudah mampu menghasilkan berbagai jenis peralatan atau perkakas yang digunakan atau diperkukan pada saat itu. Sehingga kebudayaan masyarakat pada masa bercocok tanam sudah mulai maju dari pada masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa ini didukung oleh manuisia ras Austra-melanesia yang pada saat ini masih berada di Papua, dengan nama Papua-melanesia. Pada masa ini juga berkembang suatu kebudayaan yang disebut dengan Kebudayaan Bacson-Hoabinh yang merupakan kebudayaan di daerah Tonkin di China yang memberi pengaruh penting kepada Indonesia. Pada kebudayaan ini ada beberapa hasil kebudayaannya seperti kapak Sumatera dan Kapak Pendek. IV. Sumber Bernard Philippe Groslier. 2007. Indo Cina: Persilangan Budaya. Jakarta: Gramedia. Junaedi Al Anshori. 2007. Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah sampai Masa Prolamasi Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: PT. Mitra Aksara Penelitian. Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi: Pokok-Pokok Etnografi II. Jakarta: Rineka Cipta. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2007. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Jakarta: Kanisius.

perkembangan emosi remaja

A. Latar Belakang Pada umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai oleh perasaan-perasaan tertentu, yaitu perasaan senang atau tidak senang. Perasaan-perasaan seperti ini biasanya disebut emosi. Beberapa macam emosi antara lain, gembira, bahagia, semu, terkejut, benci, senang, sedih, was-was dan sebagainya. Perasaan emosi biasanya disifatkan sebagai suatu keadaan dari diri individu pada suatu waktu. Misalnya, orang merasa sedih, senang, terharu dan sebagainya bila melihat sesuatu, mendengar sesuatu, dan sebagainya. Dengan kata lain perasaan disifatkan sebagai suatu keadaan jiwa sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang pada umumnya datang dari luar dan peristiwa-peristiwa tersebut pada umumnya menimbulkan kegoncangan-kegoncangan pada individu yang bersangkutan. Remaja berada pada periode perkembangan yang banyak mengalami masalah pertumbuhan dan perkembangan khususnya menyangkut dengan penyesuaian diri terhadap tuntutan lingkungan dan masyarakat serta orang dewasa. Masalah yang sering terjadi pada perkembangan intelektual dan emosional remaja adalah ketidakseimbangan antara keduanya. Kemampuan intelektual mereka telah dirangsang sejak awal melalui berbagai macam sarana dan prasarana yang disiapkan di rumah dan di sekolah dengan berbagai media. Pembelajaran kadang tidak selalu disukai oleh peserta didiknya, sehingga banyak tujuan pembelajaran yang tidak tercapai. Ini dilatarbelakangi oleh kurangnya pemahaman dari sang pendidik akan perkembangan emosi dan jiwa peserta didiknya, khususnya remaja. Sebab, dalam usia remaja perubahan emosi dan psikologis sangat pesat sekali. Gejala- gejala emosi para remaja seperti perasaan sayang, marah, takut, bangga dan rasa malu, cinta dan benci, harapan-harapan dan putus asa, perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai pendidik mengetahui setiap aspek tersebut dan hal yang lain merupakan sesuatu yang terbaik sehingga perkembangan remaja sebagai peserta didik berjalan dengan normal tanpa ada mengalami gangguan. Tanpa adanya pemahaman terhadap perkembangan emosi jiwa remaja ini, sang pendidik kemungkinan besar akan mengulangi kesalahan dengan memberikan pembelajaran yang tidak sesuai dengan kondisi perubahan yang ada pada diri remaja. Kalau kita melihat pada hakekat pendidikan yang merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proses-proses pemberdayaannya. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Disinilah pendidik dituntut untuk mampu membawa peserta didik dapat mencapai peradaban tertinggi, dengan menerapkan proses pendidikan yang sesuai dengan kondisi kejiwaan peserta didik. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang yang telah diuraikan di atas maka kita dapat mengidentifikasikan permasalahan yaitu : 1. Apa pengertian perkembangan emosi? 2. Bagaimana karakteristik perkembangan emosi pada masa remaja? 3. Faktor apa yang mempengaruhi perkembangan emosi pada masa remaja? 4. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh guru serta orang tua dalam mengembangkan emosi positif remaja? C. Pembahasan PERKEMBANGAN EMOSI 1. Pengertian Emosi Emosi dapat diartikan sebagai suatu keadaan kejiwaan yang mewarnai tingkah laku. Emosi juga dapat diartikan sebagai suatu reaksi psikologis yang ditampilkan dalam bentuk tingkah laku gembira, bahagia, sedih, berani, takut, marah, muak, haru, cinta dan sejenisnya. Biasanya emosi muncul dalam bentuk luapan perasaan yang surut dalam waktu yang singkat. Hathersall (1985), merumuskan pengertian emosi sebagai situasi psikologis yang merupakan pengelaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Misalnya seorang remaja yang sedang marah memperlihatkan muka merah, wajah seram, dan postur tubuh yang menegang, bertingkah laku menendang atau menyerang, serta jantung berdenyut cepat. Keleinginna and kelenginsn (1981), berpendapat bahwa emosi seringkali berhubungan dengan tujuan tingkah laku. Emosi sering di sebut dengan perasaann (felling); misalnya pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah, takut, bahagia, sedih dan jijik. Emosi sering berhubungan dengan ekspresi tingkah laku seperti senyum, membelalak dan lain sebagainya, juga sering berhubungan dengan respon-respon fisiologis seperti sakit kepala, berkeringat dan mau buang air. Menurut Oxford English Dictionary (dalam Daniel Goleman: 1997) mendefenisikan emosi sebagai “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”. Emosi adalah suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Menurut Ekman dan yang lain-lainnya (dalam Daniel Golemen:1997) yang menganggap emosi berdasarkan kerangka kelompok atau dimensi, dengan cara mengambil kelompok yang besar emosi – marah, sedih, takut, bahagia, cinta, malu, dan sebagainya – sebagai titik tolak bagi nuansa kehidupan emosional kita yang tak habis-habisnya. Sunarto dan Hartono merumuskan pengertian Emosi dalam buku Perkembangan Peserta didik (1995), Emosi adalah suatu gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat suatu warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Menurut Crow & Crow (dalam Sunarto dan Hartono 1995) emosi adalah: pengalaman afektif yang disertai dengan penyesuaian diri dalam diri individu tentang keadaan mental fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi seringkali terjadi perubahan pada fisik, diantaranya: a. Reaksi elekstris pada kulit meningkat bila terpesona. b. Peredaran darah bertambah cepat bila marah. c. Denyut jantung bertambah cepat bila terkejut. d. Bernafas panjang bila marah. e. Pupil mata membesar bila marah. f. Liur mengering kalau takut dan tegang. g. Bulu roma berdiri kalau takut. h. Pencernaan mencret-mencret kalau tegang. i. Ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar j. Komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif. 2. Ciri-ciri Emosi Remaja Remaja memiliki karakteristik kemunculan emosi yang berbeda bila di bandingkan dengan masa kanak-kanak maupun dengan orang dewasa. Ciri yang khas terjadi pada remaja adalah: a. Emosi mudah meluap (tinggi). Meluapnya emosi remaja sering muncul karena tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, misalnya: keinginan yang tidak terpenuhi orang tua, tidak mendapat perhatian dari teman sebaya, dan sebagainya. b. Mudah muncul emosi negatif. Emosi negatif muncul atau yang di tampilkan dapat berupa marah, benci, sedih dan sebagainya. Misalnya benci pada guru yang pilih kasih, sedih jika tidak mendapat perhatian, dan lain-lain. Emosi negatif tersebut dapat berakibat terjadinya gangguan emosional. Gangguan tersebut adalah: a. Depresi atau sedih yang mendalam, biasanya akibat kesedihan yang tidak mendapat tanggapan dari orang lain atau tanggapan yang diterima justru meningkatkan kesedihan yang ada. Depresi dapat terjadi akibat kehilangan orang yang sangat dicintai, atau kegagalan yang bertubi-tubi dialami. b. Mudah pingsan karena terlalu sensitif dan perasa, khususnya terhadap sesuatu yang menakutkan atau menyedihkan. c. Mudah tersinggung dan sensitif terhadap orang lain. Misalnya sesuatu yang dilihat, didengar atau direspon orang lain, ditanggapi secara impulsif. d. Sering cemas karena terlalu banyak memikirkan bahaya/kegagalan. Apabila dihadapkan pada suatu tugas atau tujuan yang diharapkan orang lain yang terbayangkan bukannya keberhasilan dalam menjalankan tugas tersebut, namun justru kegagalan yang akan ditemui. e. Sering ragu-ragu dalam memutuskan sesuatu atau bertindak, mungkin karena terlalu banyak pertimbangan yang kadang-kadang tidak rasional. Emosi negatif yang dialami remaja sering kali muncul pada remaja yang belum mencapai kematangan emosi. Disamping itu, dapat dilihat bagaimana ciri-ciri kematangan emosi remaja, yaitu: a. Mandiri dalam arti emosional, yaitu bertanggung jawab atas masalahnya sendiri dan bertanggung jawab atas orang lain. b. Mampu menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya. Mereka tidak cenderung menyalahkan diri sendiri maupun menyalahkan orang lain atas kegagalan yang dialaminya. c. Mampu menampilkan ekspresi emosi sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. d. Mampu mengendalikan emosi-emosi negatif, sehingga permunculannya tidak implusif. Selain itu, dapat dikenali pula bagaimana ciri-ciri ketidakmatangan emosi remaja sebagai berikut: a. Cenderung melihat sisi negatif dari orang lain. b. Implusif; kurang mampu mengendalikan emosi, dan mudah emosional. c. Kurang mampu menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya. d. Kurang mampu memahami orang lain dan cenderung untuk selalu minta dipahami orang lain. e. Tidak mau mengakaui kesalahan yang telah diperbuat dan cenderung untuk menyembunyikannya atau lebih memilih sikap mekanisme pertahanan diri. Menurut Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua jenjang, yaitu: a. Remaja berusia 12 – 15 tahun - Pada usia ini seseorang siswa/anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka. - Bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri. - Ledakan-ledakan kemarahan mungkin biasa terjadi. - Cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkankan kurangnya rasa percaya diri. - Mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih objektif dan menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu. b. Remaja usia 15 – 18 tahun - Pemberontakan remaja merupakan ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa. - Mengalami konflik dengan orang tua mereka. - Sering melamun, memikirkan masa depan mereka. 3. Jenis-jenis Emosi Crider dan kawan-kawan (1983) mengemukakan dua jenis emosi, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif seperti gembira, bahagia, sayang, cinta, dan berani. Emosi negatif seperti rasa benci, takut, marah, geram, dan lain-lain. Emosi negatif merupakan reaksi ketidak puasan dan emosi positif merupakan reaksi kepuasan terhadap terpenuhinya kebutuhan yang dirasakan remaja. Apabila kebutuhan itu telah terpuaskan, maka remaja merasakan senang, bahagia, dan gembira, sebaliknya apabila tidak maka ia akan merasa kecewa, marah, sedih, cemas dan takut. Luella Cole (1963), mengemukakan bahwa ada tiga jenis emosi yang menonjol pada periode remaja, yaitu: a. Emosi marah Emosi ini lebih mudah muncul jika dibandingkan dengan emosi lainnya dalam kehidupan remaja. Penyebabnya ialah apabila mereka direndahkan, dipermalukan, dihina atau dipojokkan di hadapan kawan-kawannya. Remaja yang sudah cukup matang menunjukkan rasa marahnya tidak lagi dengan berkelahi seperti pada masa kanak-kanak sebelumnya, tetapi lebih memilih mengerutu, mencaci, atau dalam bentuk ungkapan verbal lainnya. Pada dasarnya remaja cenderung mengganti emosi kekanak-kanakan mereka dengan cara yang lebih sopan, seperti dengan cara diam, mogok kerja, pergi keluyuran keluar rumah, dan melakukan latihan fisik yang keras sebagai cara pelairan emosi marah mereka. b. Emosi takut Ketakutan tersebut banyak menyangkut dengan ujian yang akan diikuti, sakit, kekurangan uang, rendahnya prestasi, tidak dapat pekerjaan atau kehilangan pekerjaan, keluarga yang kurang harmonis, tidak populer dimata lawan jenis, tidak dapat pacar, memikirkan kondisi fisik yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ketakutan lain adalah kesepian, kehilangan pegangan agama, perubahan fisik, pengalaman seksual serta onani dan menstrubasi, serta berkhayal, menemui kegagalan belajar disekolah atau karier, berbeda dengan teman sebaya, takut terpengaruh teman yang kurang baik, diejek dan sebagainya. Ketakutan yang dialami oleh remaja dapat di kelompokkan sebagai berikut: 1) Ketakutan terhadap masalah atas sikap orang tua dan tidak adil dan cenderung menolak di dalam keluarga. 2) Ketakutan terhadap masalah mendapatkan status baik dalam kelompok sebaya maupun dalam keluarga. 3) Ketakutan terhadap masalah penyesuaian pendidikan atau pilihan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan cita-cita. 4) Ketakutan terhadap masalah pilihan jabatan yang sesuai dengan kemampuan dan keinginan. 5) Ketakutan terhadap masalah-masalah seks. 6) Ketakutan terhadap ancaman terhadap keberadaan diri. Pada saat akhir masa remaja dan saat memasuki perkembangan dewasa awal, ketakutan atau kecemasan yang baru muncul adalah menyangkut masalah keuangan, pekerjaan, kemunduran usaha, pendirian/pandangan politik, kepercayaan/agama, perkawinan dan keluarga. Remaja yang sudah matang akan berusaha untuk mengatasi maslah-masalah yang menimbulkan rasa takutnya. c. Emosi cinta Emosi ini sudah ada semenjak masa bayi dan terus berkembang sampai dewasa. Sedangkan pada masa dewasa. Sedangkan pada masa remaja rasa cinta diarahkan pada lawan jenis. Pada masa bayi rasa cinta diarahkan kepada orang tua terutama ibu. Pada masa kanak-kanak (3-5 tahun) rasa cinta diarahkan kepada orang tua yang berbeda jenis kelamin, misalnya anak laki-laki akan jatuh cinta pada ibu dan anak perempuan akan jatuh cinta kepada ayah. Pada masa remaja arah dan objek cinta itu berubah yaitu terhadap teman sebayanya yang berlawanan jenis. Menurut Luella Cole, ada kecendrungan remaja wanita tertarik terhadap sesama jenis berlangsung dalam waktu yang lama. Hal ini terlihat dari sikap sayang yang berlebihan kepada sesama wanita. Perasaan seperti ini berkembang menjadi ketertarikan yang kuat pada wanita yang lebih tua. Oleh karena itu dapat terjadi ibu guru di SMU menjadi objek kasih sayang yang berlebihan dari para siswinya. Remaja wanita yang keranjingan terhadap guru wanita ini biasanya adalah remaja yang terisolir dan hanya memiliki hubungan yang erat dengan sesama jenis. Remaja wanita yang seperti ini biasanya hubungannya terbatas sekali dengan remaja pria yang dirasakannya sangat berbeda dengan dirinya yaitu kurang lembet atau cenderung kasar. Gadis seperti ini kurang mampu menimbulkan minat cinta pada pria. Apabila mereka memiliki kemampuan belajar yang cukup tinggi dan kerjanya gesit, ia akan bertambah sayang pada guru wanitanya karena dia merasa guru tersebut dapat memahami perasaan dan pikirannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa beberapa situasi yang mendorong remaja putri untuk menyayangi wanita yang klebih tua dari dirinya secara berlebihan: 1) Wanita tersebut dirasakan dapat membantu mengatasi kesulitan yang dihadapinya. 2) Wanita itu dapat dijadikan sebagai pengganti ibunya, apabila ia jauh dari ibunya yang dijadikan figur atau kehilangan kasih sayang dari ibunya mungkin karena perceraian atau meninggal. 3) Wanita tersebut dirasakan sangat menyayanginya, dan ia berasal dari keluarga yang menolak dirinya. 4) Karena tidak populer diantara teman pria, merasa sangat malu dan takut terhadap teman pria, atau mempunyai pengalaman yang menyakitkan dengan pria. Remaja wanita yang mengalami perkembangan perasaan cinta yang normal adalah jika remaja mengarahakan rasa cintanya kepada pemuda sesama remaja. Demikian juga dengan remaja pria punya cinta normal mengarahkan cintanya kepada seorang gadis. Remaja pria yang dalam periode perkembangan emosi cinta sendiri bertingkah laku menggoda dan menarik perhatian remaja wanita dengan jalan memanggil-memanggil anak perempuan yang menawan hatinya. Remaja wanita cukup mampu menjaga akibat perkembangan seksual dalam dirinya dan menyadari bahwa remaja pria memang sengaja mengganggu dirinya. Pada akhir masa remaja, mereka memilih satu lawan jenis yang paling disayangi. Perkembangan yang normal mengenal emosi cinta disimpulak: 1) Objek cinta adalah orang dewasa yang sejenis atau berbeda jenis. 2) Kemudian objek cinta beralih kepada teman sebaya yang sma jenis kelamin, yaityu pada masa pra-remaja. 3) Pada akhirnya remaja menjadikan teman sebaya sebagai objek cintannya. Berdasarkan sebab dan reaksi yang ditimbulkan emosi dibagi atas 3, yaitu: 1) Emosi yang berkaitan dengan perasaan (syaraf-syaraf jasmaniah), misalnya perasaan dingin, panas, hangat, sejuk, dan sebagainya. Munculnya emosi seperti ini karena faktor fisik di luar individu, misalnya cuaca, kondisi ruangan, dan tempat dimana individu itu berada. 2) Kondisi yang berkaitan dengan kondisi fisiologis, misalnya sakit, meriang, dan sebagainya. Munculnya emosi yang seperti ini lebih banyak dirasakan karena faktor kesehatan. 3) Emosi yang berkaitan dengan kondisi psikologis, misalnya, cinta, rindu, sayang, benci, dan sejenisnya. Hal ini muncul karena faktor dengan orang lain. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja a. Faktor internal 1) Merasa tidak terpenuhi kebutuhan fisik mereka secara layak sehingga timbul ketidak puasan, kecemasan dan kebencian terhadap apa yang mereka alami. 2) Merasa dibenci, disia-siakan, tidak mengerti dan tidak diterima oleh siapun termasuk orang tua mereka. 3) Merasa lebih banyak dirintangi, dibantah, dihina serta dipatahkan dari pada disokong, disayangi dan ditanggapi khususnya ide-ide mereka. 4) Merasa tidak mampu atau bodoh. Mereka merasa bodoh mungkin tidak menganal potensi atau karena khayalan mereka semata. 5) Merasa tidak menyayangi kehidupan keluarga mereka yang tidak harmonis seperti sering bertengkar, kasar, pemarah, cerewet atau bercerai. 6) Merasa menderita karena iri terhadap saudara mereka karena disikapi dan dibedakan secara tidak adil. b. Faktor eksternal 1) Orang tua atau guru memperlakukan mereka seperti anak kecil yang membuat harga diri mereka dilecehkan. 2) Apabila dirintangi membina keakraban dengan lawan jenis. 3) Terlalu banyak dirintangi dari pada disokong, 4) Disikapi secara tidak adil oelh orang tua. 5) Merasa kebutuhan tidak terpenuhi oleh orang tua padahal orang tua mampu. 6) Merasa disikapi secara otoriter. Menurut Hulock (dalam Sunarto dan Hartono 1995), emosi anak menunjukkan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar. Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul di kemudian hari. 5. Usaha guru dan orang tua dalam mengembangkan emosi positif remaja a. Berpikir positif dalam arti mencoba melihat sesuatu peristiwa atau kejadian dari sisi positifnya. b. Mencoba belajar memahami karakteristik orang lain. c. Mencoba menghargai pendapat dan kelebihan orang lain. d. Introspoeksi dna mencoba melihat apabila kejadian yang sama terjadi pada diri sendiri, mereka dapat merasakannya. e. Bersabar dan menjadi pemaaf. f. Alih perhatian, yaitu mencoba mengalihkan perhatian pada objek lain dari objek yang pada mulanya memicu pemunculan emosi negatif. Orang tua dan guru hendaknya melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Orang tua dan guru serta orang dewasa lainnya dalam lingkungan anak (significant person) hendaknya dapat menjadi model dalam mengekspresikan emosi-emosi negatif, sehingga tampilannya tidak meledak-ledak. b. Adanya program latihan beremosi baik disekolah maupun didalam keluarga, misalnya dalam merespon dan menyikapi sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana semestinya. c. Mempelajari dan mendiskusikan secara mendalam kondisi-kondisi yang cenderung menimbulkan emosi negatif, dan upaya-upaya menanggapinya secara baik. d. Guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan/tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah ditangani. e. Mencoba mengerti mereka. f. Melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk membantu siswa berhasil berprestasi dalambidang yang diajarkan. Kesimpulan Emosi adalah warna efektif yang kuat yang ditandai loeh perubahan-perubahan fisik. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah cinta, gembira, marah, kuat, cemas, dan sedih. Sudah tidak dapat dipungkiri, bahwa perkembangan emosi remaja dalam tumbuh kembangnya memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupannya. Dengan adanya ciri-ciri serta usaha untuk mengembangkan emosi remaja secara tepat, secara bertahap diharapkan seorang remaja mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai generasi harapan bangsa. Untuk itu hendaknya orang tua, guru dan lingkungan masyarakat harus benar-benar dapat memahami bagaimana tumbuh kembang remaja termasuk emosinya. Pembentukan emosi remaja yang sehat yang bertolak pada pembangunan karakter remaja hendaklah dilaksanakan selain jalur pendidikan, keluarga dan sekolah juga dilaksanakan pada lingkungan. Daftar Pustaka Sunarto dan Agung hartono. 1995. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta. Mudjiran, dkk (2006). Buku Ajar; Perkembangan Peserta Didik. Padang: UNP. Goleman, Daniel. 1997. Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Shapire, E Lawrence. 1999. Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. http://www.psktti-ui.com/x/1.pdf

unsur unsur pendidikan

LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan merupakan wahana penting untuk membangun mahasiswa. Pada gilirannya manusia hasil pendidikan itu menjadi sumber daya pembangunan. Karena itu, pendidik dalam melaksanakan tugasnya diharapkan tidak membuat kesalahan-kesalahan mendidik. Sebab kesalahan mendidik dapat berakibat fatal karena sasaran pendidikan adalah manusia. Kesalahan-kesalahan mendidik hanya dapat dihindari jika pendidik memahami apa pendidikan itu sebenarnya. Gambaran yang jelas dan benar tentang pendidikan dapat diperoleh melalui pengkajian terhadap arti dan tugas pendidikan, konsep-konsep yang mendasarinya, unsur-unsurnya, dan kesatuan paduan unsur itu dalam suatu wujud system. Oleh karena itu sasaran pendidikan adalah manusia, dimana pendidikan bertujuan menumbuh kembangkan potensi kemanusiaannya. Agar pendidikan dapat dilakukan dengan tepat dan benar, pendidikan harus memiliki gambaran yang jelas siapa manusia sebenarnya. Karenanya adalah sangat strategis, pembahasan tentang hakekat manusia bagi pengkajian seluruh upaya pendidikan. TUJUAN PENULISAN Adapun tujuan penulisan makalah tersebut adalah : 1. Makalah ini dibuat dengan tujuan meningkatkan wawasan dan kemampuan mahasiswa dalam pembelajaran mata kuliah ilmu pendidikan. 2. Untuk mendapat tambahan nilai tugas mata kuliah ilmu pendidikan. UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN A. TUJUAN Tujuan merupakan unsur pendidikan yang memiliki posisi penting dalam proses pendidikan. Semua tujuan-tujuan pendidikan itu harus normatif baik, artinya tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan peserrta didik dan dapat diterima sebagai nilai hidup yang baik. Tujuan pendidikan ada yang bersifat ideal, biasanya dirumuskan dalam bentuk tujuan pendidikan yang sifatnya umum, sedangkan yang bersifat nyata biasanya dirumuskan dalam bentuk tujuan khusus. Tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia Indonesia yang bisa mandiri dalam konteks kehidupan pribadinya, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta berkehidupan sebagai makhluk yang beragama (ketuhanan yang maha esa). Manusia Indonesia yang dicita-citakan dan harus diupayakan melalui pendidikan adalah manusia yang bermoral, berilmu, berkepribadian, dan beramal bagi kepentingan manusia, masyarakat, bangsa dan negara. Ada beberapa hal-hal yang menyebabkan terjadinya pengusunan tujuan umum antara lain, sebagai berikut: a. Karakteristik anak didik; tingkat kemampuan; tingkat perkembangan kognitif, bakat, minat, jenis kelamin dan sebagainya. b. Tuntutan persyaratan pekerjaan di lapangan yang merupakan pencapaian tujuan anak didik. c. Perbedaan pandangan hidup masing-masing bangsa menunjukkan perlunya pemgkhususan tujuan ini. d. Perbedaan tujuan yang ingin dicapai masing-masing lembaga atau jalur pendidikan sekolah, jalur pendidikan luar sekolah termasuk pendidikan keluarga yang mempunyai fungsi yang berbeda. e. Kemampuan-kemampuan yang ada pada pendidik sendiri. Tujuan yang berfumgsi sebagai perantara untuk mencapai tujuan umum di namakan tujuan intermedier atau tujuan sementara. Kesementaraan tujuan khusus/intemedier ini terletak didalam kenyataan bahwa apabila tujuan khusus itu telah dicapai, maka tujuan itu menjadi alat untuk mencapai tujuan khusus lainnya dan seterusnya. Empat jenjang tujuan pendidikan, yaitu: a. Tujuan umum pendidikan, yakni manusia pancasila. b. Tujuan intitusional (tujuan lembaga pendidikan, misalnya tujuan sekolah dasar, tujuan Universitas Negeri Padang). c. Tujuan kurikuler (tujuan standar kompetensi bidang studi atau mata pelajaran), misalnya tujuan IPA, IPS, Agama. d. Tujuan instruksional kempetensi dasar (tujuan untuk setiap kegiatan) proses belajar-mengajar. Tujuan institusional merupakan tujuan terbawah dari jenis tujuan diatas, sedangkan tujuan instruksional kompetensi dasar adalah tujuan yang paling kecil dari keseluruhan tujuan yang ada. Tujuan inilah yang secara nyata dicapai dalam proses belajar dan mengajar di kelas yang harus dijabarkan lagi oleh guru secara operasional menjadi tujuan pembelajaran khusus yang sekarang dikenal dengan indikator (TPK). Fungsi Tujuan bagi Pendidikan ada 4, yaitu: 1. Sebagai arah pendidikan Tujuan akan menunjukkan arah dari suatu usaha, sedangkan arah tersebut menunjukkan jalan yang harus ditempuh dari situasi sekarang kepada situasi berikutnya. Dalam meninjau tujuan sebagai arah ini, tidak ditekankan pada persoalan kejurusan mana garis yang telah memberi arah pada usaha tersebut, tetapi ditekankann pada masalah garis manakah yang harus kita ambil dalam melaksanakan usaha tersebut, atau garis manakah yang harus ditempuh dalam keadaan sekarang dan di sini. 2. Tujuan sebagai titik akhir Suatu usaha tentu saja mengalami permulaan serta mengalami pula akhirnya. Mungkin saja ada usaha yang terhenti dikarenakan sesuatu kegagalan mencapai tujuan, namun usaha itu belum bisa dikatakan telah berakhir karena suatu usaha baru dikatakan berakhir jika tujuan akhirnya telah tercapai. Yang perlu di perhatikan adalah hal-hal yang terletak pada jangkauan masa datang, dan bukan pada situasi masa sekarang atau pada jalan yang harus diambil dalam situasi tadi. 3. Tujuan sebagai pangkal mencapai tujuan lain Apabila tujuan merupakan titik akhir dari usaha, maka dasar ini merupakan titik tolaknya, dalam arti bahwa dasar tersebut merupakan fondamen yang menjadi alas permukaan setiap usaha. 4. Memberi nilai kepada usaha yang dilakukan Dalam konteks usaha-usaha yang dilakukan, kadang-kadang didapati tujuannya yang lebih luhur dan lebih mulia dibandingkan yang lainnya. B. PESERTA DIDIK Peserta didik digunakan berdasarkan pandangan bahwa makhluk manusia yang dididik adalah makhluk yang berkepribadian. Oleh karena itu dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses pendidikan sepanjang hayat. Dan merupakan suatu proses, proses penyesuaian diri dan proses pemecahan masalah. Menurut Raka Joni, hakikat subjek didik ada empat, yakni: bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri sesuai dengan wawasan pendidikan seumur hidup; memiliki potensi baik fisik maupun psikologis yang berbeda-beda, sehingga masing-masing subjek didik merupakan insan yang unik; subjek didik memerlukan pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi; pada dasarnya merupakan insan yang aktif menghadapi lingkungan. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi yang selalu mengalami perkembangan sejak terciptanya sampai meninggal dunia dan perubahan-perubahan terjadi secara bertahap, tetapi secara wajar. Pendidik bertugas membimbing dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik itu pada tiap-tiap tahapnya. Seorang pendidik harus memahami tahap-tahap perkembangan dan potensi subjek didik tersebut. Oleh karena itu, pendidik harus dapat mengetahui perbedaan individual tersebut. Perbedaan individu dapat terjadi akibat irama dan tempo perkembangan yang beragam dan oleh adanya faktor perkembangan yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi peserta didik. Faktor perkembangan pada umumnya di bedakan atas faktor kemampuan dasar, faktor lingkungan dan faktor kepribadian. Untuk mengembangkan kemandirian anak didik, interaksi antara pendidik dan anak didik hendaklah berlangsung secara manusiawi. Pada situasi pendidikan dimana pendidik yang lebih memegang peranan atau pemusatan aktivitas pada pendidik, dan kemandirian tersebut tidak mungkin dikembangkan. Disamping itu, pendidik hendaknya menyiapkan dan mengatru lingkungan, sehingga menunjang terhadap perkembangan potensi anak didik. Bagi anak didik yang lingkungannya kurang baik dan kurang teratur, pembinaan individual sukar dilakukan. Dan diperkuat lagi dengan pernyataan dari Prayitno (2000) menyatakan bahwa, hak anak adalah memperoleh pendidikan yang layak memperkembangkan segenap potensi yang dikaruniai Allah kepadanya secara optimal. Dan anak dimungkinkan untuk: a) Memperoleh kesempatan, fasilitas dan pelayanan pendidikan dari orang tua, pendidik negara. b) Terhindar dari pemaksaan kehendak dari orang tua atau pihak lain yang mengganggu penyelenggaraan pendidikan anak. c) Terhindar dari hambatan yang menghalangi penyelenggaraan pendidikan anak. d) Terhindar dari perlakuan yang merugikan penyelenggara pendidikan. e) Terhindar dari peraturan dan/kebijakan yang memekasakan kehendak, menghalangi dan/atau merugikan pendidikan anak. Peserta didik mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Belum memiliki pribadi dewasa susila sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik b. Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik. c. Sebagai manusia memiliki sifat-sifat dasar yang sedang ia kembangkan secara terpadu, menyangkut seperti kebutuhan biologis, rohani, sosial, intelegensi, emosi, kemampuan berbicara, perbedaan individu dan sebagainya. Peserta didik sebagai manusia yang belum dewasa merasa tergantung kepada pendidiknya, peserta didik merasa bahwa ia memiliki kekurangan-kekurangan tertentu, ia menyadari bahwa kemampuannya masih sanagt terbatas dibandingkan dengan kemampuan pendidiknya. Kekurangan ini membawa ia untuk mengadakan interaksi dengan pendidiknya dalam situasi pendidikan. Dengan demikian, pendidikan berusaha untuk membawa anak yang semula serba tidak berdaya, yang hampir keseluruhan hidupnya menggantungkan diri pada orang lain, ke tingkat dewasa, yaitu suatu keadaan dimana anak sanggup berdiri sendiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, baik secara individu , secara sosial, maupun secara susila. C. PENDIDIK Pendidik adalah orang yang mempunyai tanggung jawab dalam melaksanakan pendidikan. Dwi Nugroho Hidayanto, mengiterpretasikan pengertian pendidik ini meliputi: a. Orang dewasa b. Orang tua c. Guru d. Pemimpin masyarakat e. Pemimpin agama Secara umum, dikatakan bahwa setiap orang dewasa dalam masyarakat dapat menjadi pendidik, sebab pendidikan merupakansuatu perbuatan sosial, perbuatan fundamental yang menyangkut keutuhan perkembangan pribadi anak didik menuju pribadi dewasa susila. Ada karakteristik pribadi dewasa susila, yaitu: a. Mempunyai individualitas yang utuh b. Mempunyai sosialitas yang utuh c. Mempunyai norma kesusilaan dan nilai-nilai kemanusiaan d. Bertindak sesuai dengan norma dan nilai-nilai itu atas tanggung jawab sendiri demi kebahagiaan dirinya dan kebahagiaan masyarakat atau orang lain. Orang dewasa dapat disifati secara umum melalui gejala kepribadiannya, yaitu: a. Telah mampu mandiri b. Dapat mengambil keputusan batin sendiri atas perbuatannya c. Memiliki pandangan hidup, dan prinsip hidup yang pasti dan tetap d. Kesanggupan untuk ikut serta secara konstruktif pada matra sosio kultural e. Kesadaran akan norma-norma f. Menunjukkan hubungan pribadi dengan norma-norma. Beberapa karakteristik dari pendidik, yaitu: a. Kematangan diri yang stabil; memahami diri sendiri, mencintai diri secara wajar dan memiliki nilai-nilai kemanuasiaan serta bertindak sesuai dengan nilai tersebut, sehingga ia bertanggung jawab sendiri atas hidupnya, tidak menggantungkan diri atau menjadi beban orang lain. b. Kematangan sosial yang stabil; dalam hal ini seorang pendidik dituntut mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masyarakatnya, dan mempunyai kecakapan membina kerja sama dengan orang lain. c. Kematangan profesional (kemampuan mendidik); yakni menaruh perhatian dan sukap cinta terhadap anak didik serta mempunyai pengetahuan yang cukup tentang latar belakang anak didik dan perkembangannya, memiliki kecakapan dalam menggunakan cara-cara mendiidik. Ada dua kategori pendidik, yaitu: a. Pendidik menurut kodrat, yaitu orang tua. b. Pendidik menurut jabatan, yaitu guru. Orang tua sebagai pendidik menurut kodratnya adalah pendidik pertama dan utama. Hubungan orang tua dengan anaknya dalam hubungan edukatif mengandung dua unsur dasar, yaitu: a. Unsur kasih sayang orang tua terhadap anaknya. b. Unsur kesadaran akan tanggung jawab dari pendidik untuk menuntun perkembangan anak. Guru sebagai pendidik menurut jabatan menerima tanggung jawab mendidik dari tiga pihak, yaitu orang tua, masyarakat dan negara. Seyogianyalah kepada guru diharapkan sikap-sikap dan sifat-sifat yang normatif baik sebagai kelanjutan dari sikap orang tua pada umumnya, antara lain: a. Kasih sayang kepada peserta didik. b. Tanggung jawab kepada tugas mendidik. Priyatno mengungkapkan kewajiban pendidik adalah menyelenggarakan praktek pendidikan terhadap sejumlah anak (peserta didik) yang menjadi tanggung jawabnya untuk memperkembangkan semua potensi yang dikaruniakan Allah kepada anak secara optimal. Pendidik harus: a) Memahami potensi anak untuk diperkembangkan secara optimal b) Memahami kondisi anak untuk mengadakan penyesuaian program-program pendidikann bagi anak. c) Melakukan kegiatan dan memberikan pelayanan pendidikan sesuai dengan potensi dan kondisi anak untuk memperkembangkan potensi anak secara optimal. d) Memberikan laporan dan bertanggung jawaban tentang perkembangan dan hasil-hasil pendidikan anak kepada orang tua dan pihak-pihak lain yang berhak memperoleh laporan. e) Bekerjasama dengan orang tua anak dan pihak-pihak lain yang terkait dengan pendidikan anak demi menyelenggarakan pendidikan anak seoptimal mungkin. f) Memahami dan menjalankan dengan sebaik-baiknya segenap peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak berwenang dalam menyelenggarakan pendidikan anak. g) Menyelenggarakan praktek pendidikan secara profesional sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh pihak-pihak yang berwenang. Tugas pendidik karena jabatan adalah berat, maka sebagai pendidik karena jabatan itu harus diadakan persiapan-persiapan yang cukup. Pendidik juga dituntut untuk menggunakan bahasa yang sopan, harus mempunyai kepribadian yang kuat. Dan harus di senangi serta di segani oleh peserta didik. Ia harus mempunyai kewibawaan, punya emosi yang stabil untuk menghadapi bermacam-macam peserta didik. D. ISI PENDIDIKAN Guru harus dapat memberi penafsiran yang tepat mengenai jenis dan fungsi tujuan yang akan di capainya secara kontrik, sehingga dapat memilih bahan/materi yang tepat sesuai dengan tujuan tersebut. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan berkenaan dengan aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Adapun kriteria untuk memilih hal tersebut adalah: a. Bahan/materi harus sesuai dan menunjang tercapainya tujuan. b. Bahan/materi harus sesuai dengan karakteristik perkembangan subjek didik. Materi yang diberikan harus sesuai dengan tujuan pendidikan, yang mengandung nilai-nilai sesuai dengan pandangan hidup bangsa. Dalam menetapkan bahan/materi tersebut, karakteristik peserta didik pada fase perkembangan tertentu harus pula menjadi pertimbangan. Bahan/,ateri yang akan diberikan harus dapat di sesuaikan dengan kemampuan peserta didik, menarik perhatian, minat, umur, bakat, jenis kelamin, latar belakang dan pengalaman. Selain itu, bahan/materi tersebut perlu diorganisasikan menurut urutannya dengan memperhatikan keseimbangan dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari yang konkret menuju yang abtrak, sehingga dapat menuntun para pelajar secara rutin/sistematis, sehingga memudahkan untuk mempelajarinya melahirkan kurikulum. Guru harus memilih bahan/materi yang perlu diberikan dan bahan mana yang tidak perlu, guru harus mempertimbangkan hal berikut: a) Bahan/materi harus sesuai dan menunjang tercapainya tujuan. Hanya bahan/materi yang sesuai dan menunjang tujuan yang perlu diberikan. b) Urgensi bahan, yaitu bahan/materi itu penting untuk diketahui oleh peserta didik. Sifat bahan tersebut merupakan landasan untuk mempelajari bahan berikutnya. c) Nilai praktis atau kegunaannya diartikan sebagai makna bahann itu bagi kehidupan sehari-hari. d) Bahan tersebut merupakan bahan wajib, sesuai dengan tuntutan kurikulum. e) Bahan yang susah diperoleh sumbernya, perlu diupayakan untuk diberikan oleh guru. Untuk bahan yang mudah diperoleh sebaiknya ditugaskan untuk mempelajari sedangkan guru hanya membicarakan pokok-pokoknya saja. KESIMPULAN Jadi pendidikan merupakan wahana penting untuk membangun pelajar, yang sifat sasarannya yaitu manusia, yang mengandung banyak aspek yang sifatnya sangat kompleks. Maka tidak ada sebuah batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Selain itu dalam pendidikan juga melibatkan beberapa unsur penting, yaitu: 1. Subjek yang di bimbing (peserta didik) 2. Orang yang membimbing (pendidik) 3. Interaksi antara peserta didik dan pendidik (interaksi edukatif) 4. Ke arah bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan) 5. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan) 6. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode) 7. Tempat dimana bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan) Pendidikan tidak hanya diperutukan bagi para pelajar saja. Namun bagi siapa saja yang ingin menuntut ilmu. DAFTAR PUSTAKA Hasbullah. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press. Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 2007. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Tim MKDK Pengantar Pendidikan. 2008. Pengantar Pendidikan. Padang: UNP. Effendi, Mawardi. 2009. Istilah-istilah dalam Praktik Mengajar dan Pembelajaran. Padang: UNP PRESS.

pemikiran Al Ghazali

A. Pendahuluan 1. Latar belakang masalah Al-Ghazali adalah seorang intelektual agung yang bersifat generis dengan keahlian yang multi dimensional, baik di bidang keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Generalisasi keahliannya itu menunjukkan keluwesannya dan mengungkap permasalahan dan ternyata dia mampu menyelesaikan pertentangan-pertentangan intelektual pada masanya dan melahirkan pemikiran baru dalam filsafat. Ilmunya yang telah terbukti kebenarannya di masa sekarang. Sesungguhnya, Al-Ghazali seorang pakar pendidikan yang luas pemikirannya. Bahkan ia pernah berkecimpung langsung menjadi praktisi selain sebagai pemikir pendidikan, ia pula memikirkan soal-soal pendidikan, pengajaran dan metode-metodenya. Namun, berbagai pandangan dan teori pendidikannya tidak terhimpun dalam suatu kitab karena hampir didalam setiap kitabnya tidak ada yang spesifik untuk membahas pendidikan meski hampir dalam setiap karyanya selalu menyentuh aspek pendidikan. Al-Ghazali mengemukakan sebagian pendapatnya mengenai pendidikan yang pada saat ini dipandang sebagai pendapat terbaru dalam pendidikan modern. Ia telah menganjurkan agar perbedaan indivudu ikut diperhatikan dalam pengajaran. Dari sinilah tampak oleh kita pentingnya aliran pendidikan Al-Ghazali. 2. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah: 1. Bagaimana biografi singkat tentang Imam Al-Ghazali? 2. Bagaimana Zeitgest pada masa Al-Ghazali mengeluarkan pemikirannya? 3. Bagaimana pemikiran Al-Ghazali terhadap pendidikan? 4. Bagaimana pemikiran Al-Ghazali tentang pemikiran dalam berbagai bidang lainnya? B. Isi 1. Riwayat hidup / Biografi Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, dilahirkan di suatu desa kecil yaitu “Gazaleh” kabupaten Thus, provinsi Khusrasan, Republik Islam Iran. Ia dilahirkan pada tahun 450 H / 1058 M yang merupakan putera seorang penenun (ghazzal) pada kota tersebut. Al-Ghazali dan saudaranya pertama kali menimba ilmu pengetahuan kepada sahabat ayahnya, kemudian belajar ilmu fiqh dan tasawuf kepada seorang sufi di kota Thous. Pada tahun 469 H ia berangkat ke Jurjan untuk melanjutnya pelajarannya, namun ia tidak puas terhadap pelajaran yang didapatkannya dan kembali ke kota asalnya selama tiga tahun. Barulah pada tahun 471 H ia berangkat ke Naisabur untuk memasuki Akademi Nizamiyah dengan pimpinannya dalam ilmu pengetahuan agama yang bernama Abu Ma’alin Phisaudin al-Jawaini. Dari beliau inilah Al-Ghazali memperoleh ilmu pengetahuan agama yang bermacam-macam, seperti Ilmu Fiqh (hukum Islam), ushul fiqh (theologia), ilmu kalam dan filsafat secara terus menerus sampai ia mampu bertukar pikiran dengan segala aliran dan agama bahkan mulai mengarang buku-buku ilmiah dan berbagai disiplin ilmu. Buku yang dikarang olehnya seperti Al Basith, Al Wasith, Al-Wajiz, Khukashah ilmu fiqh, Al-Munqil fi ilm al-jadal (ilmu berdebat), Ma’khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashin al-Ma’akhidz dan Al-Muhadi’ wa al-Ghayat fi Faan al-Khalaf. Dengan kesibukannya menulis kitab-kitab ini tidak membuat perhatiannya terganggu terhadap ilmu Metafisika dan selalu meragukan kebenaran adat-istiadat warisan nenek moyang dimana belum ada seorangpun yang memperdebatkan soal kebenaran tentang kebenaran akan hal tersebut. Al-Ghazali memang cerdas yang terlihat dari debat-debat yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih. Keikut sertaannya diskusi dengan sekelompok ulama dan para intelektuan di hadapan Nidzam al Mulk yang membawa kemenangan untuknya. Sehingga Nidzam al Mulk kagum melihat kehebatannya dan berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad yang terjadi pada tahun 484 atau 1091 M. 2. Zeitgest Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh yang mengadopsi berbagai model pemikiran mulai dari yang rasional sampai yang irasional. Karena pada masa itu ada dua pola yang sedang berkembang yaitu pola pemikiran yang bersifat tradisional yang selalu mendasarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistik dan mengembangkan pola pendidikan sufi yang lebih memperhatikan aspek-aspek batiniah dan akhlak atau budi pekerti manusia. Sedangkan pola pemikiran empiris rasional sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material. Pada masa hidupnya ia berpendapat bahwa ada empat golongan yang menimbulkan krisis dalam bidang pemikiran dan intelektual yang disebabkan oleh pertentangan pendapat mereka, yaitu ahli kalam, kaum batiniah, para folosof dan kaum sufi. Hal ini membuat Al-Ghazali merasa resah karena merajalelanya pemikiran yang kuat tentang Hellenisme, yaitu suatu faham yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Sehingga hal ini menjadi latar belakang Al-Ghazali untuk mnegkritik aliran-aliran dalam pemikiran Islam karena terdorong oleh gejala pemikiran bebas yang membuat orang meninggalkan ibadah. Semua hal itu membuat Al-Ghazali tidak hanya mempelajari agama Islam tetapi juga filasat dan aliran-aliran maupun golongan-golongan yang berkembang pada waktu itu. Hal ini dilakukan oleh Al-Gazali untuk mengetahui motif-motif ajaran mereka dan mengembalikannya kepada ajaran Nabi Muhammad SAW, sehingga ia disebut sebagai tokoh pembaharu dalam sejarah Islam. Pada tahun 913 M, Al-Ghazali melihat adanya kemunduran di dunia Islam terutama aspek intelektual dan moral. Hal ini menyebabkan Al-Ghazali untuk mencari kekuatan-kekuatan positif untuk menghindari kehancuran tersebut. Pada masa ini keragaman (pluralisme) pemikiran muslim telah mengunggah intelektual Al-Ghazali. Sehingga ia tidak bisa membiarkan hal tersebut terjadi, karena setiap mazhab yang muncul memiliki gaya dan cara tersendiri dalam memahami agama. Filosof muslim hampir secara keseluruhan radikal dalam menggunakan akal dalam mendudukkan substansi agama yang secara tidak sengaja mengadopsikan pemikiran filosof Yunani. Hal ini menyebabkan adanya kemunduran dalam berbagai aspek kehidupan seperti kebudayaan, peradaban, pendidikan, kejiwaan, serta pemikiran. Hal ini dikarenakan terjadinya polarisasi dan pluralisasi paham dari berbagai kelompok dan masing-masing kelompok tersebut menganggap paling benar. 3. Pemikiran Al-Ghazali a) Bidang Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Pendidikan adalah suatu konsep pendidikan memuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Konsep ini bercorak sufi yakni mengutamakan kebahagiaan di akhirat, tetapi tidak mengkesampingkan dalam pengetahuan duniawi. Ia berpendapat bahwa pendidikan dalam proses harus mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidup bahagia di dunia maupun di akhirat. Pendidikan islam menganggap bahwa pembentukan kepribadian Muslim sebagai tujuan akhir pendidikan memerlukan proses yang terus menerus sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan adalah suatu kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi yaitu murid dan guru, karena keberhasilan pendidikan ditentukan oleh hubungan kasih sayang dan santun yang mengikat antara guru dan murid. Hubungan ini menjamin tentram pada diri murid terhadap gurunya sehingga anak tidak akan menjadi takut kepadanya dan tidak meninggalkan pelajaran yang diasuhnya. Ada beberapa komponen dalam pendidikan: Tujuan pendidikan  Tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah,  Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran dari tujuan pendidikan tersebut. Tujuan tersebut bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi. Selain hal diatas, Al-Ghazali juga merumuskan tujuan pendidikan terbagi atas dua bagian, yaitu: • Tujuan jangka panjang Tujuan pendidikan jangka panjang adalah untuk mendapatkan kedekatan diri kepada Allah. Oleh karena itu pendidikan dan prosesnya harus menjadikan seseorang mengenal dan mendekatkan diri pada Allah. Dalam hal ini peserta didik harus mempelajari ilmu yang wajib atau fardlu 'ain untuk diketahui. • Tujuan jangka pendek Pendidikan di sini dimaksudkan agar peserta didik dapat memiliki profesi sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Hal ini dilakukan supaya peserta didik dapat memiliki kemampuan untuk mengelola dunia yang telah dianugrahkan pecipta. Memperoleh penghidupan yang layak, kedudukan, harta dan sisi keduniaan lainnya. Dengan tujuan di atas pendidikan dimaksudkan untuk menjadikan seorang insan yang shalih, manusia yang sempurna. Dengan demikian pendidikan akan mengarahkan peserta didik mendapatkan pendidikan baik secara intelektual dan juga agama. Peserta didik akan memperoleh kecerdasan intelektual dan juga alat pengontrol kegunaan kejerdasan itu, sehingga tidak menggunakannya hanya untuk mendapatkan keuntungan – keuntungan pribadi saja. Pendidikan Islam mempunyai corak yang spesifik, yaitu cap (stempel) agama dan etika yang kelihatan nyata pada saran-saran dan sarananya, dengan tidak mengabaikan masalah keduniawian. Oleh karena itu Al-Ghazali memberi ruang dalam sistem pendidikannya bagi perkembanmgan duniawi. Tetapi dalam pandangannya tentang mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia dunia hanya sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat perkebunan utnuk kehidupan di akhirat, sebagai alat yang menghantarkan seseorang menemui tuhannya. Selain bersifat agamis yang menjadi ciri spesifik pendidikan islam, pemikirannya juga bercorak Tasawuf. Sehingga, sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu yang membuat dia bahagia di dunia dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sehingga, disumpulkan bahwa modal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu, sehingga ilmu merupakan amal utama. Karena Al-Ghazali menganggap bahwa dunia bukanlah hal yang pokok, tidak abadi dan akan rusa, sedangkan maut yang dapat memutuskan kenikmatan setiap saat. Dunia hanyalah sementara, tidak kekal sedangkan akhirat adalah kehidupan yang kekal dan maut senantiasa mengintai setiap saat. Ia mengganggap bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang tersebut derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas kebahagiaanya di akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali bukanlah menistakan dunia tetapi dunia hanya sebagai alat . Kurikulum Menurut Al-Ghazali kurikulum ini adalah hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan, yang dibagi atas 3 bagian, yaitu:  Ilmu yang terkutuk yang tidak bermanfaat di dunia maupun di akhirat seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan, yang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan) baik yang memilikinya maupun orang lain. Oleh karena itu ia beranggapan bahwa mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib karena menurut tabi’atnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmunya dengan baik.  Ilmu yang terpuji adalah ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya, karena ilmu yang seperti ini mnegajarkan manusia tentang cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dan melakukan sesuatu yang diridhai-NYA serta dapat membekali hidupnya di akhirat. Sehingga ia mengatakan bahwa ilmu yang wajib untuk dipejari adalah mengenai zat dan sifatnya serta ilmu fiqh karena dengan ilmu ini seseorang akan mengetahui masalah ibadah, halal dan haram, tingkah laku secara umum dan Mu’amalah. Ia juga beranggapan bahwa ilmu yang harus di kuasai oleh seseorang atau setiaap muslim adalah ilmu agama mulai dari kitab Allah, ibadah yang wajib seperti shalat, puasa, zakal dan lain-lain. Ilmu yang termasuk fardhu ‘aini adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib. Sedangkan yang fardhu kifayah badalah semua ilmu yang mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran yang menyangkut keselamatan tubuh atau ilmu hitung yang diperlukan dalam hubungan mu’amalah, pembagian wasiat dan warisan dan lain sebagainya. Pekerjaan yang termasuk dalam fardhu kifayah seperti ilmu pertanian, menenun, administrasi dan jahit-menjahit.  Ilmu yang terpuji dalam keadaan tertentu, jika dipelajari secara mendalam dapat menyebabkan terjadinya kekacauan antara keyakinan dan keraguan dan dapat pula membawakan kepada kekafiran seperti ilmu filsafat. Dengan segala ilmu tersebut baik ilmu aqliyah maupun ilmu amaliyah tidak sama nilainya karen akeutamaannya juga berbeda. Perbedaan itu disebabkan karena gaya yang dibunakan untuk menguasainya; melihat dari besar atau kecilnya manfaat yang didapatkan manusia; serta tempat mempelajarinya. Sehingga ia beranggapak bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya karena hanya dapat dikuasai melalui akal yang sempurna dan pikiran yang jernih. Dalam menyusun kurikulum pelajaran, ia memberi perhatian kepada ilmu agama dan etika karena sangat menentukan bagi kehidupan manusia. Karena ia menekankan sisi faktual dalam kehidupan yaitu sisi yang tidah selalu ada, selain itu ia juga menekankan kepada sisi budaya. Sehingga adanya kecendrungan:  Kecendrungan agama dan tasawuf, yang menempatkan ilmu agama di atas segalanya dan menandangnya sebagai alat untuk mensucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.  Kecendrungan pragmatis, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah dan disertai dengan kesungguhan dan niat yang tulus ikhlas. Materi Pendidikan Materi pendidikan menurut Al-Ghazali dijelaskan dalam kitab Ayyuha al-Walad, yaitu: 1. Ilmu Ilmu adalah pengetahuan yang membuat seseorang faham akan makna ketaatan dan ibadah. Karena hal itu dalam melaksanakan perintah dan larangan-Nya harus mengikuti syari’ah. Semua yang dikatakan, diperbuat dan ditinggalkan harus berlandaskan syari’ah. Baginya, perkataan dan perbuatan harus konsisten dan tidak bertentangan dengan syari’ah, sebab ilmu dan amal tanpa landasan syari’ah adalah sesat. Sehingga, Al-Ghazali menganjurkan untuk ber-Mujahadah , mengalahkan syahwat dan menindukkan hawa nafsu dengan pedang riyadhah , bukan dengan ucapan-ucapan kosong yang tidak bermanfaat. Karena lidah yang bebas seenaknya berkata-kata dan hati yang tertutup dan dipenuhi dengan kelalaian dan syahwat adalah pertanda kesengsaraan, sehingga apabila seseorang tidak dapat menundukkan nafsunya maka hatinya tidak pernah hidup dengan cahaya Allah. 2. Tasawuf Tasawuf memiliki dua karakteristik yaitu istiqamah dan sakinah (tenang) terhadap makhluknya, sehingga barang siapa yang dapat beristiqamah, berakhlak mulia dan bergaul dengan santun, maka ia adalah seorang sufi. Jadi dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah jalan yang paling benar dalam mencapai kebahagiaan yang hakiki. Jalan yang ditempuh oleh para Sufi tersebut adalah pengalaman. 3. Ubdiyah dan tawakhal, Ikhlas dan Riya’ Ubidiyah ada tiga bagian, yaitu menjaga perintah syari’ah, rela dengan qadla dan qadar; ridha dengan pembagian Allah, dan meninggalkan ridha diri dalam rangka mencari ridla Allah. Tawaqal adalah upaya untuk meneguhkan keyakinan kepada Allah yang berhubungan dengan apa yang dijanjikan-Nya. Ikhlas adalah menjadikan semua amal mu untuk Allah SWT, tidak merasa gembira dengan pujian manusia dan tidak perduli dengan celaan mereka. Riya’ timbul karena pengagungan kepada manusia, untuk menghilangkannya dengan mnyadari bahwa semua manusia tunduk kepada kekuasaan Allah, atau menganggap mereka sebagai benda yang mati yang tidak mampu memberikan kemudahan ataupun kesulitan. 4. Delapan nasehat Al-Ghazali • Melarang agar tidak berdebat, karena memuat berbagai bencana, dosanya lebih besar dari manfaatnya. • Berkaitan dengan perbuatan yang harus ditinggalkan, dia melarang memberikan nasehat peringatan kepada masyarakat kecuali apabila orang yang memberikan nasehat telah mengamalkannya. • Berkaitan dengan perbuiatan yang harus ditinggalkan, yaitu tidak bergaul dengan pejabat pemerintah dan jangan bertemu dengan mereka, jika seseorang bertemu dengan mereka maka jangan memujinya. • Tidak menerima pemberian atau hadiah dari pejabat negara, karena dapat merusak agama dan dapat membuat orang berkepentingan dan berpihak kepada mereka, melindungi kelompok mereka, dan setuju dengan kezaliman mereka. • Menjadikan hubungan seseorang hamba dengan Allah sedemikian rupa, sehingga timbul rasa senang, lapang dada dan tidak pemarah. • Apapun yang diperbuatkan oleh seseorang untuk masyarakat, maka jadikanlah sebagaimana yang ia sukai untuk dirinya sendiri. • Apabila seseorang membaca atau mempelajari ilmu hendaknya ilmu itu dapat memperbaiki hatinya dan mensucikan jiwanya. • Tidak menyimpan kebutuhan hidupnya melebihi satu tahun sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw . Metode pengajaran Al-Ghazali mencontohkan metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Kecendrungan pendidikan secara umum yaitu prinsip yang berkaitan dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Ia mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu murid dan guru. Ia menganggap bahwa yang mulia di dunia ini adalah manusia, tetapi bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya . Metode lainnya adalah metode cerita atau kisah, yang dilatarbelakangi oleh kewajiban seseorang yang harus mengamalkan ilmunya . Kriteria guru yang baik Guru dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang cerdas dan sempurna akalnya dan baik akhlaknya serta kuat fisiknya. Sehingga, ia akan memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam dan dengan akhlaknya yang baik dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksakan tugasnya dengan mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak-anak didiknya. Selain itu, guru juga harus memiliki sikap:  Sikap rasa kasih sayang, yang dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.  Guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajar, karena itu merupakan kewajiban bagi setiap orang yang alim (berilmu).  Guru sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya,  Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan lain sebagainya.  Guru harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya.  Guru harus memiliki prinsip mengakui adanya potensi yang dimiliki murid secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya.  Seorang guru memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, memahami bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan tingkat perbedaan usianya.  Guru harus berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Sifat murid yang baik  Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dan sifat tercela lainnya.  Seorang murid harus menghindarkan diri dario persoalan duniawi, mengurangi keterkaitan dengan dunia, karena keterkaitan kepada dunia dan masalah-masalahnya.  Seorang murid hendaknya bersikap rendah hati dan tawadlu. Agar muridnya tidak merasa besar dari pada gurunya, dan merasa ilmunya lebih hebat dari pada gurunya,  Murid baru hendaknya jangan mempelajari ilmu yang berlawanan atau pendapat yang saling berlainan atau bertentangan. Karena murid yang bersangkutan belum memahami berbagai pendapat yang berbeda itu.  Seorang murid seharusnya mendahulukan mempelajari yang wajib.  Seorang murid hendaknya mempelajari lmu secara bertahap.  Seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya.  Seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya. Pola Pendidikan a. Pandangan bernada religius yang aktif. Pandangan inilah yang membuat dia meletakkan ilmu-ilmu agama di atas segala-galanya dan memandangnya sebagai alat pencuci jiwa dari daki-daki duniawian. Tentang pembersihan daki ini dengan jalan pendidikan yang serasi ( harmoni ) yang baik. b. Pandangan realitis yang memperhatikan aspek kemanfaatan. Meskipun dia seorang Sufi, namun berkali-kali terungkap bahwa ia menilai ilmu sekaitan dengan manfaatnya bagi manusia, baik didunia maupun di akhirat. Selain itu, Al-Ghazali membagi ilmu atas tiga kelompok disiplin yang asasi : a. Ilmu-ilmu yang tercela, baik sedikit maupun banyak b. Ilmu-ilmu yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, lebih banyak lebih terpuji c. Ilmu-ilmu yang dalam ukuran tertentu adalah terpuji, tetapi untuk memperdalamnya adalah tercela. Adapun kelompok ilmu yang bermanfaat untuk dikaji sekedarnya adalah ilmu-ilmu yang terlalu didalami dapat mengacaukan jalan fikiran atau menimbulkan keraguan bahkan mengundang kekufuran. Menurut Al-Ghazali, tercelanya sebahagiaan ilmu itu disebabkan oleh : a. Kadang-kadang kelompok ilmu menimbulkan madarat baik bagi pemiliknya sendiri maupu bagi orang lain. Contoh : ilmu sihir dan Azimat untuk menghilangkan bahaya, sering disalah gunakan oleh manusia untuk menanamkan kedengkian antara mereka. b. Ilmu dapat menimbulkan madarat bagi pemiliknya saja. Contoh : Ilmu rujum, Al-Ghazali membagi dua bagian, yaitu pertama, astronomi atau ilmu falak yang menurut Al-Ghazali tidak tercela, kedua Astrologi ilmu pembuka tabir dengan melihat rasi bintang. Menurut Al-Ghazali tercela karena manusia ragu terhadap kekuasaan Allah, sehingga menjadi kafir. c. Ilmu yang diperdalam tidak mendatangkan faidah apa-apa. ilmu ini disebut semacam ilmu tercela karena jika ilmu ini terus-menerus di kaji, ia dapat menimbulkan sejenis kekufuran kepada Allah SWT. Evaluasi Menurut Al-Ghazali evaluasi adalah kehidupan, maka orang yang menghadapi evaluasi dalam pendidikan betul-betul muncul dari kehidupan tersebut. Kehidupan sehari tidak pernah menghafal formula tetapi dituntut untuk menyelesaikan masalah yang dihadapai apakah manusia tersebut mampu atau tidak untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya . Tahapan Pendidikan Tingkat perkembangan manusia menurut Al-Ghazali dimulai dari masa ketika masih dalam kandungan sampai pada masa aqil atau masa ketika anak berakal sempurna. Perkembangan ini sebagai landasan perkembangan anak pada masa yang akan datang. Tahapan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: a. Fase Janin Awal mula pendidikan anak tidak terlepas dari tujuan pernikahan yaitu melaksanakan sunnah Rasul, yaitu lahirnya keturunan yang dapat meluruskan risalah. Ajaran Islam menyebutkan bahwa pada masa kehamilan merupakan masa yang menentukan bagi kehidupan anak dalam kandungan yang digambarkan sebagai situasi yang akan dialami anak dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, pada masa kehamilan orang tua dianjurkan untuk menjaga diri dan sifat dan sikap negatif serta memperbanyak kegiatan positif. Pada masa ini diterapkan dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak amal soleh, amal kemanusiaan, dan melindungi diri serta memohon kepada-Nya. b. Fase Thifl Keluarga merupakan tempat pertumbuhann pertumbuhan pertama dimana anak mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dalam tahun-tahun pertama pendidikan bagi anak. Sehingga keluarga adalah lembaga pertama yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan masyarakat karena keluarga batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk mencetak dan mempersiapkan personilnya. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan fisik dan mental anak akan dimulai. Hal ini dianggap Al-Ghazali bahwa penanaman agama dalam jiwa anak hanya dimulai dengan cara menirukan atau mengikuti saja. Al-Ghazali mengatur cara menanamkan akidah secara berangsur-angsur dari membaca, menghafal, mempercayai dan membenarkan sehingga akan tertanam kuat dalam jiwanya setelah ia dewasa. Pendidikan anak pada masa ini bersifat informal, karena disinilah menjadi wadah untuk menanamkan dasar-dasar pendidikan akhlak. Peran orang tua disini memberikan contoh yang ideal dalam pandangan anak, karena segala sesuatunya akan ditiru oleh anak nantinya. Hendaknya para orang tua dan semua pendidik mengetahui dan menyadari bahwa pendidikan dengan pembiasaan dan keteladanan merupakan tiang penyangga dalam upaya meluruskan penyimpangan moral dan perilaku anak. c. Fase Tamyiz Pada masa ini ditandai dengan kematangan dalam aspek psikologis untuk berproses dalam pendidikan formal agar intelektualnya berkembang seperti perkembangan kemampuan berpikir logis rasionalis secara sederhana. Pada periode ini kepekaan anak terhadap lingkungan sekitar sudah mulai tumbuh. Sehingga diharapkan kepada orang tua untuk memberikan pembiasaan kepada anak untuk berakhlak mulia serta latihan beribadah seperti berpuasa, shalat, berdoa, dan lain sebagainya. Sehingga anak melaksanakan amalan ang baik secara tidak terpaksa karena mereka sudah mengetahui manfaatnya untuk diri mereka sendiri. d. Fase Aqil Pada fase ini merupakan masa evaluasi terhadap pendidikan yang telah berjalan sejak masa formal dan pendidikan kesusilaan. Pada masa ini kemampuan anak sudah memahami hal yang bersifat abstrak dari kenyataan yang dilihat dan didengarnya. Perkembangan anak oada masa ini memasuki masa guncang karena perubahan pertumbuhan yang cepat disegala bidang terjadi. Dimana adanya perubahan ini menyebebkan terjadinya goncangan, emosi, kecemasan dan kekhawatiran. Maka pada tahap ini orang tua atau pendidik agar mendidik anaknya membentuk pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Pada tahap ini merupakan batas minimal bagi orang tua untuk mendidik, membina dan membimbing anaknya agar dapat mandiri. Karena pada usia ini merupakan tanggung jawab anak. b) Bidang pembelajaran Pembelajaran adalah interaksi yang dibangun antara pendidik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. • Pembelajaran menciptakan rasa aman, kasih sayang, dan lingkungan yang kondusif sehingga memungkinkan siswa belajar dengan nyaman. • Pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi dan tingkat pemahaman siswa. Seorang guru harus mengajar siswanya sesuai dengan kondisi fisik dan tingkat intelektualnya. • Mengajar dengan contoh (keteladanan). • Mengajar dengan metode praktek (demostrasi), guru hendaknya membiasakan adanya praktek dari pelajaran yang telah dipelajari. • Membimbing, menasehati murid, dan melarang mereka dari akhlak tercela. Hal ini hanya dilakukan dengan cara halus, baik melalui sindirian atau kiasan, karena jika dilakukan dengan terang-terangan maka akan merendahkan harga diri siswa. • Mengajarkan suatu ilmu secara mendalam. c) Bidang Intelegensi Al-Ghazali mengungkapkan bahwa akal adalah sumber ilmu. Intelegensi adalah tentang jiwa manusia yang terdiri dari dua materi yang berbeda yaitu jasmani yang bersifat gelap dan jiwa yang bersifat cahaya. Al-Ghazali membagi jiwa manusia menjadi tiga bentuk: pertama, Jiwa Natural, yaitu kekuatan yang menuntut makanan, dan perkembangan jasad, yang bertugas untuk memikirkan hal-hal yang bersifat mendesak, menghindari bahaya dan kebutuhan primer seperti makan, tempat tinggal dan sebagainya. Kedua, Jiwa Hewani, yaitu berfokus pada pemuasan nafsu syahwat, amarah, dann syahwat makanan. Ketiga, Jiwa Wicara, adalah jiwa yang berfungsi untuk mengingat, menghafal, berfikir untuk menerima pengetahuan baru. Jadi intelegnsi menurut Al-Ghazali bukanlah terpusat pada otak, tetapi lebih dominan pada aspek qalb, ruh atau jiwa wicara. Sehingga seorang pelajar yang ingin berhasil dalam belajar harus membersihkan jiwanya dari nafsu dan syahwat dunia . d) Bidang Logika Ia mengatakan bahwa mengenai ilmu Al Manthiq (logika) tidak ada kaitannya dengan agama. Imu membahas tentang cara pembuktian dan alas pikiran dan penyusunan pikiran. Ilmu tersebut membahas tentang seluk-beluk pengertian dan cara pembentukannya melalui batasan, membahas tentang ragam pernyataan dan kepastiannya melalui ragam pembuktian. Ia mengingatkan agar tidak mudah percaya atau terperdaya sekalipun dengan filsafat. e) Bidang matematika dan fisika Al-Ghazali didalam Maqashid al-Falasafi menguraikan matematika (arith matika dan geomerti) tidak ada hubungannya dengan urusan-urusan agama. Permasalahan matematika bersifat pembuktian-pembuktian yang tidak dapat di bantah lagi. Dan mengenai permasalahan fisika membahas tentang ragam tubuh serta susunannya seumpama permasalahan mineral, permasalahan pertumbuhan dan permasalahan hewan beserta bidang-bidangnya, termasuk permasalahan ketatiban. Karena kedua hal tersebut terjadi berdasarkan hukum alam belaka tanpa iradat dan qodrat ilahi. Al-Ghazali memberi perhatian atas masalah Teologika karena sangat menentukan “iman” dan “kufur” di dunia, kebahagiaan dan kecelakaan pada hari esok/kemudian. f) Bidang Metafisika Didalam pemikiran filsafat Al-Ghazali ada terdapat empat unsur yang mempengaruhinya, yaitu: • Unsur pemikiran kaumk Mutakallimin; • Unsur pemikiran kaum filsafat; • Unsur kepercayaan kaum batiniah; • Unsur kepercayaan kaum sufi. Didalam bukunya yang berjudul “Tahafut al-Falasifah”, dia menyerang pendapat Ibnu Sina dan Filsafat Yunani. Ada beberapa hal yang ia permasalahkan, antara lain: • Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat Aristoteles tentang azalinya alam dan dunia. Ia berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh tuhan. • Al-Ghazali menyerang pendapat para kaum filsafat Aristototeles tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa keabadian alam terserah kepda tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus-menerus tanpa akhir, tetapi suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar iradat Tuhan. • Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa tuhan hanya mengetahuai soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil (juz iyat). • Al-Ghazali menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum tersebut. Segala sesuatu peristiwa yang serupa dengan hukum sebab akibat hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian . g) Bidang Etika Pemikiran Al-Ghazali tentang etika dapat dilihat dari ajaran Tasawufnya. Ia beranggapan bahwa orang sufi berada di atas jalan yang benar, berakhlak yang baik dan berpengetahuan yang benar. Penggambaran tentang etika oleh Al-Ghazali terdapat dalam semboyan tasawuf yang berati bahwa agar manusia sejauh kesanggupan meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti penhgasih, penyayang, pengampun (pemaaf), sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama dan sebagainya. Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya terhadap tuhan. Ia menganggap bahwa Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Selain itu, kebaikan juga tersebar dalam materi. Pada tahap akhirnya, kebahagiaan tertinggi ialah bila mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan tersebut . h) Bidang sebab akibat (Kausalitas) Di dalam buku Tahafut al-Falasifah ia membahas tentang menyalahi kebiasaan yang erat kaitannya dengan masalah hukum kausalitas yang dapat menyebabkan seseorang mempercayai atau tidak mempercayai adanya mukjizat para nabi yang mukjizatnya diartikan sebagai hal yang menyimpang dari kebiasaan alam. Hubungan atara sebab dan akibat tidak bersifat pasti, tetapi kedua hal ini mempunyai individualitasnya sendiri. Segala sesuatu yang terjadi hanyalah kehendak Allah SWT, baik secara langsung maupun melalui perentaraan malaikat untuk menguatkan bukti kenabian mereka . C. Penutup 1. Kesimpulan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi atau yang lebih dikenal dengan al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang lahir dikota Thus, Khurasan pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya adalah seorang sufi yang bekerja sebagai pemintal wool, ia meninggal sewaktu al-Ghazali masih kecil. Al-Ghazali mulai belajar di kota kelahirannya Thus, lalu kemudian melanjutkannya di Naysabur pada ulama terkenal, Al-Juwaini Imam Al-Haramain. Kehidupannya kemudian banyak diisi dengan kegiatan mengajar diberbagai kota mulai dari Baghdad, Damaskus, Syam hingga kembali kekampung halamannya di Thus, tempat dimana ia wafat pada tahun 505 H/1111 M. Imam al-Ghazali adalah seorang pemikir besar yang sangat produktif dalam menulis. Jumlah kitab dan risalah-risalah yang ditulisnya sampai kini belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. banyak kitabnya yang dibaca dan dijadikan rujukan, bahkan diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa asing, seperti Ihya’ ‘Ulumuddin, Tahafut al-Falasifah, Ayyuha al-Walad dan lain sebagainya. Al-Ghazali adalah seorang intelektual agung yang bersifat generis dengan keahlian yang multi dimensional, baik di bidang keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Generalisasi keahliannya itu menunjukkan keluwesannya dan mengungkap permasalahan dan ternyata dia mampu menyelesaikan pertentangan-pertentangan intelektual pada masanya dan melahirkan pemikiran baru dalam filsafat. Ilmunya yang telah terbukti kebenarannya di masa sekarang. Al-ghazali merupakan seorang filosof islam yang banyak mengeluarkan pemikirannya pada seluruh aspek kehidupan manusia, khusunya dalam bidang pendidikan. Ia mengungkapkan tentang Pendidikan yang dikaji dari kaca mata Islam. Menurut al-Ghazali, pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, begitupun pemanfaatannya mestilah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah SWT. Beliau membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori, yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji dan ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam. Lebih lanjut, al-Ghazali memakai pendekatan behavioristik dalam metode pendidikannya dan mengelaborasinya dengan pendekatan humanistik. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas seorang pendidik dan murid. Menurutnya, pendidik dan murid haruslah menjaga etika dan tugas-tugas mulianya agar dapat mengantarkannya pada kedekatakan Allah SWT sesuai dengan tujuan penciptaannya dimuka bumi ini. Tetapi, selain pemikiran tentang Pendidikan Islam, Al-Ghazali juga mengeluarkan pemikirannya tentang logika, metafisika, matematika, etika, hubungan antara sebab dan akibat atau hukum kausalitas, serta fisika. 2. Saran Pada penulisan makalah atau tulisan ini mungkin ada kesalahan, penulis minta maaf karena yang namanya manusia tidak terlepas dari yang namanya kekhilafan. Selain itu, pada tulisan ini penulis terfokus pada bidang Pendidikan Islam, untuk itu diharapkan kepada pembaca untuk menulis tentang pemikiran Al-Ghazali dalam berbagai bidang seperti logika, etika dan lain sebagainya. Daftar Bacaan Abidin Ibnu Rusn. 2009. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan. Jakarta: Pustaka Pelajar. Abu Muhammad Iqbal. 2013. Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Jawa Timur: Jaya Star Nine. Abuddin Nata. 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers. C.A. Qadir. 1991. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fatthiyyah Hasan Sulaiman. 1964. Alam Pikiran Al-ghazali mengenai pendidikan dan ilmu. Bandung : Cv. Diponegoro Fuad Mahbub Siraj. 2012. Al-Ghazali: Pembela Islam Sepanjang Masa. Jakarta: Dian Rakyat. Himajaya. 2004. Mengenal Al-Ghazali: Keraguan adalah Awal Keyakinan. Bandung: DAR! Mizan. Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta. Sirajuddin. 2012. Filsafat Islam: Filosof & Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers. Yoesoef Souyb. 1984. Pemikiran Islam: Merubah Dunia. Medan: Gama Cipta Jak

kebijakan pendidikan di Indonesia Era Otonomi Daerah

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan karuniannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir untuk mata kuliah Sejarah Pendidikan yang berjudul Kebijakan Pendidikan di Indonesia Era Reformasi, yang diperlukan untuk memenuhi tugas Akhir Semester. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tugas artikel ini, tanpa bantuan beliau mungkin penulis akan diliputi keraguan dan kebimbangan didalam penulisan artikel ini. Disamping itu penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya serta tanggapan yang sifatnya membangun. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan Mahasiswa atau pada umumnya. Padang, Desember 2014 Penulis DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar 1 Daftar Isi 2 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah 3 B. Batasan dan Rumusan Masalah 4 C. Tujuan 4 BAB II Pembahasan A. Otonomi Daerah 5 B. Sistem Desentralisasi 6 C. Otonomi Daerah di Bidang Pendidikan 8 BAB III Penutup A. Kesimpulan 11 B. Saran 12 Daftar Kepustakaan 13 I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa Orde Baru dikenal dengan semboyan ”Ekonomi Pembangunan” yang mengedepankan tiga stabilitas negara, yaitu stabilitas politik, ekonomi dan keamanan. Untuk menjalankan ketiga stabilitas tersebut, pemerintah berusaha untuk penyeragaman berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk pendidikan. Pendidikan pada masa ini ditandai dengan sistem sentralisasi pendidikan, yang membuat pemerintah pusat berwewenang dalam dunia pendidikan seperti sistem pendidikan, kurikulum, sumber daya manusia, penyediaan media dan sumber belajar serta anggaran pendidikan. Hal ini membuat pemerintah daerah tidak memiliki peran dalam mengembangkan pendidikan didaerahnya masing-masing. Pada saat Indonesia memasuki zaman baru yaitu Reformasi, maka sistem sentralisasi mulai ditinggalkan. Pada masa ini dikenal dengan sistem Desentralisasi. Artinya, dalam pendidikan tidak hanya melibatkan pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah. Hal ini ditandai dengan mengurangi kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan, dan memberi otoritas lebih besar kepada pemerintah daerah untuk menentukan masa depan anak-anak mereka. Dinas pendidikan daerah, yang dulu merupakan Kanwil Departemen Pendidikan, memiliki otoritas lebih besar untuk mengatur lembaga-lembaga pendidikan di daerahnya dalam berbagai aspeknya. Demikian juga halnya dengan lembaga-lembaga pendidikan, mereka memiliki otoritas yang lebih besar untuk menentukan apa yang harus diajarkan di sekolah-sekolah mereka. Maka disinilah letak perubahan pendidikan “Otonomi Pendidikan”. B. Batasan dan Rumusan Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka makalah ini dibatasi pada Pendidikan pada Era Otonomi Daerah yaitu pada era Reformasi. Adapun rumusan masalahnya adalah: 1. Apa itu Otonomi Daerah 2. Apa itu Sistem Desentralisasi? 3. Bagaimana bentuk otonomi daerah di bidang pendidikan? C. Tujuan Berdasarkan batas dan rumusan masalah diatas, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah: 1. Untuk mengetahui otonomi daerah. 2. Untuk mengetahui sistem desentralisasi 3. Untuk melihat bentuk otonomi daerah di bidang pendidikan. II PEMBAHASAN Kebijakan Pendidikan di Indonesia pada Era Otonomi Daerah A. Otonomi Daerah Otonomi daerah merupakan suatu alat bagi terwujudnya cita-cita keadilan, demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepada rakyat tidak akan pernah terwujud apabila pada saat yang sama agenda demokratisasi tidak berlangsung. Dengan kata lain, otonomi daerah disatu sisi dapat meminimalisasi konflik pusat – daerah, disisi lain dapat menjamin cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Jadi, otonomi daerah harus diagendakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari demokratisasi kehidupan bangsa. Asas otonomi daerah hendaknya saliing percaya dan saling menghormati, saling melengkapi dan saling ketergantungan baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antar pemerintah daerah dan antara rakyat dan pemerintah dalam rangka mewujudkan suatu Indonesia yang utuh, adil, demokratis dan sejahtera. Tujuan otonomi darerah ada dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum yaitu untuk meningkatkan kaualitas keadilan, demokrasi dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa yang beragan di dalam NKRI. Sedangkan tujuan khusunya adalah, (1) meningkatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan maupun implementasinya. Sehingga terwujud suatau pemerintahan lokal yang bersih, efisien, transparan, responsif dan akauntable; (2) memberi pendidikan politik kepada masyarakat akan urgensi keterlibatan mereka dalam proses pemerintahan lokal dan kontribusinya bgai tegaknya pemerintahan nasional yang kokoh dan sah; (3) membangun rasa saling percaya antar masyarakat. B. Sistem Desentralisasi Sistem desentralisasi juga sering disebut sebagai otonomi pendidikan. Hal ini dilaksanakan di Indonesia mengandung beberapa alasan. Pertama, karena alasan psikologis. Karena sentralisasi yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru menutup potensi kreativitas, inovasi serta kearifan lokal yang dimiliki daerah. Selain itu, pemeritah daerah tidak memiliki otoritas terhadap pendidikan diwilayah-wilayah mereka. Hal ini terjadi karena semua rencana dan bahan pelajaran dibuat secara beragam oleh pemerintah pusat. Kedua, karena alasan politis. Salah satu aspek politis adalah kekuasaan, termasuk kekuasaan atau wewenang dalam pengelolaan pendidikan. Pada masa Orde Baru otoritas pendidikan di daerah tetap di bawah kewenangan pemerintah pusat. Hal ini diwujudkan dengan adanya kantor-kantor wilayah departemen pendidikan di setiap propinsi dan kantor departemen pendidikan di setiap kabupaten/kota, yang merupakan bagian dari struktur pemerintah. Struktur ini menunjukkan bahwa berbagai kewenangan pendidikan, dari mulai penetapan kurikulum hingga pengangkatan kepala sekolah dan guru merupakan kewenangan pusat. Ketiga, alasan hukum. Karena alasan psikologis dan politis di atas, dipicu dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru, maka lahirlah Undang-Undang yang mengatur sekaligus memberi kekuasaan yang lebih besar pemerintahan daerah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara resmi mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Undang-Undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur Pemerintahan Daerah. Beberapa Undang-Undang di atas merupakan landasan diberikannya kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Kewenangan itu diberikan dengan pertimbangan antara lain bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan pendidikan di daerah masing-masing, sehingga diharapkan dapat membuat program dan kebijakan yang secara langsung menyentuh kebutuhan pendidikan di daerah. Menurut Ranis (dalam Fasli, 2001) sistem Desentralisasi diartikan sebagai pemerintah pusat menyerahkan kekuasaan kepada pengambil keputusan ditingkat daerah. Sementara Varghese menyatakan bahwa sisitem ini sebagai peralihan kekuasaan dan wewenang untuk mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan. Adapun karakteristik sistem desentralisasi menurut Varghese yaitu: (1) unit perencana yang lebih rendah mempunyai wewenang untuk memformulasikan untuk targetnya sendiri, termasuk penentuan strategi untuk mencapai target, dengan mengacu kepada tujuan pengembangan nasional; (2) unit perencana yang lebih rendah diberi wewenang dan kekuasaan yang memobilisasi sumber-sumber lainnya, dan keluesan untuk melakukan realokasi sumber-sumber yang telah diberikan kepada mereka sesuai dengan prioritas kebutuhan daerah; (3) unit perencana yang lebih rendah berpartisipasi dalam proses perencanaan dengan unit yang lebih tinggi. Tujuan desentralisasi adalah untuk (1) mengurangi beben pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil ditingkat lokal, (2) meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi, (3) menyusun program perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal lebih realistis, (4) melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional. C. Otonomi daerah di bidang pendidikan Pembangunan pendidikan berarti proses perombakan struktural administratif yang berkenaan dengan pengelolaan pendidikan dan subsistem operasional yang berkenaan dengan pengelolaan pendidikan dan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar setiap satuan pendidikan agar tercapai tingkat partisipasi, efesiensi, efektivitas dan relevansi pendidikan yang tinggi. Pembangunan pendidikan akan melahirkan orang-orang yang terdidik yang mencapai kedewasaan. Selain itu dalam pembangunan pendidikan ditunjang oleh pembangunan transformasi pengelolaan pendidikan di tingkat pusat, wilayah dan sekolah yang membangun kompenen-kompenen pendidikan, yaitu peraturan perundang-undangan kependidikan, kurikulum pendidikan untuk semua jenis satuan pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, teknologi pendidikan, dana pendidikan dan tenaga kependidikan. Pendidikan pada era ini mengacu kepada Undang-Undang NO. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ada dua implikasi utama dari pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan oleh daerah dan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Dalam hal penyelenggaraan pendidikan oleh daerah, kementerian pendidikan dan kebudayaan tidak lagi memiliki kantor wilayah di provinsi dan kantor departemen di kabupaten/kota. Peran kantor wilayah dan kantor departemen diambil alih oleh dinas pendidikan yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Implikasi lebih lanjut adalah penyaluran anggaran pendidikan lewat pemerintah daerah, pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan oleh daerah, dan pengelolaan tenaga pendidik dan tenaga pendidikan oleh daerah. Dalam hal ini yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah pusat memberikan sebagian besar otoritas pengembangan kurikulum kepada masing-masing lembaga pendidikan, dengan mengacu kepada peraturan-peraturan pendidikan yang berlaku. Dalam hal penyusunan kurikulum ini pemerintah pusat membuat model kurikulum KTSP dan menentukan standar kompetensi dari berbagai pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut. Selebihnya masing-masing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi kekhasan daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran yang tidak menjadi memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah. Dalam era ini, pemerintah daerah (Pemda) bertanggung jawab atas pengelolaan sektor pendidikan pada semua jenjang diluar Pendidikan Tinggi (SD, SMP, SMA). Disinilah letak kebebasan pendidikan tinggi untuk mengembangkan program pendidikannya sesuai dengan kebutuhan daeerah. Namun, pendidikan pada era ini menghadapi berbagai tantangan. Pertama, dunia pendidikan dituntut untuk mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daeran dan perserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. III PENUTUP A. Kesimpulan Era reformasi telah membawa pembahan mendasar dalam pendidikan, salah satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah. Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten Kota. Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada perencanaan parisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi sejumlah pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta fomm Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/ Kota, pertama-tama periu dilakukan analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan ekstemal yang berpengamh tertiadap perencanaan pendidikan kabupater kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan diintemalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi untuk mengetahui " situasi pendidikan saat ini" dan "situasi pendidikan yang diharapkan atau ditargetkan menyangkut berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat diketabui dan kebijakan substantif dan implementatif, program seria rencana kegiatan dapat dipikirkan secara integrated. Berhubung dengan itu, perlu sebuah pemikiran inovatif-kreatif mengenai model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi, yang dapat meramu sekaligus mengakomodasi upaya peningkatan dan pencapaian berbagai kebijakan pendidikan yang ditargetkan secara bersama-sama, bukan secara parsial dan berlanjutan. B. Saran Pada makalah ini, penulis hanya terfokus kepada kebijakan yang ditetapkan pada Pendidikan di Iindonesia pada era otonomi daerah. Diharapkan kepada pembaca atau penulis selanjutnya, untuk dapat menggali tentang pendidikan di Indonesia era otonomi daerah secara keseluruhan dan mendalam. Jika terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan maaf karena manusia tidak bisa terhindar dari rasa Khilaf. Daftar Kepustakaan Dede Rosyada. 2007. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Redja Mudyahrdjo. 2013. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. San M. Chan dan Tuti T. San. 2005. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Syamsuddin Haris, dkk. 2006. Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press. Tilaar. 2012. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.