Selasa, 01 September 2015

hubungan luar negeri Australia dan Indonesia pada masa Orde Baru

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan karuniannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Sejarah Australia – Oceania yang berjudul Hubungan Luar Negeri Australia – Indonesia. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tugas makalah ini, tanpa bantuan beliau mungkin penulis akan diliputi keraguan dan kebimbangan didalam penulisan makalah ini. Disamping itu penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya serta tanggapan yang sifatnya membangun. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan Mahasiswa atau pada umumnya. Padang, 05 Mei 2013 Kelompok 7 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan luar negeri Indonesia dengan Australia sudah berlangsung sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Sebagai negara yang memiliki kedekatan geografis dan bertetangga, ada asumsi umum bahwa hubungan Indonesia – Australia disebut “Strange Neighbors” Selama setengah abad pertama eksistensi Indonesia, kondisi hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia bervariasi dan sulit untuk di prediksi dari hubungan yang cukup hangat (selama tahun-tahun perjuangan kemerdekaan dan periode Orde) hingga ketegangan yang cukup tinggi (fase militer konfontasi dan ketidak sepakatan mengenai Timor-Timur), pertentanga tersebut memerlukan pendekatan diplomatik yang besar unutk membawa hubungan tersebut kembali ke tingkat hubungan yang lebih baik. Namun, pada pertengahan dekade 1950-an hubungan baik tersebut mulai menurun dikarenakan pergantian kekuasaan pada pemerintahan di Australia pada tahun 1949, dari pemerintahan buruh ke pemerintahan koalisi yang lebih konservatif dan sebagian disebabkan oleh kecendrungan Indonesia di bawah pimpinan Soekarno untuk menjauh dari sistem pemerintaha parlementer yang diwarisi dari Belanda menuju sebuah sisitem pemerintahan yang lebih otoritarian dan membuka jalan bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk meningkatkan peranannya dalam politik Indonesia. Pada awal era 1960-an, hubungan keduanya mencapai titik terendah yang ditandai dengan keberatan pemerintahan Australia atas klaim Indonesia terhadap Irian Barat dan dukungan Australia terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang sangat ditentang Indonesia. Hal ini merupakan akibat dari kepemimpinan Soekarno yang radikal dan konfrontasi. Dan politik konfrontsi ini berakhir setelah pemerintahan Orde Lama jatuh, dan pemerintahan Indonesia bertekad melaksanakan dan mempertahankan Orde Baru. B. Batasan Masalah Jika dilihat pada latar belakang masalah diatas, maka kajian ini dibatasi untuk membahas tentang Hubungan Luar Negeri Australia-Indonesia masa Orde Baru (1966-1998). . C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas diperoleh rumusan masalah sebagai berikut : 1. Keadaan Indonesia masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998) 2. Hubungan Luar Negeri Australia – Indonesia. BAB II PEMBAHASAN HUBUNGAN LUAR NEGERI AUSTRALIA DAN INDONESIA MASA ORDE BARU (1966-1998) 1. Keadaan pemerintahan Indonesia dalam tahun 1966-1998 Pada tahun 1966-1998 dikenal dengan masa Orde Baru, yaitu pada masa pemerintahan Soeharto. Politik luar negeri pada masa Soeharto memimpin di tandai dengan politik bebas aktif. politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan kepentingan nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan. Pada masa pemerintahan Soeharto, terkenal dengan kabinet Ampera atau dwi darma kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksenakan pembangunan nasional. Kabinet pembangunan pada tahun 1968 dalam sidang MPRS ada tugas lain pula yang di sebut pancakrida. Serta ketastabilan jalannya pemerintahan setelah PKI di bubarkan. Pada masa orde baru sistem kelembagaan negara terdiri dari MPR, DPR, DPA, BPK, Preside n, dan MA. Hubungan diantara lembaga negara banyak didominasi oleh kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh presiden. Oleh karena itu efektifitas pelaksanaan pemerintah tidak berjalan secara efektif karena hanya didominasi kekuasaan presiden. 2. Australia dan Indonesia pada tahun 1966-1998 Hubungan awal antara Jakarta dan Canberra, baik. Namun, hubungan tersebut membeku ketika Jakarta menjalankan politik luar negeri secara militan. Kampanye yang dilakukan Indonesia dalam upaya untum pembebasan Irian Barat membuat adanya ketegangan antara Jakarta dengan Australia, karena Canberra menaruh perhatian atas Papua New Guinea, yang merupakan bagian dari Australia pada saat itu. Hal ini membuat kecurigaan di pihak Australia karena mereka khawatir ia tidak hanya berhenti di Irian Barat. Hal itu diperkuat dengan adanya politik konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. Hubungan antara Indonesia dan Australia mulai membaik setelah kejatuhan Soekarno dan muncul pemerintah baru Soeharto. Pada tahun 1974, Portugal mengalami suatu revolusi yang menghasilkan keputusan untuk memberikan pemerintahan sendiri di koloninya, Timor Timur. Proses dekolonialisasi tersebut berjalan lancar. Terjadinya perseteruan dalam negeri dan kemunculan Fretilin dipandang oleh rezim Soeharto sebagai ancaman terhadap stabilitas politik Indonesia. Jakarta khawatir akan keberadaan Timor Timur yang merdeka di bawah Fretilin yang nantinya akan menjadi kuba di Asia Tenggara. Indonesia mengintervensi dan akhirnya memasukkan bekas koloni Portugis kedalam Republik. Ketika Perdana Menteri Australia, Gough Whitlam (partai buruh) mengunjungi Indonesia, Soeharto mengantakan kepada Whitlam tentang isu Timor Timur. Australia menyetujui untuk mengintegrasi wilayah ini secara damai kedalam wilayah Indonesia. Tetapi, ketika Indonesia menduduki Timor Timur dengan kekrasan dan Australia menolak hal itu. Pemerintahan Partai Buruh bertindak kritis terhadap tindakan Indonesia tersebut di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan hal ini dikatakan sebagai penyebab memburuknya hubungan jakarta-Canberra yaitu dengan meninggalnya liam wartawan Australia yang yang sedang meliputi suatu peristiwa di Timor Timur. Mereka manyaksikan invasi Indonesia dan diyakini mereka di bunuh oleh tentara Indonesia. Pemerintah mengizinkan pengungsi memasuki Australia dna meminta Indonesia mengizinkan kepada masyarakat Timor Timur memiliki keluarga di Australia untuk berimigrasi. Pada bulan Agustus 1976, setelah integrasi Timor Timur, Perdana Menteri dari Partai Liberal, Malcolm Fraser, membuat pernyataan tentang kepemimpinan Indonesia yang tidak efektif. Hal itu membuat gusar pemerintah Indonesia. Australia menyadari bahwa kerusakan telah terjadi, dan ia bergerak untuk mengunjungi Indonesia guna unutk memperbaiki hubungan keduanya, ia memutuskan untuk mengunjungi Jakarta. Sebelum diadakannya kunjungan, pemerintah Australia menutup radio di pengasingan Fretilin di Darwin dan menghubungkannya kepada PMI unutk Timor Timur. Pengakuan secara de jure atas tambahan wilayah Timor Timur bagi Indonesia tahun 1978, supaya pembicaraan bisa dimulai mengenai celah Timor di perbatasan bawah laut, namun Jakarta menolak hal itu sebelum kedaulatannya diakui. Pada tahun 1977, mantan konsul Australia di Timor Timur, James Dunn, yang memberi kesaksian nyata atas kekejaman Indonesia Di Timor Timur di depan senat Amerika, dan Indonesia protes dengan pernyataan ini. Hal ini penyebab rusaknya hubungan Jakarta-Canberra. Awal tahun 1980-an, Canberra menerima dan mengakui integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia. Tetapi, pada tahun 1984, Jakarta marah kepada Canberra atas kunjungan Perdana Menteri Fretilin ke Auatralia, dan menganggap pemberian visa kepada Jose Ramos Horta adalah tindakan permusuhan. Keadaan semakin memburuk ketika Menteri Luar Negeri Australia, Bill Hayden, berkomentar bahwa Australia akan tetap mengkritik Indonesia selama kegiatan “pasukan kematian (death squad) terus berlangsung di Timor Timur. Awal tahun 1986, dua wartawan Australia yang bekerja pada media Amerika Serikat dilarang meliput kunjungan Presiden reagen ke Indonesia akibat dari “peristiwa Dawid Jenkins”. Editor The Sydney Morning Herald, menulis dua artikel bersambung 10 April 1986 yang isinya menangkap jaringan usaha keluarga Soeharto. Dalam pengantarnya, Jekins membandingkan Soeharto dengan Marcos (Filipina). Kejadian ini membuat pemerintah Indonesia sangat marah dan melarang seluruh wartawan Australia memasuki Indonesia untuk meliput kedatangan Reagen. Munculnya artikel tersebut, Dr. B.J. habibie, menteri riset dan teknologi, membatalkan kunjungannya yang sudah di jadwalkan ke Australia, serta program kerja sama pertahanan antara Jakarta dan Canberra di batalkan. Hal ini terjadi pada bulan September 1986. Sikap keras Jakarta dikaitkan dengan Departemen Pertahanan sebagai suatu bentuk protes buku Robison. Menjelang akhir bulan Oktober, Menteri Industri Utama Austalia, Jonh Kerin, mengunjungi Indonesia dan melakukan pembicaraan dengan presiden Soeharto, hal ini adalah indikasi dari perbaikan hubungan antara dua negara. Laporan dari Paul Dibb dan White Paper dari Departemen Pertahanan Australia, yang mengusulkan agar pertahanan Australia memperhitungkan ancaman potensial, yang salah satunya datang dari Indonesia. White Paper mengusulkan agar Australia mempertahankan bagian utara wilayahnya dengan mendirikan unit-unit kapal laut yang mampu beroperasi jarak jauh. Hal ini menyebabkan kembali menegangnya hubungan antara Jakarta-Canberra. Setelah Ali Alatas menjadi Menteri Luar Negeri (maret 1988) hubungan Jakarta-Canberra semakin membaik, karena hubungan pribadi yang baik antara Alatas dengan beberapa pemimpin Australia, terutama Menteri Luar Negeri Gareth Evans. Para Menteri Australia mulai berkunjung ke Indonesia, dan pada akhirnya, Kepala Staf Australia diundang ke Jakarta dna dibalas denga kunjungan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Indonesia ke Australia. Terobosan penting dalam hubungan antara Jakarta dan Camberra terjadi ketika Menteri Luar Negeri dari dua negara menandatangani Perjanjian Celah Timor pada bulan Desember 1989. Persetujuan ini memberi izin kepada kedua negara untuk melakukan eksploerasi dan menggali Celah Timor, yang kaya akan minyak, dan menangguhkan suatu penyelesaian atas masalah perbatasan yang tumpang tindih. Isu Timor Timur muncul kembali ketika pembantaian terhadap masyarakat Timor Timur yang terjadi pada bulan November 1991. Aksi unjuk rasa berlangsung didepan Kedutaan Indonesia di Canberra. Para pengunjuk rasa membakar bendera Indonesia, sehingga menimbulkan ketegangan anatara Jakarta-Canberra. Evants dikirimkan ke Indonesia unutk menunjuk keprihatinan Australia, namun ia gagal bertemu Presiden Soeharto, menteri pertahanan, Benny Moerdani dan Kepala Staf Angkatan Darat, Try Sutrisno. Peristiwa Dilli membuat hubungan kedua negara menjadi tegang. Perdana Menteri baru, Paul Keating, berkeinginan memperbaiki hubungan Indonesia dengan Australia. Tanggal 21-24 April 1992, Keating akan mengunjungi Indonesia unutk membicarakan pembentukan “suatu dasar yang kuat bagi hubungan jangka panjang diantara dua negara”. Ketika Duta Besar baru, Letnan Jendral Herman Mantiri, yang membuat pernyataan yang kontroversial setelah peristiwa Dilli, akan dikirim ke Canberra, ada oposisi yang kuat di Australia. Namun, Keating menolak memveto penunjukan tersebut, meskipun disyaratkan bahwa akan sulit bagi duta yang baru menjalankan tugasnya dalam keadaan yang seperti itu. Keating percaya bahwa ada kaitan alamiah dari kepentingan Indonesia, Vietnam, dan Australia. Unsur kuat Politik Luar Negeri Indonesia dan Vietnam adalah untuk membentuk “suatu blok kepentingan ekonomi non-Cina” yang meliputi Indonesia, Vietnam, dan Australia, karena Australia tidak ingin masuk orbit Cina. Dari segi politik, Australia dan Indonesia bekerja sama secara erat dalam menyelesaikan masalah Kamboja. Hubungan ekonomi yang masih lemah di upayakan untuk ditingkatkan melalui hubungan antara pengusaha Australia dan Indonesia serta Ministerial Forum yang secara bergantian diadakan di Indonesia dan Australia, dari segi sosial budayanya, dibentuk Australia-Indonesia Institute dan beasisiwa untuk mahasiswa Indonesia belajar ke Australia. Hubungan bilateral ini semakin kuat bukan saja dari segi ekonomi, politik, sosial budaya, tetapi dari segi keamanan. Di penghujung tahun 1995, Australia dan Indonesia mengikat diri dalam satu perjanjian keamanan yang formal. Pada tanggal 18 Desember 1995, Australia menandatangani suatu perjanjian keamanan dengan Indonesia, dan sepakat bahwa kedua negara akan berkonsultasi secara teratur mengenai masalah keamanan bersama dan untuk mendorong kerja sama keamanan. Perjanjian ini juga menegaskan “menghormati keamanan mereka terhadap kedaulatan, kemerdekaan politik dan keutuuhan wilayah dari seluruh negara”. Bagi Soeharto ini lah perjanjian pertama yang di setujui dengan negara barat, yang berarti hubungan Cenberra dan jakarta membaik, dan pengakuan Soeharto bahwa Indonesia memiliki kepentingan keamanan bersama dengan Australia. Dari Australia, perjanjian ini berarti hadiah natal dan tahun baru dari negara terdekat yang selama ini sangat di takutinya. Pemerintah Buruh Australia di bawah Paul John Keating dapat mempertanggungjawabkan kepada rakyatnya, bahwa ia telah mampu membangun pilar terakhir dalam hubungan Australia-Indonesia, yaitu pilar pertahanan/keamanan. Dalam kurun waktu 1988-1995, sejak naiknya Menlu Gareth Evans menggantikan Bill Hayden, pemerintah Buruh Australia berupaya membangun empat pilar utama dalam hubungan Jakarta-Canberra, yaitu: • Pilar politik. Australia menginginkan adanya “special inter-personal relationship” (hubungan antar pribadi yang bersifat khusus) antara pemerintah Australia dan Indonesia. • Pilar ekonomi. Kedua negara berupaya meningkatkan kerjasama ekonomi baik pada tingkat bilateral maupun dalam kerangka multilateral (APEC). • Pilar sosial budaya. Pemerintah Australia membentuk Australia – Indonesia Institute pada 1989 untuk mempererat hubungan kebudayaan kedua negara. • Pilar pertahanan/keamanan. Australia menginginkan adanya suatu perjanjian yang mengikat kedua negara dalam bentuk Joint Declaration of Principles, seperti antara Australia dengan Papua Nugini. Perjanjian seperti ini mencakup berbagai aspek, yakni ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan, dan bisa menjadi payung bagi kerja sama bilateral Australia-Indonesia. Keinginan Australia untuk memiliki perjanjian keamanan yang begitu luas dengan Indonesia pada 1986 tersebut didasari oleh dua hal, yaitu pentingnya Indonesia sebagai negara penyangga yang kuat di Asia Tenggara atas serangan dari negara-negara asing dan masih adanya anggapan bahwa “Indonesia adalah negara dari dan melalui mana serangan terhadap Australia bisa dilakukan”. Perjanjian keamanan Indonesia-Australia merupakan bagian dari langkah-langkah membangun keamanan dan kepercayaan di antara negara-negara di Asia Pasifik (Asia Pacific Confidence and Security Building Measures – CSBM). Artinya, perjanjian ini merupakan perjanjian bilateral yang bersifat formal antara kedua negara untuk mencegah atau menyelesaikan ketidaktentuan antar negara, termasuk hal politik dan militer. BAB III KESIMPULAN Hubungan Luar Negeri Australia dengan Indonesia telah dipengaruhi oleh sikap Indonesia atas keamanan dan pengaruhnya di wilayah bagian selatan. Militer Indonesia trelibat intens dalam perumusan Politik Luar Negeri. Hal inin terlihat pada pendekatan Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan selalu bersebrangan. Buktinya adalah pada awalnya, militer Indonesia berkuasa. Tetapi, secara bertahap, Departemen Luar Negeri Indonesia yang didukung oleh Presiden, mampu menuntut lebih banyak pengaruh. Hubungan tampak erat ketika Paul Keating menjadi Perdana Menteri, karena strateginya, ia melihat Indonesia dan Vietnam sebagai mitra ekonomi dan politik alamiah Australia. Namun demikian, perbedaan budaya dari negara-negara tersebut, demokrasi barat dan otoriterianisme Asia masih menjadi sumber konflik utama antara Indonesia dan Australia dimasa mendatang. DAFTAR PUSTAKA Suryadinata, Leo. 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia. Critchley, Susan. 1995. Hubungan Australia dengan Indonesia: Faktor Geografis, Politik dan Strategi Keamanan. Jakarta: Universitas Indonesia PRESS (UIP). Siboro, J. 1989. Sejarah Australia Jakarta: Proyek Pengembangan Tenaga Kependidikan. Siboro Julius. 2012 . Sejarah Australia. Yogyakarta: Ombak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar