Selasa, 01 September 2015

kebijakan pendidikan di Indonesia Era Otonomi Daerah

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan karuniannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir untuk mata kuliah Sejarah Pendidikan yang berjudul Kebijakan Pendidikan di Indonesia Era Reformasi, yang diperlukan untuk memenuhi tugas Akhir Semester. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tugas artikel ini, tanpa bantuan beliau mungkin penulis akan diliputi keraguan dan kebimbangan didalam penulisan artikel ini. Disamping itu penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya serta tanggapan yang sifatnya membangun. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan Mahasiswa atau pada umumnya. Padang, Desember 2014 Penulis DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar 1 Daftar Isi 2 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah 3 B. Batasan dan Rumusan Masalah 4 C. Tujuan 4 BAB II Pembahasan A. Otonomi Daerah 5 B. Sistem Desentralisasi 6 C. Otonomi Daerah di Bidang Pendidikan 8 BAB III Penutup A. Kesimpulan 11 B. Saran 12 Daftar Kepustakaan 13 I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa Orde Baru dikenal dengan semboyan ”Ekonomi Pembangunan” yang mengedepankan tiga stabilitas negara, yaitu stabilitas politik, ekonomi dan keamanan. Untuk menjalankan ketiga stabilitas tersebut, pemerintah berusaha untuk penyeragaman berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk pendidikan. Pendidikan pada masa ini ditandai dengan sistem sentralisasi pendidikan, yang membuat pemerintah pusat berwewenang dalam dunia pendidikan seperti sistem pendidikan, kurikulum, sumber daya manusia, penyediaan media dan sumber belajar serta anggaran pendidikan. Hal ini membuat pemerintah daerah tidak memiliki peran dalam mengembangkan pendidikan didaerahnya masing-masing. Pada saat Indonesia memasuki zaman baru yaitu Reformasi, maka sistem sentralisasi mulai ditinggalkan. Pada masa ini dikenal dengan sistem Desentralisasi. Artinya, dalam pendidikan tidak hanya melibatkan pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah. Hal ini ditandai dengan mengurangi kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan, dan memberi otoritas lebih besar kepada pemerintah daerah untuk menentukan masa depan anak-anak mereka. Dinas pendidikan daerah, yang dulu merupakan Kanwil Departemen Pendidikan, memiliki otoritas lebih besar untuk mengatur lembaga-lembaga pendidikan di daerahnya dalam berbagai aspeknya. Demikian juga halnya dengan lembaga-lembaga pendidikan, mereka memiliki otoritas yang lebih besar untuk menentukan apa yang harus diajarkan di sekolah-sekolah mereka. Maka disinilah letak perubahan pendidikan “Otonomi Pendidikan”. B. Batasan dan Rumusan Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka makalah ini dibatasi pada Pendidikan pada Era Otonomi Daerah yaitu pada era Reformasi. Adapun rumusan masalahnya adalah: 1. Apa itu Otonomi Daerah 2. Apa itu Sistem Desentralisasi? 3. Bagaimana bentuk otonomi daerah di bidang pendidikan? C. Tujuan Berdasarkan batas dan rumusan masalah diatas, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah: 1. Untuk mengetahui otonomi daerah. 2. Untuk mengetahui sistem desentralisasi 3. Untuk melihat bentuk otonomi daerah di bidang pendidikan. II PEMBAHASAN Kebijakan Pendidikan di Indonesia pada Era Otonomi Daerah A. Otonomi Daerah Otonomi daerah merupakan suatu alat bagi terwujudnya cita-cita keadilan, demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepada rakyat tidak akan pernah terwujud apabila pada saat yang sama agenda demokratisasi tidak berlangsung. Dengan kata lain, otonomi daerah disatu sisi dapat meminimalisasi konflik pusat – daerah, disisi lain dapat menjamin cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Jadi, otonomi daerah harus diagendakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari demokratisasi kehidupan bangsa. Asas otonomi daerah hendaknya saliing percaya dan saling menghormati, saling melengkapi dan saling ketergantungan baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antar pemerintah daerah dan antara rakyat dan pemerintah dalam rangka mewujudkan suatu Indonesia yang utuh, adil, demokratis dan sejahtera. Tujuan otonomi darerah ada dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum yaitu untuk meningkatkan kaualitas keadilan, demokrasi dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa yang beragan di dalam NKRI. Sedangkan tujuan khusunya adalah, (1) meningkatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan maupun implementasinya. Sehingga terwujud suatau pemerintahan lokal yang bersih, efisien, transparan, responsif dan akauntable; (2) memberi pendidikan politik kepada masyarakat akan urgensi keterlibatan mereka dalam proses pemerintahan lokal dan kontribusinya bgai tegaknya pemerintahan nasional yang kokoh dan sah; (3) membangun rasa saling percaya antar masyarakat. B. Sistem Desentralisasi Sistem desentralisasi juga sering disebut sebagai otonomi pendidikan. Hal ini dilaksanakan di Indonesia mengandung beberapa alasan. Pertama, karena alasan psikologis. Karena sentralisasi yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru menutup potensi kreativitas, inovasi serta kearifan lokal yang dimiliki daerah. Selain itu, pemeritah daerah tidak memiliki otoritas terhadap pendidikan diwilayah-wilayah mereka. Hal ini terjadi karena semua rencana dan bahan pelajaran dibuat secara beragam oleh pemerintah pusat. Kedua, karena alasan politis. Salah satu aspek politis adalah kekuasaan, termasuk kekuasaan atau wewenang dalam pengelolaan pendidikan. Pada masa Orde Baru otoritas pendidikan di daerah tetap di bawah kewenangan pemerintah pusat. Hal ini diwujudkan dengan adanya kantor-kantor wilayah departemen pendidikan di setiap propinsi dan kantor departemen pendidikan di setiap kabupaten/kota, yang merupakan bagian dari struktur pemerintah. Struktur ini menunjukkan bahwa berbagai kewenangan pendidikan, dari mulai penetapan kurikulum hingga pengangkatan kepala sekolah dan guru merupakan kewenangan pusat. Ketiga, alasan hukum. Karena alasan psikologis dan politis di atas, dipicu dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru, maka lahirlah Undang-Undang yang mengatur sekaligus memberi kekuasaan yang lebih besar pemerintahan daerah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara resmi mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Undang-Undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur Pemerintahan Daerah. Beberapa Undang-Undang di atas merupakan landasan diberikannya kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Kewenangan itu diberikan dengan pertimbangan antara lain bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan pendidikan di daerah masing-masing, sehingga diharapkan dapat membuat program dan kebijakan yang secara langsung menyentuh kebutuhan pendidikan di daerah. Menurut Ranis (dalam Fasli, 2001) sistem Desentralisasi diartikan sebagai pemerintah pusat menyerahkan kekuasaan kepada pengambil keputusan ditingkat daerah. Sementara Varghese menyatakan bahwa sisitem ini sebagai peralihan kekuasaan dan wewenang untuk mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan. Adapun karakteristik sistem desentralisasi menurut Varghese yaitu: (1) unit perencana yang lebih rendah mempunyai wewenang untuk memformulasikan untuk targetnya sendiri, termasuk penentuan strategi untuk mencapai target, dengan mengacu kepada tujuan pengembangan nasional; (2) unit perencana yang lebih rendah diberi wewenang dan kekuasaan yang memobilisasi sumber-sumber lainnya, dan keluesan untuk melakukan realokasi sumber-sumber yang telah diberikan kepada mereka sesuai dengan prioritas kebutuhan daerah; (3) unit perencana yang lebih rendah berpartisipasi dalam proses perencanaan dengan unit yang lebih tinggi. Tujuan desentralisasi adalah untuk (1) mengurangi beben pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil ditingkat lokal, (2) meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi, (3) menyusun program perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal lebih realistis, (4) melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional. C. Otonomi daerah di bidang pendidikan Pembangunan pendidikan berarti proses perombakan struktural administratif yang berkenaan dengan pengelolaan pendidikan dan subsistem operasional yang berkenaan dengan pengelolaan pendidikan dan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar setiap satuan pendidikan agar tercapai tingkat partisipasi, efesiensi, efektivitas dan relevansi pendidikan yang tinggi. Pembangunan pendidikan akan melahirkan orang-orang yang terdidik yang mencapai kedewasaan. Selain itu dalam pembangunan pendidikan ditunjang oleh pembangunan transformasi pengelolaan pendidikan di tingkat pusat, wilayah dan sekolah yang membangun kompenen-kompenen pendidikan, yaitu peraturan perundang-undangan kependidikan, kurikulum pendidikan untuk semua jenis satuan pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, teknologi pendidikan, dana pendidikan dan tenaga kependidikan. Pendidikan pada era ini mengacu kepada Undang-Undang NO. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ada dua implikasi utama dari pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan oleh daerah dan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Dalam hal penyelenggaraan pendidikan oleh daerah, kementerian pendidikan dan kebudayaan tidak lagi memiliki kantor wilayah di provinsi dan kantor departemen di kabupaten/kota. Peran kantor wilayah dan kantor departemen diambil alih oleh dinas pendidikan yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Implikasi lebih lanjut adalah penyaluran anggaran pendidikan lewat pemerintah daerah, pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan oleh daerah, dan pengelolaan tenaga pendidik dan tenaga pendidikan oleh daerah. Dalam hal ini yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah pusat memberikan sebagian besar otoritas pengembangan kurikulum kepada masing-masing lembaga pendidikan, dengan mengacu kepada peraturan-peraturan pendidikan yang berlaku. Dalam hal penyusunan kurikulum ini pemerintah pusat membuat model kurikulum KTSP dan menentukan standar kompetensi dari berbagai pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut. Selebihnya masing-masing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi kekhasan daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran yang tidak menjadi memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah. Dalam era ini, pemerintah daerah (Pemda) bertanggung jawab atas pengelolaan sektor pendidikan pada semua jenjang diluar Pendidikan Tinggi (SD, SMP, SMA). Disinilah letak kebebasan pendidikan tinggi untuk mengembangkan program pendidikannya sesuai dengan kebutuhan daeerah. Namun, pendidikan pada era ini menghadapi berbagai tantangan. Pertama, dunia pendidikan dituntut untuk mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daeran dan perserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. III PENUTUP A. Kesimpulan Era reformasi telah membawa pembahan mendasar dalam pendidikan, salah satunya adalah terjadinya perubahan arah paradigma pendidikan, termasuk dalam hal sistem perencanaan pendidikan di daerah. Dengan terjadinya perubahan paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma baru perencanaan pendidikan. Paradigma baru perencanaan pendidikan akan berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan Kabupaten Kota. Dalam era otonomi daerah, sistem perencanaan pendidikan Kabupaten/Kota adalah bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota, yaitu mendasarkan pada perencanaan parisipatif, di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika, prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan perencanaan pembangunan, termasuk dalam perencanaan pendidikan di daerah Kabupaten/Kota, diperlukan koordinasi antar instansi Pemerintah dan partisipasi sejumlah pelaku pembangunan, melalui suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota, serta fomm Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam melakukan perencanaan pendidikan Kabupaten/ Kota, pertama-tama periu dilakukan analisis lingkungan strategis, untuk mengetahui lingkungan ekstemal yang berpengamh tertiadap perencanaan pendidikan kabupater kota. Selain itu, berbagai perubahan lingkungan strategis harus diakomodasi dan diintemalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan lingkungan strategis tersebut. Kemudian, perlu analisis situasi untuk mengetahui " situasi pendidikan saat ini" dan "situasi pendidikan yang diharapkan atau ditargetkan menyangkut berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan, sehingga kesenjangan dapat diketabui dan kebijakan substantif dan implementatif, program seria rencana kegiatan dapat dipikirkan secara integrated. Berhubung dengan itu, perlu sebuah pemikiran inovatif-kreatif mengenai model pembangunan sistem pendidikan yang terintegrasi, yang dapat meramu sekaligus mengakomodasi upaya peningkatan dan pencapaian berbagai kebijakan pendidikan yang ditargetkan secara bersama-sama, bukan secara parsial dan berlanjutan. B. Saran Pada makalah ini, penulis hanya terfokus kepada kebijakan yang ditetapkan pada Pendidikan di Iindonesia pada era otonomi daerah. Diharapkan kepada pembaca atau penulis selanjutnya, untuk dapat menggali tentang pendidikan di Indonesia era otonomi daerah secara keseluruhan dan mendalam. Jika terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan maaf karena manusia tidak bisa terhindar dari rasa Khilaf. Daftar Kepustakaan Dede Rosyada. 2007. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Redja Mudyahrdjo. 2013. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. San M. Chan dan Tuti T. San. 2005. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Syamsuddin Haris, dkk. 2006. Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press. Tilaar. 2012. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar