Selasa, 01 September 2015

Minangkabau masa Pendudukan Jepang

PENDAHULUAN Sumatera Barat, khusunya Minangkabau merupakan daerah yang strategis dari segi geografis dan politik hal ini terlihat bahwa pada masa pemerintahan Belanda, yang mendirikan Dewan Minangkabau (Minangkabau Raad) di Sumatera Barat yang di ketuai langsung oleh Residen Belanda dan Roesad Dt. Perpatih Baringek sebagai sekretaris. Seluruh anggotanya berjumlah 45 orang, 38 diantaranya orang Indonesia yang dipilih di bawah kontrol ketat pemerintah. Setelah terbentuk, anggota-anggota Dewan Minangkabau mengusulkan Muhammad Yamin menjadi wakil Sumatera Barat di Volksraad Batavia. Sedangkan pada masa awal pendudukan Jepang, Sumatera langsung ditempatkan dibawah pengendalian Departemen Pemerintahan Militer (Gunseibu) tentara ke-25 di Singapura. Pada tanggal 1 Mei 1943, Markas besar Komando ke-25 di pindahkan ke Sumatera yaitu di Bukittinggi, dan Sumatera menjadi daerah kekuasaan Jepang. Selain itu, pada masa pendudukan Jepang juga mendirikan organisasi Kerukunan Minangkabau dengan tujuan sebagai jembatan hubungan personal antara Jepang dengan Sumatera Barat. Pada tanggal 29 Juni 1943, Pemerintah Jepang mengeluarkan kebijaka untuk membentuk tentara sukarela di Jawa, Sumatera, Kalimantan Utara dan Malaya dengan tujuan agar dapat membantu tentara Jepang dalam melawan tentara Sekutu. Sehingga Jepang memerintah untuk mendirikan Tentara Rakyat (Giyu gun atau Lasykar Rakyat) pada Oktober 1943. Dan inilah yang menjadi dasar kekuatan devisi benteng yang memimpin perjuangan militer di Sumatera Barat dalam melawan Agresi Belanda. Dengan itulah penulis mengambil tema ini, karena penulis menganggap bahwa pembahasan ini sangat penting untuk di pelajari jika belajar Sejarah Minangkabau. Penulisan artikel ini yang bertujuan untuk melihat bagaimana kondisi ekonomi, sosial dan budaya masayarakat minangkabau pada masa pendudukan Jepang, dan bagaimana bentuk perlawanan masyarakat Minangkabau pada masa pendudukan Jepang, serta untuk melihat berbagai organisasi yang didirikan pada masa pendudukan Jepang. ISI KONDISI EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT MINANGKABAU ERA PENDUDUKAN JEPANG Awal kedatatangan Jepang ke Sumatera Barat Ketika Belanda mengalami keruntuhan pada awal tahun 1942, ia meminta kesediaan rakyat Sumatera barat untuk bekerja sama menghadapi kedatangan Jepang dan ajakan tersebut di tolak oleh takyat. Di padang Panjang dibawah pimpinan Khatib Sulaiman dan Leon Salim membentuk suatu badan yang bertujuan untuk mengibarkan bendera merah putih sebagai pernyataan bahwa Indonesia masih ada. Namun, hal tersebut tidak berhasil karena ada beberapa anggota yang berkhianat dan beberapa orang pemimpin ditangkap oleh Belanda dan untuk di adili di Kotaoane. Pada bulan Februari 1942, Jepang mulai menginvasi ke Sumatera dengan menerjunkan pasukan payung di Palembang untuk mendahului rencana Belanda yang akan merusak instalasi minyak didekat kota ini. Balatentara Jepang menyebar ke arah selatan dan utara pulau Sumatera. Pada pertengahan bulan Maret, tepatnya tanggal 17 Maret 1942 tentara pertama Jepang mendarat di Sumatera Barat dan seluruh kota-kota penting didduduki oleh Jepang yang menyebabkan sepuluh hari setelah kedatangan tentara tersebut membuat komandan militer Belanda menyerah tanpa syarat. Hal ini berarti penguasa di Sumatera Barat berpindah dari orang yang terkenal rapi, teliti dalam masalah pemerintahan yang kejam dan buas di medan perang. Melalui mata-mata, Jepang meluaskan berita tentang kedatangan mereka untuk kebebasan daerah Asia dari kekuasaan imperealisme barat yang lama membelenggu bangsa di Asia . Sehingga, kedatangan mereka di Sumatera Barat mendapat sambutan yang meriah. Secara keseluruhan daerah Sumatera Barat berada di bawah komando kesatuan Tomi , kesatuan ini berpusat di Shonanto (Singapura). Dengan demikian, membuat Sumatera langsung ditempatkan di bawah pengendalian Departemen Pemerintahan Militer (Genseibu) Tentara ke-25 di Singapura. Tahun pertama pendudukan Jepang, fokus utamanya adalah untuk memfungsikan aparatur pemerintah di Sumatera, sehingga mereka dapat memanfaatkan sumber daya vital di pulau ini . Hal itu membuat tentara Jepang menghidupkan kembali sistem pemerintahan peninggalan Belanda dan mengangkat kembali sebagian besar mantan pejabat Indonesia yang pernah duduk di Pemerintahan Kolonial Belanda. Komando tentara ke-25 menganggap bahwa mereka tidak mungkin memerintah Sumatera dengan markas besarnya di Singapura, terutama dalam melindungi daerah di sekitar instalasi vital. Maka pada tanggal 1 Mei 1943 markas besar komando tersebut di pindahkan ke Bukit Tinggi, sehingga Sumatera menjadi satu-satunya daerah yang dikuasainya. Awal pendudukan Jepang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, A. W. L. Tjarda Van Starkenborg Stachouwer, dan Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda, Letnan Jenderal Hein Ter Poorten, menyerah tanpa syarat kepada jepang pada 9 Maret 1942 di lapangan terbang Kali Jati, Jawa Barat. Tetapi, Gubernur Belanda wilayah Sumatera, A. I. Spits, mendeklarasikan tentara Belanda di Sumatera akan terus berjuang hingga tetes darah terakhir. Ia menerapkan sisitem bumi hangus di Sumatera untuk menghambat laju pasukan Jepang, sehingga mengakibatkan negeri mereka hancur dan rakyat menjadi sengsara . Demonstrasi di pusatkan di Padang Panjang pada tanggal 12 Maret 1942, mereka meminta Belanda menyerahkan kekuasaan kepada pihak Indonesia sebelum tentara jepang memasuki Sumatera Barat sehingga merekalah yang akan berunding dengan tentara pendudukan Jepang . Sebelum belanda menjatuhkan vonis hukuman, bom Jepang mulai menghantam Kota Cane, sehingga pasukan Belanda terpaksa lari ke Gunung Setan. Dengan demikian, Jepang memasuki dan menduduki kota Cane serta melepaskan semua tahanan dari penjara. Dan chatib Sulaeman dan kawan-kawan di perbolehkan kembali ke Sumatera Barat. Ketika sampai di kaban Jahe mereka bertemu dengan utusan dari Padang yang dikirim untuk mencari tahu yang telah menimpa mereka. Akhirnya mereka sampai di Padang Panjang pada tanggal 2 April 1942. Namun, pada masa awal pendudukan Jepang, peristiwa yang terjadi di Padang banyak dipengaruhi oleh Soekarno yang dibawa oleh Belanda di Bengkulu tempat pengasingan sejak tahun 1938. Ketika pasukan Jepang mendarat di Palembang, Belanda mengatur pemindahan Soekarno ke Padang untuk menerbangkannya ke Australia. Tetapi, Soekarno masih berada di Padang ketika para tentara masuk pada tanggal 17 Maret. Soekarno telah memutuskan bahwa bangsa Indonesia harus memanfaatkan Jepang untuk mencapai cita-cita mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Sikapnya yang Kooperatif terhadap jepang, Soekarno berhasil mencegah tindakan kasr tentara jepang terhadap rakyat Sumatera Barat. Kolonel Fijiyama memimpin balatentara Jepang memasuki kota Padang setelah Belanda menyerah tanpa syarat. Sejak 17 Maret 1942, pasukan Jepang yang bersenjata lengkap terlihat di jalan-jalan kota Padang dan menguasai tempat-tempat strategis. Pada mulanya orang-orang tidak meras takut bahkan menyambut mereka dengan senyuman. Maka dalam tempo yang singkat, kota Padang di banjiri oleh orang-orang di sekitar Padang yang ingin melihat secara dekat tentara tersebut. Tetapi situasi berubah dan ketegangan meningkat karena tentara ini mulai menangkapi dan menyita setiap sepeda yang mereka temukan serta jam tangan. Sehingga masyarakat dengan cepat mulai menyembunyikan harta benda yang bisa memancing selera tentara jepang tersebut. Soekarno memuji Kolonial Fujiama, karena bertanggungjawab membentuk pemeritahan di kota Padang, dan Soekarno yang membujuk penguasa Jepang untuk mengirim beberap orang untuk mencari Chatib Suleiman dan kawan-kawan. Soekarno terpaksa ikut campur untuk Anwar St. Saidi yang ditangkap balatentara Jepang pada 3 April tiba di Padang Panjang. Orang-orang Indonesia di Bukit Tinggi telah mengibarkan Bendera Merah Putih berdampingan dengan bendera Jepang. Ketika disuruh oleh Jepang untuk menurukan Bendera Indonesia, Anwar memprotes dan dia dimasukkan kedalam penjara . Mendengar kabar ini, Soekarno melakukan pendekatan kepada penguasa Jepang untuk mengupayakan pembebasan Anwar dengan menceritakan kembali peristiwa yang sebenarnya sehingga Anwar dapat di bebaskan. Pada bulan Mei, Soekarno diizinkan kembali ke Jawa. Walaupun keberadaan Soekarno di Padang sampai bulan Mei 1942, tetapi ia berhasil membujuk sebagain besar tokoh Indonesia di Sumatera Barat untuk bekerjasama dengan Jepang. Tokoh-tokoh PNI Baru Sumatera Barat (partai Hatta dan Sjahrir) yang mengadakan rapat di kantor Bumiputera di Bukittinggi, perpecah dua ke dalam kelompok yang mendukung dan yang menolak untuk bekerjasama dengan Jepang. Sikap Jepang yang manis tidak bertahan lama, situasi di medan perang memperlihatkan gejala bahwa Jepang semakin terdesak oleh gabungan pasukan sekutu. Keperluan perang Jepang semakin meningkat sedangkan sumber penghasilan berkurang, sehingga rakyat di tempat yang dikuasai disuruh bekerja untuk kepentingan perang Jepang dan untuk membiayai Perang Asia Timur dengan apa yang mereka sediakan . Berbagai golongan masyarakat yang membenci tindakan Jepang, yaitu pertama, golongan politisi yang kontra, yaitu golongan yang awalnya tidak mau bekerja sama dengan Jepang karena tidak yakin bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Kedua, golongan politisi yang pro, yaitu golongan yang menganggap bahwa kedatangan Jepang dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk mencapai cita-cita mereka yang telah lama terpendam, yaitu untuk kemerdekaan. Ketiga, golongan masa bodoh, yaitu golongan yang hanya mencari keuntungan pribadi. Keempat, golongan pro Belanda, yaitu orang-orang bekas pegawai belanda yang masih menginginkan Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Hal itu mulai dikurangi oleh para pemimpin masyarakat Sumatera barat. Sejumlah kelompok bergabung untuk mendukung Jepang. Soekarno membantu membentuk Komite Rakyat agar terdapat ketengangan di kawasan ini tetap terjaga di saat pasukan Jepang mengkonsolodasikan kekuatan, dan Chatib Suleiman dan Leon Salim mempersatukan seluruh organisasi pemuda yang ada menjadi Pemuda Nippon Raya. Tetapi pihak Jepang curiga terhadap dukungan ini, dan setelah kepergian Soekarno mereka membubarkan komite ini dan membubarkan Pemuda Nippon Raya tersebut serta para pemimpin-pemimpin organisasi ini di tangkap pada tanggal 14 November 1942 dengan tuduhan berpura-pura bekerja sama dengan Jepang padahal menentang mereka. Namun seminggu kemudian mereka di bebaskan. Pada bulan Agustus 1942 datanglah Yano Kenzo untuk memangku jabatan Gubernur Sumatera Barat dan memperbesar kiprah pejuang nasionalis setempat. Yano adalah sosok independen yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan Komandan Tentara ke – 25 di Sumatera. Ia kagum dengan masyarakat Minangkabau, terutama terhadap tradisi matrilinealnya, sehingga ia senang di foto dengan mengenakan busana tradisional Minangkabau. Ia mendirikan organisasi untuk jembatan hubungan personal dengan orang-orang Sumatera Barat, dan mengadakan pertemuan secara teratur di kediaman Gubernur, dengan anggotanya Chatib Suleiman, tokoh pendidikan (Mohammad Sjafei, Dt Madjo Urang) dan tokoh ulama (Syekh Djamil Djambek), serta Kolonel Fujiyama dan asistennya Wakamatsu . Sebagai pemimpin di Sumatera Barat, Kenzo Kano sampai di Padang tanggal 9 Agustus 1942 bersama dengan 68 orang pegawai sipil lainnya. Sumatera Barat yang ber-nama Sumatera West Kust diganti dengan nama Sumatera Neishi Kaigun Shu. Afdeeling yang dikepalai oleh Asisten Residen diganti dengan nama Bun, yang dikepalai oleh Bun Shu Cho. Onder Afdeeling yang dikepalai oleh kontroler dirubah menjadi Baku Bun Cho. Distrik yang dikepalai oleh demang dirubah menjadi Gun dan dikepalai oleh Gun Cho. Onder District yang dikepalai oleh Asisten Demang diganti dengan nama Fuko Gun (Kecamatan) yang dikepalai oleh Fuko Gun Cho unit pemerintahan yang terkecil yaitu Negara tetap dikepalai oleh seorang kepala nagari. Disamping lembaga Admi-nistrasi pemerintahan terdapat lagi beberapa lembaga administrasi yang bergerak dibidang lainnya. Diantara koperasi bentuk baru Kumiai dan Rukun tetangga Tonariguni. Anggota-anggota dewan penasehat informal gubernur ini menjadi kelompok mayoritas di Majelis Perwakilan Provinsi, Shu Sangi Kai, dan di Hokokai (Perhimpunan Kebaktian) cabang Sumatera Barat yang terbentuk pada tahun 1944 untuk wilayah Sumatera . Perhimpunan ini memungkinkan Chatib Suleiman dan kawan-kawan menjadi penasehat tetap gubernur, dan pengaruh mereka mulai mewarnai kebijakam gubernur. Di Minangkabau, pemerintahan telah bekerjasama dengan golongan adat, ulama dan kaum terpelajar. Pada lembaga adat dicoba mendirikan suatu lembaga yang bernama ”Balai Penyelidikan Masyarakat Minang-kabau” pada tahun 1943 dengan anggota terdiri dari orang dengan penguasa-penguasa adat dari berbagai daerah agar dapat mempelajari seluk beluk adat bagi kepentingan pemerintahan administrasi Jepang. Di pihak lain, seperti halnya dalam kelompok adat, Jepang juga berusaha mengumpulkan para ulama, yang terlihat dengan diadakannya konferensi Islam I di Singapura pada tanggal 5 sampai 6 Maret 1943. Sumatera mengirim 44 orang wakil, sementara Malaya mengirim 47 orang wakil. Arahan dan konferensi tersebut adalah: 1) Menjelaskan gambaran tentang dunia Jepang; 2) Menjadikan orang Islam supaya memahami pentingnya bekerjasama dengan Jepang; 3) Meyakinkan bahwa perkumpulan tersebut semata-mata untuk kepentingan umat Islam. Pada masa pendudukan Jepang di Minangkabau, perdagangan setempat menjadi lebih giat, baik dalam volume maupun dalam intensitasnya, meskipun perdagangan jarak jauh berkurang . Industri kecil seperti tekstil, di galakkan supaya dapat mencukupi kebutuhan sendiri ketika barang-barang untuk kegunaan sehari-hari bertambah sukar untuk di impor. Mobilitas penduduk meningkat karena adanya program pengerahan tenaga manusia setempat, seperti penerimaan tenaga untuk Heiho (tenaga bantuan untuk kekuatan militer) dan Romusha (tenaga kerja paksa) . Pada tanggal 29 Juni 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang memerintahkan pembentukan tentara sukarela di Jawa, Sumatera, Kalimantan Utara, dan Malaya untuk membantu balatentara Jepang untuk mempertahankan kawasan ini dari serangan balasan tentara sekutu. Hal ini terlihat bahwa meningkatnya kekhawatiran Tokyo sejak setahun pendudukan Jepang, sekutu akan melancarkan ofensif besar-besaran yang di tunjukkan ke ladang-ladang minyak Sumatera atau ke sepanjang pantai antara Burma dan Siam. Pada awal Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan perintah khusus tentang pembentukan Tentara Rakyat (Giyu gun atau Lasykar Rakyat) . Sehingga dibentuklah Giyu gun di Sumatera Barat, dan Tentara rakyat sukarela ini yang menjadi inti kekuatan Devisi Benteng . Peranan Giyu gun memungkinkan tokoh-tokoh nasional setempat dapat memotong struktur administratif formal yang masih didominasi oleh pejabat-pejabat konservatif Indonesia didikan Belanda, dan menciptakan iklim yang ramah bagi terciptanya cita-cita kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda maupun Jepang. Giyu gun dan unnit-unit pendukungnya di Minangkabau memungkinkan terbentuknya jalinan relasi dan jalinan organisasi di daerah ini, yang mampu membangun solidaritas di kalangan rakyat Minangkabau apabila menghadapi ancaman dari luar. Ciri khas Giyu gun lokal dengan berbagai cara dibentuk oleh tokoh Sumatrea Barat Chatib Suleiman dan Gubernur Chokan Yano Kenzo. Dalam acara pertemuan Kerukunan Minangkabau pada akhir tahun 1942 Chatib Suleiman mengusulkan kepada Gubernur untuk membentuk Tentara rakyat sukarela di Sumatera Barat. Gubernur bersimpati dan melanjutkan usulan Chatib kepada Panglima Komando Tentara ke-25, Tabane di Bukittinggi. Setelah keberhasilan sekutu melancarkan serangkaian operasi militer yang memaksa Tokyo menyetujui pembentukan tentara lokal di beberapa kawasan Asia Tenggara. Rapat propoganda untuk pembentukan Giyu gun di Sumatera pada bulan Oktober 1943. Pada tanggal 14 Oktober 1943 Chatib Suleiman memelopori terbentuknya Kantor Pusat untuk pembentukan Giyu gun. Ia juga memimpin organisasi ini dan kawan-kawannya . Mereka memilih calon perwira dari orang yang sudah matang dan berpengalaman dalam pergerakan nasional sebelumnya tidak akan menjadikan mereka termakan oleh propoganda Jepang. Giyu gun Sumatera Barat berbeda menurut letak geografisnya. Tujuan Jepang membentuk tentara sukarela ini untuk membantu mempertahankan daerah ini dari invasi Sekutu melalui laut. Untuk itu Giyu gun mulanya dibentuk adalah di Padang dan di sepanjang kawasan pesisir. Resimen Ifanteri ke-37 Divisi ke-4 (Divisi Osaka) bermarkas di Padang dan ditugaskan untuk melatih unit-unit Giyu gun kawasan pesisir, pelatih terdiri atas perwira yang didatangkan dari Jepang yang kebanyakan bukan tentara profesional . Pada akhir tahun 1944, barulah Komando tentara ke-25 di Bukittinggi mengorganisir langsung unit Giyu gun dibawah komandonya didaerah daratan tinggi Sumatera Barat, dengan tujuan untuk memperkuat pertahanan komando tentara ke-25 karena beberapa kestuan tentaranya dikirim ke Burma untuk membantu menghalau serangan sekutu. Angkatan pertama perwira Giyu gun yang dilatih oleh Jepang mencakup empat orang pria yang menjadi tokoh utama pendiri tentara kemerdekaan daerah tahun 1945 . Sejak awal perekrutan, tokoh-tokoh Indonesia yang menjadi panitia penerimaan Giyu gun menekankan tentang karakter dan tujuan nasional dari laskar sukarela ini. Perhimpunan penghimpun Giyu gun bertindak sebagai penghubung antara tokoh-tokoh sipil dan militer dan mengumpulkan makanan serta pembekalan untuk laskar dari Nagari. Organisasi perempuan didirikan untuk mengumpulkan bahan makanan dan menyelenggarakannya berbagai bentuk dukungan sosial dan kesejahteraan bagi laskar indonesia, organisasi ini dinamakan Hahanokai . Ada beberapa perbedaan antara Giyu gun Sumatera Barat dan laskar sukarela yang dibentuk Jepang di Jawa (Peta) dan didaerah lain di Sumatera. Pertama, tidak kelihatan tokoh-tokoh nasionalis di daerah lain begitu berpengaruh dalam menentukan dan memilih perwira Giyu gun. Di Jawa perwira direkrut dari kalangan bangsawan setempat atau dari keluarga pejabat pemerintah; sedangkan di Sumatera Barat, tidak seorang pun perwira Giyu gun Sumatera Barat pernah mendapat pendidikan militer Belanda. Sementara di Jawa sebagian besar perwira seniornya termasuk para komandan militer Indonesia di masa depan . Serta perbedaan yang sangat penting adalah di Sumatera Barat Giyu gun adalah salah satunya kekuatan militer yang di bentuk Jepang, mereka tidak membentuk laskar islam terpisah seperti di Jawa dan tidak pula menciptakan unit-unit khusus yang berada di luar Laskar Rakyat seperti yang dibentuk di Sumatera Timur tahun 1945 yang digunakan sebagai pasukan pemukul dalam menghadapi pendaratan pasukan sekutu yang belum pasti dan ditakuti Jepang . Akhir Dampak kemunduran militer Jepang mulai terasa pada awal tahun 1944, karena tindakan penguasa militer Jepang yang meningkatkan suplai uang tanpa didukung dengan aset nyata yang menimbulkan inflasi yang parah. Sepanjang masa pendudukan Jepang terjadi ketegangan antara penguasa militer Jepang yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Gubernur Yano Kenzo di Padang . Kemunduran militer Jepang semakin parah pada tahun berikutnya, dan pemerintah militer Jepang menuntut lebih banyak dari rakyat Sumatera . Tetapi, pada akhir tahun 1944, situasi militer yang makin memburuk memaksa Jepang untuk mengambil langkah konkret dalam rangka menarik dukungan para politisi Indonesia. Lewat Deklarasi Koiso yang dikeluarkan pada tanggal 7 September 1944, Tokyo menjanjikan kemerdekaan negara Indonesia yang meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Tetapi, Komando Tentara ke-25 keberatan atas dimasukkannya Sumatera sebagai wilayah Indonesia yang dijanjikan itu, dan berusaha terus mempertahankannya sampai menjelang berakhirnya era pendudukan Jepang. Dalam rangka pemisahan Sumatera, penguasa militer di Bukittinggi mencoba mengambil langkah sementara dengan membentuk Chui Sangi In (Dewan Penasehat Pusat) seluruh Sumatera, yang melakukan sidang pertama pada bulan Mei 1945, yang di ketuai oleh Mohammad Sjafei dan Chatib Suleiman sebagai sekretaris, namun hal itu gagal. Sejak pendudukan Jepang, kontak-kontak antarprovinsi (Shu) di Sumatera sangat minim, karena pada tingkat inilah organisasi pribumi bisa berkembang. Dalam perkembangan sejarah Minangkabau, pola-pola kepemimpinan tradisional terlihat berjalan dengan harmonis sampai dengan masuknya pengaruh-pengaruh luar atau kekuatan-kekuatan asing. Namun setelah dominasi kekuatan asing, pola kepemimpinan masyarakat tradisional menjadi rusak. Pada minggu terakhir masa pendudukan Jepang, Komando Tentara ke-25 di Sumatera mulai bekerjasama dengan mitranya di Jawa (Komando Tentara ke-16) mengambil langkah kearah pemberian kemerdekaan bagi seluruh wilayah Indonesia. Komando Tentara ke-25 menunjukkan tiga wakil Sumatera untuk ikut dalam rapat. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di bentuk di Jakarta pada akhir Juli 1945. Tetapi, ketiga delegasi Sumatera tidak mempunyai basis nyata diluar provinsi asalnya, dan dua diantaranya bukan anggota Chuo Sangi In. Pada tanggal 9 Agustus, Marsekal Terauchi mengundang Soekarno dan Hatta untuk bertemu di kota Dalat, Vietnam . Dalam perjalanan kembali dari Vietnam, Soekarno dan Hatta singgah di Singapura, dan disini mereka ketemu dengan ketiga wakil Sumatera. Pada tanggal 14 Agustus, yakni tanggal menyerahnya Jepang kepada Sekutu, kelima tokoh ini dibawa ke Jakarta dengan pesawat militer Jepang. Tiga hari kemudian, pada tanggal 17 Agustus, ketiga delegasi Sumatera hadir dalam pembacaan kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno Hatta. PENUTUP Dengan mengisolasi daerah ini dari daerah lain di Sumatera, juga dari Jawa, Jepang secara tak langsung telah mendorong berkembangnya organisasi-organisai yang memiliki akar kekuatan lokal. Dengan tidak adanya kepemimpinan dan pemerintahan pribumi di seluruh kawasan Sumatera maka tanggung jawab untuk menggerakkan perjuangan kemerdekaan di Sumatera karena adanya organisasi-organisasi tingkat lokal. Keterasingan dari pusat ternyata tidak mengurangi ikatan psikologis dan kesetiaan orang Sumatera Barat kepada pemimpin nasional Indonesia di Jawa, yang khususnya tokoh-tokoh yang berasal dari Minangkabau. Jepang juga memberikan latihan dasar militer kepada sebagian besar pemuda Minangkabau, mereka juga memperoleh rasa percaya diri dan kebanggaan menjadi orang Asia. Hal itu terwujud dengan untuk pencapaian cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pada masa pemerintahan Jepang, pejuang-pejuang nasionalis baik sekuler maupun keagamaan diberi kesempatan untuk tampil sebagai tokoh politik. Pada masa kepemimpinan Gubernur Yano, pada tahun 1920-an pejuang nasionalis diberi kesempatan untuk menjadi tokoh masyarakat di Minangkabau. Disisi lain, dengan dipertahankannya aparatur pemerintah Belanda oleh Jepang maka pejabat-pejabat yang selama ini di curigai rakyat karena menjadi pejabat pemerintah kolonial Belanda dan agen Jepang. Hal ini lah yang menjadi sasaran penduduk yang menderita dan marah bertekad untuk membalas semua ketidak adilan yang mereka saksikan didalam masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Kahin, Audrey. 2008. Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kato, Tsuyoshi. 1973. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Balai Pustaka. Ricklefs, M. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi. Sejarah Daerah Sumatera Barat. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah 1976/1977.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar