Selasa, 01 September 2015

pemikiran Al Ghazali

A. Pendahuluan 1. Latar belakang masalah Al-Ghazali adalah seorang intelektual agung yang bersifat generis dengan keahlian yang multi dimensional, baik di bidang keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Generalisasi keahliannya itu menunjukkan keluwesannya dan mengungkap permasalahan dan ternyata dia mampu menyelesaikan pertentangan-pertentangan intelektual pada masanya dan melahirkan pemikiran baru dalam filsafat. Ilmunya yang telah terbukti kebenarannya di masa sekarang. Sesungguhnya, Al-Ghazali seorang pakar pendidikan yang luas pemikirannya. Bahkan ia pernah berkecimpung langsung menjadi praktisi selain sebagai pemikir pendidikan, ia pula memikirkan soal-soal pendidikan, pengajaran dan metode-metodenya. Namun, berbagai pandangan dan teori pendidikannya tidak terhimpun dalam suatu kitab karena hampir didalam setiap kitabnya tidak ada yang spesifik untuk membahas pendidikan meski hampir dalam setiap karyanya selalu menyentuh aspek pendidikan. Al-Ghazali mengemukakan sebagian pendapatnya mengenai pendidikan yang pada saat ini dipandang sebagai pendapat terbaru dalam pendidikan modern. Ia telah menganjurkan agar perbedaan indivudu ikut diperhatikan dalam pengajaran. Dari sinilah tampak oleh kita pentingnya aliran pendidikan Al-Ghazali. 2. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah: 1. Bagaimana biografi singkat tentang Imam Al-Ghazali? 2. Bagaimana Zeitgest pada masa Al-Ghazali mengeluarkan pemikirannya? 3. Bagaimana pemikiran Al-Ghazali terhadap pendidikan? 4. Bagaimana pemikiran Al-Ghazali tentang pemikiran dalam berbagai bidang lainnya? B. Isi 1. Riwayat hidup / Biografi Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, dilahirkan di suatu desa kecil yaitu “Gazaleh” kabupaten Thus, provinsi Khusrasan, Republik Islam Iran. Ia dilahirkan pada tahun 450 H / 1058 M yang merupakan putera seorang penenun (ghazzal) pada kota tersebut. Al-Ghazali dan saudaranya pertama kali menimba ilmu pengetahuan kepada sahabat ayahnya, kemudian belajar ilmu fiqh dan tasawuf kepada seorang sufi di kota Thous. Pada tahun 469 H ia berangkat ke Jurjan untuk melanjutnya pelajarannya, namun ia tidak puas terhadap pelajaran yang didapatkannya dan kembali ke kota asalnya selama tiga tahun. Barulah pada tahun 471 H ia berangkat ke Naisabur untuk memasuki Akademi Nizamiyah dengan pimpinannya dalam ilmu pengetahuan agama yang bernama Abu Ma’alin Phisaudin al-Jawaini. Dari beliau inilah Al-Ghazali memperoleh ilmu pengetahuan agama yang bermacam-macam, seperti Ilmu Fiqh (hukum Islam), ushul fiqh (theologia), ilmu kalam dan filsafat secara terus menerus sampai ia mampu bertukar pikiran dengan segala aliran dan agama bahkan mulai mengarang buku-buku ilmiah dan berbagai disiplin ilmu. Buku yang dikarang olehnya seperti Al Basith, Al Wasith, Al-Wajiz, Khukashah ilmu fiqh, Al-Munqil fi ilm al-jadal (ilmu berdebat), Ma’khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashin al-Ma’akhidz dan Al-Muhadi’ wa al-Ghayat fi Faan al-Khalaf. Dengan kesibukannya menulis kitab-kitab ini tidak membuat perhatiannya terganggu terhadap ilmu Metafisika dan selalu meragukan kebenaran adat-istiadat warisan nenek moyang dimana belum ada seorangpun yang memperdebatkan soal kebenaran tentang kebenaran akan hal tersebut. Al-Ghazali memang cerdas yang terlihat dari debat-debat yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih. Keikut sertaannya diskusi dengan sekelompok ulama dan para intelektuan di hadapan Nidzam al Mulk yang membawa kemenangan untuknya. Sehingga Nidzam al Mulk kagum melihat kehebatannya dan berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad yang terjadi pada tahun 484 atau 1091 M. 2. Zeitgest Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh yang mengadopsi berbagai model pemikiran mulai dari yang rasional sampai yang irasional. Karena pada masa itu ada dua pola yang sedang berkembang yaitu pola pemikiran yang bersifat tradisional yang selalu mendasarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistik dan mengembangkan pola pendidikan sufi yang lebih memperhatikan aspek-aspek batiniah dan akhlak atau budi pekerti manusia. Sedangkan pola pemikiran empiris rasional sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material. Pada masa hidupnya ia berpendapat bahwa ada empat golongan yang menimbulkan krisis dalam bidang pemikiran dan intelektual yang disebabkan oleh pertentangan pendapat mereka, yaitu ahli kalam, kaum batiniah, para folosof dan kaum sufi. Hal ini membuat Al-Ghazali merasa resah karena merajalelanya pemikiran yang kuat tentang Hellenisme, yaitu suatu faham yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Sehingga hal ini menjadi latar belakang Al-Ghazali untuk mnegkritik aliran-aliran dalam pemikiran Islam karena terdorong oleh gejala pemikiran bebas yang membuat orang meninggalkan ibadah. Semua hal itu membuat Al-Ghazali tidak hanya mempelajari agama Islam tetapi juga filasat dan aliran-aliran maupun golongan-golongan yang berkembang pada waktu itu. Hal ini dilakukan oleh Al-Gazali untuk mengetahui motif-motif ajaran mereka dan mengembalikannya kepada ajaran Nabi Muhammad SAW, sehingga ia disebut sebagai tokoh pembaharu dalam sejarah Islam. Pada tahun 913 M, Al-Ghazali melihat adanya kemunduran di dunia Islam terutama aspek intelektual dan moral. Hal ini menyebabkan Al-Ghazali untuk mencari kekuatan-kekuatan positif untuk menghindari kehancuran tersebut. Pada masa ini keragaman (pluralisme) pemikiran muslim telah mengunggah intelektual Al-Ghazali. Sehingga ia tidak bisa membiarkan hal tersebut terjadi, karena setiap mazhab yang muncul memiliki gaya dan cara tersendiri dalam memahami agama. Filosof muslim hampir secara keseluruhan radikal dalam menggunakan akal dalam mendudukkan substansi agama yang secara tidak sengaja mengadopsikan pemikiran filosof Yunani. Hal ini menyebabkan adanya kemunduran dalam berbagai aspek kehidupan seperti kebudayaan, peradaban, pendidikan, kejiwaan, serta pemikiran. Hal ini dikarenakan terjadinya polarisasi dan pluralisasi paham dari berbagai kelompok dan masing-masing kelompok tersebut menganggap paling benar. 3. Pemikiran Al-Ghazali a) Bidang Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Pendidikan adalah suatu konsep pendidikan memuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Konsep ini bercorak sufi yakni mengutamakan kebahagiaan di akhirat, tetapi tidak mengkesampingkan dalam pengetahuan duniawi. Ia berpendapat bahwa pendidikan dalam proses harus mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidup bahagia di dunia maupun di akhirat. Pendidikan islam menganggap bahwa pembentukan kepribadian Muslim sebagai tujuan akhir pendidikan memerlukan proses yang terus menerus sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan adalah suatu kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi yaitu murid dan guru, karena keberhasilan pendidikan ditentukan oleh hubungan kasih sayang dan santun yang mengikat antara guru dan murid. Hubungan ini menjamin tentram pada diri murid terhadap gurunya sehingga anak tidak akan menjadi takut kepadanya dan tidak meninggalkan pelajaran yang diasuhnya. Ada beberapa komponen dalam pendidikan: Tujuan pendidikan  Tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah,  Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran dari tujuan pendidikan tersebut. Tujuan tersebut bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi. Selain hal diatas, Al-Ghazali juga merumuskan tujuan pendidikan terbagi atas dua bagian, yaitu: • Tujuan jangka panjang Tujuan pendidikan jangka panjang adalah untuk mendapatkan kedekatan diri kepada Allah. Oleh karena itu pendidikan dan prosesnya harus menjadikan seseorang mengenal dan mendekatkan diri pada Allah. Dalam hal ini peserta didik harus mempelajari ilmu yang wajib atau fardlu 'ain untuk diketahui. • Tujuan jangka pendek Pendidikan di sini dimaksudkan agar peserta didik dapat memiliki profesi sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Hal ini dilakukan supaya peserta didik dapat memiliki kemampuan untuk mengelola dunia yang telah dianugrahkan pecipta. Memperoleh penghidupan yang layak, kedudukan, harta dan sisi keduniaan lainnya. Dengan tujuan di atas pendidikan dimaksudkan untuk menjadikan seorang insan yang shalih, manusia yang sempurna. Dengan demikian pendidikan akan mengarahkan peserta didik mendapatkan pendidikan baik secara intelektual dan juga agama. Peserta didik akan memperoleh kecerdasan intelektual dan juga alat pengontrol kegunaan kejerdasan itu, sehingga tidak menggunakannya hanya untuk mendapatkan keuntungan – keuntungan pribadi saja. Pendidikan Islam mempunyai corak yang spesifik, yaitu cap (stempel) agama dan etika yang kelihatan nyata pada saran-saran dan sarananya, dengan tidak mengabaikan masalah keduniawian. Oleh karena itu Al-Ghazali memberi ruang dalam sistem pendidikannya bagi perkembanmgan duniawi. Tetapi dalam pandangannya tentang mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia dunia hanya sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat perkebunan utnuk kehidupan di akhirat, sebagai alat yang menghantarkan seseorang menemui tuhannya. Selain bersifat agamis yang menjadi ciri spesifik pendidikan islam, pemikirannya juga bercorak Tasawuf. Sehingga, sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu yang membuat dia bahagia di dunia dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sehingga, disumpulkan bahwa modal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu, sehingga ilmu merupakan amal utama. Karena Al-Ghazali menganggap bahwa dunia bukanlah hal yang pokok, tidak abadi dan akan rusa, sedangkan maut yang dapat memutuskan kenikmatan setiap saat. Dunia hanyalah sementara, tidak kekal sedangkan akhirat adalah kehidupan yang kekal dan maut senantiasa mengintai setiap saat. Ia mengganggap bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang tersebut derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas kebahagiaanya di akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali bukanlah menistakan dunia tetapi dunia hanya sebagai alat . Kurikulum Menurut Al-Ghazali kurikulum ini adalah hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan, yang dibagi atas 3 bagian, yaitu:  Ilmu yang terkutuk yang tidak bermanfaat di dunia maupun di akhirat seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan, yang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan) baik yang memilikinya maupun orang lain. Oleh karena itu ia beranggapan bahwa mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib karena menurut tabi’atnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmunya dengan baik.  Ilmu yang terpuji adalah ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya, karena ilmu yang seperti ini mnegajarkan manusia tentang cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dan melakukan sesuatu yang diridhai-NYA serta dapat membekali hidupnya di akhirat. Sehingga ia mengatakan bahwa ilmu yang wajib untuk dipejari adalah mengenai zat dan sifatnya serta ilmu fiqh karena dengan ilmu ini seseorang akan mengetahui masalah ibadah, halal dan haram, tingkah laku secara umum dan Mu’amalah. Ia juga beranggapan bahwa ilmu yang harus di kuasai oleh seseorang atau setiaap muslim adalah ilmu agama mulai dari kitab Allah, ibadah yang wajib seperti shalat, puasa, zakal dan lain-lain. Ilmu yang termasuk fardhu ‘aini adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib. Sedangkan yang fardhu kifayah badalah semua ilmu yang mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran yang menyangkut keselamatan tubuh atau ilmu hitung yang diperlukan dalam hubungan mu’amalah, pembagian wasiat dan warisan dan lain sebagainya. Pekerjaan yang termasuk dalam fardhu kifayah seperti ilmu pertanian, menenun, administrasi dan jahit-menjahit.  Ilmu yang terpuji dalam keadaan tertentu, jika dipelajari secara mendalam dapat menyebabkan terjadinya kekacauan antara keyakinan dan keraguan dan dapat pula membawakan kepada kekafiran seperti ilmu filsafat. Dengan segala ilmu tersebut baik ilmu aqliyah maupun ilmu amaliyah tidak sama nilainya karen akeutamaannya juga berbeda. Perbedaan itu disebabkan karena gaya yang dibunakan untuk menguasainya; melihat dari besar atau kecilnya manfaat yang didapatkan manusia; serta tempat mempelajarinya. Sehingga ia beranggapak bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya karena hanya dapat dikuasai melalui akal yang sempurna dan pikiran yang jernih. Dalam menyusun kurikulum pelajaran, ia memberi perhatian kepada ilmu agama dan etika karena sangat menentukan bagi kehidupan manusia. Karena ia menekankan sisi faktual dalam kehidupan yaitu sisi yang tidah selalu ada, selain itu ia juga menekankan kepada sisi budaya. Sehingga adanya kecendrungan:  Kecendrungan agama dan tasawuf, yang menempatkan ilmu agama di atas segalanya dan menandangnya sebagai alat untuk mensucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.  Kecendrungan pragmatis, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah dan disertai dengan kesungguhan dan niat yang tulus ikhlas. Materi Pendidikan Materi pendidikan menurut Al-Ghazali dijelaskan dalam kitab Ayyuha al-Walad, yaitu: 1. Ilmu Ilmu adalah pengetahuan yang membuat seseorang faham akan makna ketaatan dan ibadah. Karena hal itu dalam melaksanakan perintah dan larangan-Nya harus mengikuti syari’ah. Semua yang dikatakan, diperbuat dan ditinggalkan harus berlandaskan syari’ah. Baginya, perkataan dan perbuatan harus konsisten dan tidak bertentangan dengan syari’ah, sebab ilmu dan amal tanpa landasan syari’ah adalah sesat. Sehingga, Al-Ghazali menganjurkan untuk ber-Mujahadah , mengalahkan syahwat dan menindukkan hawa nafsu dengan pedang riyadhah , bukan dengan ucapan-ucapan kosong yang tidak bermanfaat. Karena lidah yang bebas seenaknya berkata-kata dan hati yang tertutup dan dipenuhi dengan kelalaian dan syahwat adalah pertanda kesengsaraan, sehingga apabila seseorang tidak dapat menundukkan nafsunya maka hatinya tidak pernah hidup dengan cahaya Allah. 2. Tasawuf Tasawuf memiliki dua karakteristik yaitu istiqamah dan sakinah (tenang) terhadap makhluknya, sehingga barang siapa yang dapat beristiqamah, berakhlak mulia dan bergaul dengan santun, maka ia adalah seorang sufi. Jadi dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah jalan yang paling benar dalam mencapai kebahagiaan yang hakiki. Jalan yang ditempuh oleh para Sufi tersebut adalah pengalaman. 3. Ubdiyah dan tawakhal, Ikhlas dan Riya’ Ubidiyah ada tiga bagian, yaitu menjaga perintah syari’ah, rela dengan qadla dan qadar; ridha dengan pembagian Allah, dan meninggalkan ridha diri dalam rangka mencari ridla Allah. Tawaqal adalah upaya untuk meneguhkan keyakinan kepada Allah yang berhubungan dengan apa yang dijanjikan-Nya. Ikhlas adalah menjadikan semua amal mu untuk Allah SWT, tidak merasa gembira dengan pujian manusia dan tidak perduli dengan celaan mereka. Riya’ timbul karena pengagungan kepada manusia, untuk menghilangkannya dengan mnyadari bahwa semua manusia tunduk kepada kekuasaan Allah, atau menganggap mereka sebagai benda yang mati yang tidak mampu memberikan kemudahan ataupun kesulitan. 4. Delapan nasehat Al-Ghazali • Melarang agar tidak berdebat, karena memuat berbagai bencana, dosanya lebih besar dari manfaatnya. • Berkaitan dengan perbuatan yang harus ditinggalkan, dia melarang memberikan nasehat peringatan kepada masyarakat kecuali apabila orang yang memberikan nasehat telah mengamalkannya. • Berkaitan dengan perbuiatan yang harus ditinggalkan, yaitu tidak bergaul dengan pejabat pemerintah dan jangan bertemu dengan mereka, jika seseorang bertemu dengan mereka maka jangan memujinya. • Tidak menerima pemberian atau hadiah dari pejabat negara, karena dapat merusak agama dan dapat membuat orang berkepentingan dan berpihak kepada mereka, melindungi kelompok mereka, dan setuju dengan kezaliman mereka. • Menjadikan hubungan seseorang hamba dengan Allah sedemikian rupa, sehingga timbul rasa senang, lapang dada dan tidak pemarah. • Apapun yang diperbuatkan oleh seseorang untuk masyarakat, maka jadikanlah sebagaimana yang ia sukai untuk dirinya sendiri. • Apabila seseorang membaca atau mempelajari ilmu hendaknya ilmu itu dapat memperbaiki hatinya dan mensucikan jiwanya. • Tidak menyimpan kebutuhan hidupnya melebihi satu tahun sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw . Metode pengajaran Al-Ghazali mencontohkan metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Kecendrungan pendidikan secara umum yaitu prinsip yang berkaitan dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Ia mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu murid dan guru. Ia menganggap bahwa yang mulia di dunia ini adalah manusia, tetapi bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya . Metode lainnya adalah metode cerita atau kisah, yang dilatarbelakangi oleh kewajiban seseorang yang harus mengamalkan ilmunya . Kriteria guru yang baik Guru dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang cerdas dan sempurna akalnya dan baik akhlaknya serta kuat fisiknya. Sehingga, ia akan memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam dan dengan akhlaknya yang baik dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksakan tugasnya dengan mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak-anak didiknya. Selain itu, guru juga harus memiliki sikap:  Sikap rasa kasih sayang, yang dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.  Guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajar, karena itu merupakan kewajiban bagi setiap orang yang alim (berilmu).  Guru sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya,  Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan lain sebagainya.  Guru harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya.  Guru harus memiliki prinsip mengakui adanya potensi yang dimiliki murid secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya.  Seorang guru memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, memahami bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan tingkat perbedaan usianya.  Guru harus berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Sifat murid yang baik  Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dan sifat tercela lainnya.  Seorang murid harus menghindarkan diri dario persoalan duniawi, mengurangi keterkaitan dengan dunia, karena keterkaitan kepada dunia dan masalah-masalahnya.  Seorang murid hendaknya bersikap rendah hati dan tawadlu. Agar muridnya tidak merasa besar dari pada gurunya, dan merasa ilmunya lebih hebat dari pada gurunya,  Murid baru hendaknya jangan mempelajari ilmu yang berlawanan atau pendapat yang saling berlainan atau bertentangan. Karena murid yang bersangkutan belum memahami berbagai pendapat yang berbeda itu.  Seorang murid seharusnya mendahulukan mempelajari yang wajib.  Seorang murid hendaknya mempelajari lmu secara bertahap.  Seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya.  Seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya. Pola Pendidikan a. Pandangan bernada religius yang aktif. Pandangan inilah yang membuat dia meletakkan ilmu-ilmu agama di atas segala-galanya dan memandangnya sebagai alat pencuci jiwa dari daki-daki duniawian. Tentang pembersihan daki ini dengan jalan pendidikan yang serasi ( harmoni ) yang baik. b. Pandangan realitis yang memperhatikan aspek kemanfaatan. Meskipun dia seorang Sufi, namun berkali-kali terungkap bahwa ia menilai ilmu sekaitan dengan manfaatnya bagi manusia, baik didunia maupun di akhirat. Selain itu, Al-Ghazali membagi ilmu atas tiga kelompok disiplin yang asasi : a. Ilmu-ilmu yang tercela, baik sedikit maupun banyak b. Ilmu-ilmu yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, lebih banyak lebih terpuji c. Ilmu-ilmu yang dalam ukuran tertentu adalah terpuji, tetapi untuk memperdalamnya adalah tercela. Adapun kelompok ilmu yang bermanfaat untuk dikaji sekedarnya adalah ilmu-ilmu yang terlalu didalami dapat mengacaukan jalan fikiran atau menimbulkan keraguan bahkan mengundang kekufuran. Menurut Al-Ghazali, tercelanya sebahagiaan ilmu itu disebabkan oleh : a. Kadang-kadang kelompok ilmu menimbulkan madarat baik bagi pemiliknya sendiri maupu bagi orang lain. Contoh : ilmu sihir dan Azimat untuk menghilangkan bahaya, sering disalah gunakan oleh manusia untuk menanamkan kedengkian antara mereka. b. Ilmu dapat menimbulkan madarat bagi pemiliknya saja. Contoh : Ilmu rujum, Al-Ghazali membagi dua bagian, yaitu pertama, astronomi atau ilmu falak yang menurut Al-Ghazali tidak tercela, kedua Astrologi ilmu pembuka tabir dengan melihat rasi bintang. Menurut Al-Ghazali tercela karena manusia ragu terhadap kekuasaan Allah, sehingga menjadi kafir. c. Ilmu yang diperdalam tidak mendatangkan faidah apa-apa. ilmu ini disebut semacam ilmu tercela karena jika ilmu ini terus-menerus di kaji, ia dapat menimbulkan sejenis kekufuran kepada Allah SWT. Evaluasi Menurut Al-Ghazali evaluasi adalah kehidupan, maka orang yang menghadapi evaluasi dalam pendidikan betul-betul muncul dari kehidupan tersebut. Kehidupan sehari tidak pernah menghafal formula tetapi dituntut untuk menyelesaikan masalah yang dihadapai apakah manusia tersebut mampu atau tidak untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya . Tahapan Pendidikan Tingkat perkembangan manusia menurut Al-Ghazali dimulai dari masa ketika masih dalam kandungan sampai pada masa aqil atau masa ketika anak berakal sempurna. Perkembangan ini sebagai landasan perkembangan anak pada masa yang akan datang. Tahapan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: a. Fase Janin Awal mula pendidikan anak tidak terlepas dari tujuan pernikahan yaitu melaksanakan sunnah Rasul, yaitu lahirnya keturunan yang dapat meluruskan risalah. Ajaran Islam menyebutkan bahwa pada masa kehamilan merupakan masa yang menentukan bagi kehidupan anak dalam kandungan yang digambarkan sebagai situasi yang akan dialami anak dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, pada masa kehamilan orang tua dianjurkan untuk menjaga diri dan sifat dan sikap negatif serta memperbanyak kegiatan positif. Pada masa ini diterapkan dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak amal soleh, amal kemanusiaan, dan melindungi diri serta memohon kepada-Nya. b. Fase Thifl Keluarga merupakan tempat pertumbuhann pertumbuhan pertama dimana anak mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dalam tahun-tahun pertama pendidikan bagi anak. Sehingga keluarga adalah lembaga pertama yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan masyarakat karena keluarga batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk mencetak dan mempersiapkan personilnya. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan fisik dan mental anak akan dimulai. Hal ini dianggap Al-Ghazali bahwa penanaman agama dalam jiwa anak hanya dimulai dengan cara menirukan atau mengikuti saja. Al-Ghazali mengatur cara menanamkan akidah secara berangsur-angsur dari membaca, menghafal, mempercayai dan membenarkan sehingga akan tertanam kuat dalam jiwanya setelah ia dewasa. Pendidikan anak pada masa ini bersifat informal, karena disinilah menjadi wadah untuk menanamkan dasar-dasar pendidikan akhlak. Peran orang tua disini memberikan contoh yang ideal dalam pandangan anak, karena segala sesuatunya akan ditiru oleh anak nantinya. Hendaknya para orang tua dan semua pendidik mengetahui dan menyadari bahwa pendidikan dengan pembiasaan dan keteladanan merupakan tiang penyangga dalam upaya meluruskan penyimpangan moral dan perilaku anak. c. Fase Tamyiz Pada masa ini ditandai dengan kematangan dalam aspek psikologis untuk berproses dalam pendidikan formal agar intelektualnya berkembang seperti perkembangan kemampuan berpikir logis rasionalis secara sederhana. Pada periode ini kepekaan anak terhadap lingkungan sekitar sudah mulai tumbuh. Sehingga diharapkan kepada orang tua untuk memberikan pembiasaan kepada anak untuk berakhlak mulia serta latihan beribadah seperti berpuasa, shalat, berdoa, dan lain sebagainya. Sehingga anak melaksanakan amalan ang baik secara tidak terpaksa karena mereka sudah mengetahui manfaatnya untuk diri mereka sendiri. d. Fase Aqil Pada fase ini merupakan masa evaluasi terhadap pendidikan yang telah berjalan sejak masa formal dan pendidikan kesusilaan. Pada masa ini kemampuan anak sudah memahami hal yang bersifat abstrak dari kenyataan yang dilihat dan didengarnya. Perkembangan anak oada masa ini memasuki masa guncang karena perubahan pertumbuhan yang cepat disegala bidang terjadi. Dimana adanya perubahan ini menyebebkan terjadinya goncangan, emosi, kecemasan dan kekhawatiran. Maka pada tahap ini orang tua atau pendidik agar mendidik anaknya membentuk pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Pada tahap ini merupakan batas minimal bagi orang tua untuk mendidik, membina dan membimbing anaknya agar dapat mandiri. Karena pada usia ini merupakan tanggung jawab anak. b) Bidang pembelajaran Pembelajaran adalah interaksi yang dibangun antara pendidik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. • Pembelajaran menciptakan rasa aman, kasih sayang, dan lingkungan yang kondusif sehingga memungkinkan siswa belajar dengan nyaman. • Pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi dan tingkat pemahaman siswa. Seorang guru harus mengajar siswanya sesuai dengan kondisi fisik dan tingkat intelektualnya. • Mengajar dengan contoh (keteladanan). • Mengajar dengan metode praktek (demostrasi), guru hendaknya membiasakan adanya praktek dari pelajaran yang telah dipelajari. • Membimbing, menasehati murid, dan melarang mereka dari akhlak tercela. Hal ini hanya dilakukan dengan cara halus, baik melalui sindirian atau kiasan, karena jika dilakukan dengan terang-terangan maka akan merendahkan harga diri siswa. • Mengajarkan suatu ilmu secara mendalam. c) Bidang Intelegensi Al-Ghazali mengungkapkan bahwa akal adalah sumber ilmu. Intelegensi adalah tentang jiwa manusia yang terdiri dari dua materi yang berbeda yaitu jasmani yang bersifat gelap dan jiwa yang bersifat cahaya. Al-Ghazali membagi jiwa manusia menjadi tiga bentuk: pertama, Jiwa Natural, yaitu kekuatan yang menuntut makanan, dan perkembangan jasad, yang bertugas untuk memikirkan hal-hal yang bersifat mendesak, menghindari bahaya dan kebutuhan primer seperti makan, tempat tinggal dan sebagainya. Kedua, Jiwa Hewani, yaitu berfokus pada pemuasan nafsu syahwat, amarah, dann syahwat makanan. Ketiga, Jiwa Wicara, adalah jiwa yang berfungsi untuk mengingat, menghafal, berfikir untuk menerima pengetahuan baru. Jadi intelegnsi menurut Al-Ghazali bukanlah terpusat pada otak, tetapi lebih dominan pada aspek qalb, ruh atau jiwa wicara. Sehingga seorang pelajar yang ingin berhasil dalam belajar harus membersihkan jiwanya dari nafsu dan syahwat dunia . d) Bidang Logika Ia mengatakan bahwa mengenai ilmu Al Manthiq (logika) tidak ada kaitannya dengan agama. Imu membahas tentang cara pembuktian dan alas pikiran dan penyusunan pikiran. Ilmu tersebut membahas tentang seluk-beluk pengertian dan cara pembentukannya melalui batasan, membahas tentang ragam pernyataan dan kepastiannya melalui ragam pembuktian. Ia mengingatkan agar tidak mudah percaya atau terperdaya sekalipun dengan filsafat. e) Bidang matematika dan fisika Al-Ghazali didalam Maqashid al-Falasafi menguraikan matematika (arith matika dan geomerti) tidak ada hubungannya dengan urusan-urusan agama. Permasalahan matematika bersifat pembuktian-pembuktian yang tidak dapat di bantah lagi. Dan mengenai permasalahan fisika membahas tentang ragam tubuh serta susunannya seumpama permasalahan mineral, permasalahan pertumbuhan dan permasalahan hewan beserta bidang-bidangnya, termasuk permasalahan ketatiban. Karena kedua hal tersebut terjadi berdasarkan hukum alam belaka tanpa iradat dan qodrat ilahi. Al-Ghazali memberi perhatian atas masalah Teologika karena sangat menentukan “iman” dan “kufur” di dunia, kebahagiaan dan kecelakaan pada hari esok/kemudian. f) Bidang Metafisika Didalam pemikiran filsafat Al-Ghazali ada terdapat empat unsur yang mempengaruhinya, yaitu: • Unsur pemikiran kaumk Mutakallimin; • Unsur pemikiran kaum filsafat; • Unsur kepercayaan kaum batiniah; • Unsur kepercayaan kaum sufi. Didalam bukunya yang berjudul “Tahafut al-Falasifah”, dia menyerang pendapat Ibnu Sina dan Filsafat Yunani. Ada beberapa hal yang ia permasalahkan, antara lain: • Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat Aristoteles tentang azalinya alam dan dunia. Ia berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh tuhan. • Al-Ghazali menyerang pendapat para kaum filsafat Aristototeles tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa keabadian alam terserah kepda tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus-menerus tanpa akhir, tetapi suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar iradat Tuhan. • Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa tuhan hanya mengetahuai soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil (juz iyat). • Al-Ghazali menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum tersebut. Segala sesuatu peristiwa yang serupa dengan hukum sebab akibat hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian . g) Bidang Etika Pemikiran Al-Ghazali tentang etika dapat dilihat dari ajaran Tasawufnya. Ia beranggapan bahwa orang sufi berada di atas jalan yang benar, berakhlak yang baik dan berpengetahuan yang benar. Penggambaran tentang etika oleh Al-Ghazali terdapat dalam semboyan tasawuf yang berati bahwa agar manusia sejauh kesanggupan meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti penhgasih, penyayang, pengampun (pemaaf), sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama dan sebagainya. Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya terhadap tuhan. Ia menganggap bahwa Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Selain itu, kebaikan juga tersebar dalam materi. Pada tahap akhirnya, kebahagiaan tertinggi ialah bila mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan tersebut . h) Bidang sebab akibat (Kausalitas) Di dalam buku Tahafut al-Falasifah ia membahas tentang menyalahi kebiasaan yang erat kaitannya dengan masalah hukum kausalitas yang dapat menyebabkan seseorang mempercayai atau tidak mempercayai adanya mukjizat para nabi yang mukjizatnya diartikan sebagai hal yang menyimpang dari kebiasaan alam. Hubungan atara sebab dan akibat tidak bersifat pasti, tetapi kedua hal ini mempunyai individualitasnya sendiri. Segala sesuatu yang terjadi hanyalah kehendak Allah SWT, baik secara langsung maupun melalui perentaraan malaikat untuk menguatkan bukti kenabian mereka . C. Penutup 1. Kesimpulan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi atau yang lebih dikenal dengan al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang lahir dikota Thus, Khurasan pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya adalah seorang sufi yang bekerja sebagai pemintal wool, ia meninggal sewaktu al-Ghazali masih kecil. Al-Ghazali mulai belajar di kota kelahirannya Thus, lalu kemudian melanjutkannya di Naysabur pada ulama terkenal, Al-Juwaini Imam Al-Haramain. Kehidupannya kemudian banyak diisi dengan kegiatan mengajar diberbagai kota mulai dari Baghdad, Damaskus, Syam hingga kembali kekampung halamannya di Thus, tempat dimana ia wafat pada tahun 505 H/1111 M. Imam al-Ghazali adalah seorang pemikir besar yang sangat produktif dalam menulis. Jumlah kitab dan risalah-risalah yang ditulisnya sampai kini belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. banyak kitabnya yang dibaca dan dijadikan rujukan, bahkan diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa asing, seperti Ihya’ ‘Ulumuddin, Tahafut al-Falasifah, Ayyuha al-Walad dan lain sebagainya. Al-Ghazali adalah seorang intelektual agung yang bersifat generis dengan keahlian yang multi dimensional, baik di bidang keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Generalisasi keahliannya itu menunjukkan keluwesannya dan mengungkap permasalahan dan ternyata dia mampu menyelesaikan pertentangan-pertentangan intelektual pada masanya dan melahirkan pemikiran baru dalam filsafat. Ilmunya yang telah terbukti kebenarannya di masa sekarang. Al-ghazali merupakan seorang filosof islam yang banyak mengeluarkan pemikirannya pada seluruh aspek kehidupan manusia, khusunya dalam bidang pendidikan. Ia mengungkapkan tentang Pendidikan yang dikaji dari kaca mata Islam. Menurut al-Ghazali, pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, begitupun pemanfaatannya mestilah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah SWT. Beliau membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori, yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji dan ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam. Lebih lanjut, al-Ghazali memakai pendekatan behavioristik dalam metode pendidikannya dan mengelaborasinya dengan pendekatan humanistik. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas seorang pendidik dan murid. Menurutnya, pendidik dan murid haruslah menjaga etika dan tugas-tugas mulianya agar dapat mengantarkannya pada kedekatakan Allah SWT sesuai dengan tujuan penciptaannya dimuka bumi ini. Tetapi, selain pemikiran tentang Pendidikan Islam, Al-Ghazali juga mengeluarkan pemikirannya tentang logika, metafisika, matematika, etika, hubungan antara sebab dan akibat atau hukum kausalitas, serta fisika. 2. Saran Pada penulisan makalah atau tulisan ini mungkin ada kesalahan, penulis minta maaf karena yang namanya manusia tidak terlepas dari yang namanya kekhilafan. Selain itu, pada tulisan ini penulis terfokus pada bidang Pendidikan Islam, untuk itu diharapkan kepada pembaca untuk menulis tentang pemikiran Al-Ghazali dalam berbagai bidang seperti logika, etika dan lain sebagainya. Daftar Bacaan Abidin Ibnu Rusn. 2009. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan. Jakarta: Pustaka Pelajar. Abu Muhammad Iqbal. 2013. Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Jawa Timur: Jaya Star Nine. Abuddin Nata. 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers. C.A. Qadir. 1991. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fatthiyyah Hasan Sulaiman. 1964. Alam Pikiran Al-ghazali mengenai pendidikan dan ilmu. Bandung : Cv. Diponegoro Fuad Mahbub Siraj. 2012. Al-Ghazali: Pembela Islam Sepanjang Masa. Jakarta: Dian Rakyat. Himajaya. 2004. Mengenal Al-Ghazali: Keraguan adalah Awal Keyakinan. Bandung: DAR! Mizan. Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta. Sirajuddin. 2012. Filsafat Islam: Filosof & Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers. Yoesoef Souyb. 1984. Pemikiran Islam: Merubah Dunia. Medan: Gama Cipta Jak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar