Selasa, 01 September 2015

Gerakan perempuan

GERAKAN PEREMPUAN Sejarah pergerakan perempuan Indonesia merupakan suatu gerakan yang mempunyai proses panjang dan tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan terbentuk karena adanya peristiwa-peristiwa masa lalu dalam masyarakat seperti ada perasaan cemas dan keinginan individu yang menginginkan perubahan yang kemudian menyatakan dalam suatu tindakan bersama. Di Indonesia proses itu sudah terlihat sejak abad ke-19 dalam bentuk perlawanan. Perlawanan ini terjadi di berbagai wilayah yang dipimpin oleh para raja atau tokoh-tokoh adat, misalnya di Banten, Yogyakarta, Rembang, Maluku, Palembang, Aceh dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Gerakan yang terjadi merupakan suatu tindakan protes kepada keadaan, khususnya protes kepada semakin berkuasanya bangsa asing (Belanda), yang bermakna bahwa kebudayaan Barat semakin berkembang terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Perubahan yang terjadi adalah pergantian hirarki kekuasaan dan kepemimpinan yang dilakukan oleh penguasa asing dengan birokrasi secara Barat. Selain itu terjadi perubahan dalam bidang hukum dan ekonomi seperti dalam hak tanah, pemberian gaji buruh dan pembayaran sewa. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa asing yang tidak dapat diterima oleh rakyat, karena peraturan yang dibuat dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tradisional bahkan merupakan pelanggaran kepada keadilan, sehingga menimbulkan rasa cemas. Dan munculnya golongan elit baru yang memperoleh pendidikan dari pemerintahan Belanda. Timbulnya elit baru ini merupakan hasil perubahan yang terjadi dalam politik penjajahan Belanda yang dikenal sebagai Ethische Politik. Hal ini dilakukan karena Belanda telah memperoleh keuntungan yang melimpah-ruah dari sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang telah dilakukan sejak tahun 1830, sementara rakyat pribumi menderita kemiskinan. Dengan munculnya elit baru yang berpendidikan Barat, menyebabkan elit lama disisihkan oleh penjajah Belanda. Namun elit baru yang memperoleh pendidikan tidak langsung dapat meninggalkan unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan asli, khususnya mengenai sikap hidup dan kesusilaan yang mempunyai kepentingan utama dalam kebudayaan Indonesia. Unsur-unsur ini tetap dipelihara dan dipertahankan. Nilai-nilai kebudayaan yang masih dipertahankan dapat diketahui dari para pemimpin yang telah memperoleh pendidikan Barat. Selain itu kumpulan surat-surat Kartini memberi gambaran tentang cara menjunjung tinggi kebudayaan asli. Dalam surat-surat itu dapat dilihat apa yang dirasakan oleh Kartini sebagai hal yang seharusnya menjadi perhatian bahkan menjadi penyokong bagi meningkatkan derajat rakyat terutamanya kaum perempuan. Perumusan nilai-nilai utama Kartini ditulis oleh Sukanti Suryochondro dalam bukunya yang bertajuk Potret Perkembangan Perempuan di antaranya berisikan: • rasa perikemanusiaan yang nampak dalam perhatiannya dan kasih sayangnya terhadap orang banyak. Karena kasih sayang itu Kartini bersedia berkorban dan mengesampingkan kepentingannya sendiri. • keagamaan yang menghubungkan segala pengalamannya dengan perintah Tuhan, dan pandangan agama yang sempit ditentangnya • rasa keadilan yang menentang bermacam-macam kepincangan dalam masyarakat kolonial; begitu pula ditentangnya hambatan-hambatan yang ada bagi kaum perempuan dalam masyarakat tradisional seperti peraturan-peraturan dan adat istiadat mengenai perkawinan dan lapangan pekerjaan • cita-cita demokrasi yang menjauhkan diskriminasi yang ditimbulkan oleh feodalisme; sikap yang membanggakan keturunan ningrat dikecamnya Nasionalisme yang menentang perbuatan-perbuatan penjajah yang menyebabkan penderitaan orang banyak; di samping itu ada rasa cinta terhadap kebudayaan sendiri meskipun dihargainya pula hasil kebudayaan dan buah pemikiran bangsa-bangsa lain. Nilai-nilai yang ada dalam tulisan Kartini yang kemudiannya menjadi sebagai asas utama bagi pergerakan perempuan Indonesia bahkan bagi pergerakan nasional Indonesia secara menyeluruh. Nilai-nilai seperti perikemanusiaan, ketuhanan, keadilan, demokrasi dan nasionalisme kemudiannya dijadikan sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan Pancasila. Adanya tujuan baru yang ditandai dengan nilai-nilai pembaharuan yang menyebabkan kaum perempuan menginginkan perubahan-perubahan dalam tata kehidupan, karena banyak hal seharian tidak lagi sesuai dengan apa yang dirasa baik atau adil, maka timbullah gerakan untuk menghilangkan ketidakadilan yang dilakukan bersamaan dengan munculnya gerakan perempuan. Ketika masa prakemerdekaan, gerakan perempuan di Indonesia ditandai dengan munculnya beberapa tokoh perempuan yang rata-rata berasal dari kalangan atas, seperti: Kartini, Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien dan lain-lain. Mereka berjuang mereaksi kondisi perempuan di lingkungannya. Model gerakan Dewi Sartika dan Kartini lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya melek huruf dan mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil, karena baru sebatas itulah yang memungkinkan untuk dilakukan di masa itu. Sementara Cut Nya’ Dien yang hidup di lingkungan yang tidak sepatriarkhi Jawa, telah menunjukkan kesetaraan dalam perjuangan fisik tanpa batasan gender. Apapun, mereka adalah peletak dasar perjuangan perempuan kini. Gerakan perempuan di tanah air sudah dimulai sejak 1910. Saat itu telah ada organisasi perempuan yang merupakan bagian dari Budi Utomo. Tapi sebagai organisasi yang berdiri sendiri, organisasi perempuan di Indonesia pertama kali berdiri pada tahun 1912, yang diberi nama Putri Mahardika. Perkumpulan ini bertujuan untuk memajukan pengajaran terhadap anak-anak perempuan dengan memberikan penerangan dan bantuan dana, mempertinggi sikap yang merdeka dan tegak serta melenyapkan tindakan malu-malu yang melampaui batas. Perkumpulan Kautamaan Istri didirikan pada tahun 1913 di Tasikmalaya, lalu pada tahun 1916 di Sumedang, 1916 di Cianjur, 1917 di Ciamis dan tahun 1918 di Cicurug. Pengajar yang terkemuka dari perkumpulan Kautamaan Istri di tanah pasundan adalah Raden Dewi Sartika. Sekolah Kartini juga didiriakan di Jakarta pada tahun 1913, lalu berturut-turut di Madiun tahun 1917, di Indramayu, Surabaya, dan Rembang tahun 1918. Perkumpulan Kaum Ibu didirikan untuk memajukan kecakapan kaum wanita yang bersifat khusus seperti memasak, menjahit, merenda, memelihara anak-anak dan sebagainya. Di Yogyakarta pada tahun 1912 didirikan perkumpulan wanita yang bersifat agama Islam dengan nama Sopa Tresna yang kemudian pada tahun 1914 menjadi bagian wanita dari Muhamadiyah dengan nama Aisyah. Di Minangkabau berdiri perkumpulan Keutamaan Istri Minangkabau dan Kerajinan Amal Setia yang berusaha memajukan persekolahan bagi anak-anak perempuan. Masa itu pergerakan perempuan Indonesia segera berperanan penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan memperbaiki kedudukan perempuan Indonesia. Pada 22 Disember 1928 diadakan kongres perempuan Indonesia pertama di Yogyakarta. Kongres ini diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia. Pesertanya terdiri dari berbagai perhimpunan di antaranya perhimpunan pelajar, keagamaan, sosial, dan organisasi politik. Pada kongres tersebut di bentuklah gabungan badan-badan perhimpunan (federasi) diberi nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), merupakan gabungan dari tujuh organisasi perempuan yaitu Wanito Utomo (Perempuan Utama), Perempuan Taman Siswa, Putri Indonesia, Aisyiyah, Jong Islamieten Bond Bagian Perempuan, Perempuan Katolik dan Jong Jawa Bagian Perempuan. Pada awal penubuhannya PPPI pada 28 Oktober 1928 yang diketuai oleh R.AY.Sukanto dari organisasi Wanito Utomo, bertujuan mendirikan studifonds bagi membantu anak-anak perempuan yang tidak berkemampuan untuk bersekolah, dan memajukan pendidikan pramuka perempuan. Selain itu mencegah perkawinan anak-anak di bawah umur. Pada tahun 1929 PPPI namanya bertukar menjadi Perikatan Perkoempulan Isteri Indonesia (PPII). Pada tahun 1935 namanya berubah lagi menjadi Kongres Perempuan Indonesia (KWI). Sebelum berubah menjadi KWI perhimpunan itu lebih memfokuskan kepada masalah peranan domestik perempuan dan anak-anak saja, tetapi setelah menjadi kongres, barulah kemudiannya muncul organisasi-organisasi perempuan yang menyuarakan masalah perceraian sepihak yang dilakukan oleh laki-laki, dan KWI tidak bersedia bekerja sama dengan pihak kolonial. Beberapa organisasi perempuan mulai menunjukkan wacana politik dalam kegiatannya, dan pada tahun 1930 muncul organisasi Isteri Sedar di Bandung dipimpin oleh Sudinah, yang bertujuan mengajak kaum perempuan untuk bekerjasama dengan kaum laki-laki dalam memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan Indonesia dari cengkaman Belanda. Meskipun Isteri Sedar merupakan organisasi yang bercorak politik namun kegiatannya terkait erat dengan kepentingan perempuan, terutama meningkatkan keadaan kaum buruh perempuan. Pada tahun 1938 Kongres Perempuan Indonesia menyerukan semboyan baru yaitu “Pergerakan perempuan Indonesia sebahagian dari pergerakan kebangsaan Indonesia”. Gerakan yang dilakukan masa itu tidak hanya menghubungkan hak perempuan dengan nasionalisme, tetapi juga menggunakan pendapat nasionalisme untuk menuntut hak perempuan dan kesetaraan. Timbulnya pergerakan perempuan Indonesia dilihat dari perkembangan sejarahnya, gerakan yang terjadi bermotifkan semangat untuk memajukan bangsa, dan ini menentukan arah bagi perkembangan selanjutnya. Bahkan dalam pengertian gerakan perempuan Indonesia di dalamnya terdapat organisasi-organisasi perempuan yang berhaluan nasional. Dalam masa penjajahan Belanda sudah terbentuk organisasi-organisasi perempuan yang bertujuan meningkatkan derajat kaum perempuan, seperti perkumpulan untuk dapat ikut pemilihan umum dan perkumpulan perempuan rumah tangga. Namun perkumpulan ini tidak dianggap sebagai bahagian dari pergerakan perempuan Indonesia, dan mereka juga tidak tergabung dalam Kongres Perempuan Indonesia (Kowani). Manakala dalam keputusan Kowani bahwa pergerakan perempuan Indonesia adalah sebahagian dari pergerakan kebangsaan Indonesia, yang bermakna kaum perempuan juga mempunyai tanggungjawab dalam menentukan masa depan Indonesia. Oleh sebab itu diharapkan kepada perempuan masa itu harus berdaya upaya memperbaiki kedudukannya. Dalam pergerakan kebangsaan, kaum perempuan mengambil bahagian pekerjaan yang sesuai dengan tujuan dan sifat perempuan untuk menjunjung derajat Indonesia. Kongres Perempuan tahun 1935, bahwa pergerakan perempuan tidak hanya menginginkan kemajuan perempuan dan menghilangkan segala diskriminasi, akan tetapi harus ikut serta bertanggung jawab terhadap nasib bangsa. Ini merupakan suatu konsep yang menunjukkan kepada cita-cita yang sangat tinggi yang telah dicetuskan oleh pemimpin-pemimpin perempuan masa itu. Pada masa pendudukan Jepang, organisasi perempuan cenderung tidak berfungsi, karena masa itu yang boleh melakukan kegiatan hanyalah perhimpunan yang secara jelas menyatakan ikut membantu kepada usaha pembentukan “Asia Timur Raya”. Sebahagian dari mereka (Kowani) yang pernah aktif dalam pergerakan perempuan tidak mau bekerja sama dengan tentara Jepang yang telah memunculkan Fuzinkai (perkumpulan perempuan). Namun secara diam-diam mereka berusaha melawan masuknya budaya Jepang yang memandang rendah kepada perempuan. Setelah Proklamasi Kemerdekan Indonesia, organisasi perempuan yang masa pendudukan Jepang tidak melakukan kegiatan, mereka mulai bergerak kembali membantu mempertahankan kemerdekaan. Di bawah naungan republik yang baru perjuangan perempuan mengarah kepada reformasi undang-undang perkawinan untuk melindungi perempuan. Hal ini merupakan fokus utama untuk dibincangkan. Namun adanya perbedaan pandangan antara kelompok perempuan yang berlandaskan kepada agama dengan kelompok perempuan yang berpandangan sekuler, reformasi mengenai undang-undang perkawinan tidak lagi menjadi perhatian utama sejak 1948 terutama mengenai masalah berpoligami. Pada tahun 1952 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.19 yang membenarkan poligami, Namun Persatuan Perempuan Republik Indonesia (Perwari) yang dibentuk pada 17 Desember 1945 menolak PP No. 19 tersebut. Perwari merupakan gabungan antara Perwani (Persatuan Perempuan Indonesia) dengan Wani (Perempuan Negara Indonesia) beserta organisasi-organisasi perempuan yang mempunyai asas dan tujuan yang sama, yaitu yang mempunyai kegiatan dalam bidang sosial dan budaya. Peleburan yang berlaku bukan saja karena pertimbangan efesiensi kerja dan tenaga, melainkan juga dorongan rasa persatuan. Kemudian mereka mendesak supaya pemerintah segera mengeluarkan undang-undang perkawinan dan menghapus PP No.19. Pada 17 Desember 1953 secara serentak seluruh perwakilan Perwari yang berada di seluruh Indonesia mengadakan usul yang sama kepada pemerintah. Pada Maret 1958 Partai Nasional Indonesia (PNI) mengusulkan kembali Rencana Undang-Undang Perkawinan lebih radikal diajukan ke parlemen, yaitu menuntut monogami bagi seluruh bangsa Indonesia dan menjamin hak yang sama dalam perceraian bagi kaum perempuan, namun ide ini tidak memperoleh sokongan dari kalangan orang Islam. Walau bagaimanapun kemudian dicapai kesepakatan melalui buah pikiran Bhayangkari (organisasi isteri polisi), bahwa poligami dibenarkan bagi yang beragama Islam, tetapi undang-undang perkawinan tetap menganut asas monogami. Maka diluluskan undang-undang perkawinan pada tahun 1984, yang berlandaskan kepada Undang-Undang Perkawinan No.1/1974. Contoh kasus gerakan perempuan: Inong Bale: Salah Satu Bentuk Gerakan Perempuan Aceh Salah satu bentuk perlawanan perempuan Aceh atas derita yang dihadapinya melalui Inong Bale. Inong Bale menurut bahasa Aceh, sebenarnya bukanlah tentara perempuan. Melainkan perempuan yang telah ditinggal suaminya atau janda. Suaminya itu meninggal dunia, bisa karena ditembak atau mendapat perlakuan keras dari pihak militer atau kepolisian Indonesia. Hal ini yang menyebabkan mereka akhirnya menjanda. Fenomena Inong Bale ini muncul sekitar tahun 1989, saat "Operasi Jaring Merah" atau OJM diberlakukan di Daerah Istimewa Aceh, sebelum otonomi khusus diberikan kepada Aceh Operasi ini digelar karena adanya penyerangan-penyerangan secara sporadis terhadap pos-pos polisi atau tentara di beberapa wilayah Aceh. Dari penyerangan itu, bukan cuma senjata api yang hilang. Nyawa aparat keamanan juga banyak yang ikut melayang. Pelakunya tentu saja aktifis bersenjata yang menginginkan kemerdekaan dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). OJM lebih banyak difokuskan kepada kegiatan intelijen. Penangkapan, kekerasan sampai pembunuhan dilakukan. Dampaknya, tentu saja memunculkan rasa tak simpatik di kalangan masyarakat Aceh. Karena rasa itu, kaum muda dan tua bergabung dengan GAM. Para janda yang suaminya hilang atau meninggal dunia akibat perlakuan aparat, akhirnya ikut pula bergabung. Dendam kesumatlah yang memotivasi mereka. OJM justru malah memperbesar jumlah mereka. Aksi penyerangan dan sabotase terhadap fasilitas militer dan kepolisian, justru makin intensif. Dinilai kurang cocok, akhirnya OJM dihentikan. Namun, operasi ala militer itu cuma berhenti tak lama. Era orde baru pun berganti menjadi era reformasi. Pada 1999, di Aceh lagi-lagi diberlakukan operasi militer dan mendapat cap baru menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). DOM ternyata setali tiga uang. Tak jauh berbeda dengan OJM. Aksi kekerasan yang terjadi pun tak kalah serunya. Di sana-sani meninggalkan kekerasan dan menghilangkan nyawa. Di sana-sini pula menimbulkan dendam. Sebutan Inong Bale yang tadinya untuk janda, kini beralih. Kaum perempuan muda Aceh yang simpatik terhadap penderitaan rakyatnya sendiri, akhirnya ikut bergabung. Mereka memberikan segala kekuatan untuk mendukung perjuangan yang mereka yakini itu. Tak jarang, bergabung karena pelecehan atau diperkosa aparat. Julukan Inong Bale sebagai tentara perempuan itu diberikan Panglima GAM Tengku Abdullah Syafei. Tetapi nama itu sempat diganti menjadi Laskariyah dengan arti yang sama sebagai tentara wanita GAM. Nama itu diberikan Panglima GAM Wilayah Jeunib yakni Tengku Darwis Jeunib. Sebutan itu berubah dan kembali ke julukan seperti sebelumnya. Dari Inong Bale menjadi Laskariyah dan kembali jadi Inong Bale. Jumlah mereka tak ada yang pasti. Mediang Tengku Abdullah Syafei sempat mengklaim jumlah Inong Bale sekitar 2.000 orang. Klaim itu tak jauh berbeda dengan yang dikatakan juru bicara GAM Tengku Sofyan Daud. Namun, sumber Satgas Intelijen Komando Operasi (Koops) TNI di Lhokseumawe, Aceh Utara, menyebutnya sekitar 200-300 orang. Keberadaan mereka tersebar seantero Tanah Rencong. Keberadaan mereka memang tak perlu diragukan. Dalam penyergapan yang menewaskan tujuh anggota marinir di perbukitan daerah Matang Kumbang, Jeumpa, Bireuen, ditemukan mayat perempuan. Senapan laras panjang juga ditemukan di dekat dirinya. Baik pihak Koops TNI dan GAM, sama-sama mengklaim mayat wanita itu adalah tentara wanita GAM. Sumber: Suwondo, Nani, S.H. 1968. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Timun Mas. R.A. Kartini. 1987, Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka. Anshoriy, Nasruddin. 2008. Bangsa Gagal : Mencari Kebangsaan. Yogyakarta: LKiS. Setiawan, Hersri. 2003. Kamus Gestok. Yogyakarta: Gudang Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar