Selasa, 01 September 2015

islam di Minangkabau

ISLAM DI MINANGKABAU 1. Masuknya Islam di Minangkabau Awal masuk dan berkembangnya islam di Minangkabau menurut berita Cina dari dinasti T’ang menyebutkan bahwa sekitar abad ke-7 M (674 M) ada kelompok orang Arab (Ta-Shih) yang perkampungan mereka ada di pesisir barat Sumatera. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa islam datang dan berkembang di daerah Sumatera Barat baru sekitar akhir abad ke-14 M atau abad ke-15 M, dan islam sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar Minangkabau. Islam masuk ke Minangkabau massuk pada abad ke-15 M dapat di hubungkan dengan cerita yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci tentang Siak Lenih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di Kerinci, semasa dengan Puteri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai dan Perpatih nan Sabatang, yang kesemuanya berada di Kerinci. Islam masauk di Minangkabau pada awalnya yaitu di daerah Ulakan dan Pariaman yang dibawakan oelh Syeikh Burhanuddin langsung dari Makkah. Semua penduduk Minangkabau beragama Islam, menurut Umar Yunus jika ada orang Minangkabau yang tidak menganut Islam itu adalah suatu keganjilan. Weekers mengemukakan bahwa semua muslim Minangkabau adalah Muslin Sunni yang bermadzhab Syafi’i. Sumatera Barat khususnya Minangkabau merupakan daerah yang sangat berperan dalam penyebaran cita – cita pembaruan ke daerah-daerah lain. Di daerah ini lah tanda-tanda pertama dalam pembaruan yang pada waktu daerah lain seakan masih terasa puas dengan praktik-praktik tradisional mereka. Proses islamisasi di Minangkabau berlangsung intensif sejak abad ke-13 M sejak raja kerajaan Pagaruyung memegang agama Islam pada tahun 1960 dan bergelar Sultan Alif. Tome Pires (1512-1515) mencatat keberadaan tempat-tempat seperti Pariaman, Tiku bahkan Barus didaerah Minangkabau ada tiga raja yang diragukan apakah beragama islam atau tidak. Berita tentang perdagangan yang dilakukan melalui pelabuhan Pariaman, Tiku dan Barus yamng merupakan kunci utama untuk memasuki daerah Minangkabau. Dari ketiga tempat ini dihasilkan barang-barang perdagangan seperti emas, sutra, damar, lilin, madu, kamper, dan kapur barus. Setiap tahun daerah tersebut di datangi oleh kapal-kapal Gujarat dua atau tiga kapal yang membawa barang dagangnya, diantaranya yaitu pakaian. Sejak aabad ke-15 dan ke-16 hubungan antara Sumatera Barat melalui pelabuhan-pelabuhannya dengan berbagai negeri antara lain adalah dengan Aceh. Pada masa Iskandar Muda, Pariaman merupakan salah satu daerah yang berada dibawah kekuasaan kerajaan Aceh. Pada abad ke-17 M ada ulama terkenal di Sumatera Barat yang merupakan salah seorang murid Abd. Al-Rauf Al-Sinkili yang bernama Syekh Burhan Al-Din (1646-1692) di Ulakan. Ia mendirikan surau dan Ulakan merupakan pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Tarekat Syathriyyah yang diajarkannya tersebar di daerah Minangkabau dan ajaran Tasawufnya cenderung kepada Syari’at dan dapat dikatakan sebagai ajaran Neosufisme. Ia dikenal di kalangan masyarakat sebagai Tuanku Ulakan. Menurut Christine Dobbin merupakan Islam merupakan tambahan dari apa yang sebelumnya dan ini terlihat di Minangkabau yaitu yang bercorak mistik yang hadir dalam bentuk tarekat-tarekat seperti Naqsyabandiyah, Shattariyah, Qadiriyah, dan lain-lain. Corak yang seperti itu mrmudahkan masyarakat untuk memeluk agama islam tanpa harus pertentangan dari adat. Tetapi sejak munculnya gerakan untuk pemurnian di Arab, yang kemudian dibawa ke Indonesia, islam yang seperti itu dianggap menyimpang dari ajaran islam yang murni, yankni yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dan para Khalifahnya. Sehingga diperlukan pemurnian. Penyebaran islam yang sifatnya pembaruan dan berjangkauan lebih jauh lagi mencapai klimaksnya pada awal abad ke-19, yang dipelopori oleh 3 orang haji dari mekkah yang membawa ajaran Wahabi, yaitu Haji Miskin, Sumanik dan Piobang yang disebut sebagai gerakan Paderi. Namun, gerakan pemurnian ini gagal secara politis dan keagamaan. Hal itu dikarenakan sikap Schumann yang konservatif. Gerakan ini tidak mempertimbangkan bahwa suasana kehidupan di Arab tidak hanya di dasarkan pada ajaran agama tetapi juga akar-akar tradisi arab yang tidak bisa di pisahkan satu sama lain. Kelompok-kelompok yang terlibat dalam simbol-simbol keagamaan memiliki kesamaan dengan mereka yang terlibat dalam simbol-simbol kesukuan. Pesan-pesan simbolik yang berkarakter majemuk dizaman penjajahan digantikan oleh kekuasaan muslim setelah kemerdekaan. Karena agama Budha, Katolik dan Protestan diakui oelh ideologi negara pancasila, maka kaum muslim harus menampilkan argumen yang tidak berseifat keagamaan dalam mengekang warga lain yang kepercayaannya berbeda. Terdapat dua jenis simbol yang relevan, yaitu prosesi dan rumah ibadah. Prosesi adalah simbol yang sangat kuat sebab ia merupakan pokok tahunan, menimbulkan banyak kegembiraan, dan menyatukan masyarakat dalam tindakan komunal. Diawal abad masa penjajahan, ada tiga prosesi keagamaan yang penting, yaitu tabuik, barongsai dan paskah. Setelah kemerdekaan, prosesi warga katolik pada hari paskah, perayaan untuk memperingati hari kebangkitan Isa Almasih pernah dilarang sebab mengganggu mayoritas muslim. Pada tahun 18-an, prosesi ini diperbolehkan utnuki beberapa kali tetapi hanya dilaksanakan diantara gereja dan pusat olahraga katolik roma. Kaum muslim mengadakan pestival tabuik. Beberapa desa membuat konstruksi dari bambu yang disebut dengan tabuik, yang melembangkan buraq, sejenis burung yang membawa mayat Husein ke surga. Buraq adalah semacam mitos yang berbadan kuda, berkepala wanita, dan bersayap seperti elang. Husein terbunuh dan mayatnya dipotong-potong dalam perang sepuluh hari krbala untuk mencari pengganti khalifah di tahun 680 M. Tabuik diperkenalkan di Sumatera Barat dan Bengkulu oleh prajurit india selama pemerintahan Inggris (1795-1819). Festival ini berasal dari Islam Syi’ah, namun dirayakan oleh muslim Sunni di Sumatera Barat. Festival ini dirayakan mulai tanggal 10 Muharram, yang dulunya ditandai dengan reaksi agresif antara beberapa perkampungan, diawali dengan poengambilan tanah, lalu membungkusnya dengan kain putih yang melambangkan mayat Husein. Sampailah pada puncaknya, tabuik dibawa keluar dan di arak keseluruh bagian kota, kemudian di lemparkan kelaut. Perayaan tabuik ini sudah berkembang mulai zaman penjajahan Belanda. 2. Pusat-pusat Islam di Minangkabau Ciri utama dari pandangan hidup Minangkabau pada abad ke-19 adalah tumbuhnya tradisi-tradisi islam lokal. Minangkabau bersama-sama dengan Aceh sudah menjadi pusat studi Islam yang cukup penting. Payakumbuh dan Pariaman khususnya sebagai pusat poendidikan Islam yang menghasilkan banyak tokoh-tokoh agama (ulama terkenal). Kedua daerah tersebut memiliki sekolah-sekolah (surau) agama yang terkenal secara luas. Marsden memberikan kesannya bahwa Minangkabau penting dalam dunia Islam; orang-orang Sumatera yang tidak mampu untuk emnunaikan ibadah haji mekah paling kurang berusaha mengunjungi salah satu dari pusat pendidikan Islam di Sumatera Barat. Surau yang paling terkenal di Sumatera Barat dan menjadi contoh yang baik tentang keberhasilan meletakkan dasar pendidikan Islam, serta terus melanjutakan ajaran yang dirintis oleh para pendirinya yang terdahulu adalah “Surau Ulakan” yang terletak di sebuah nagari kecil dikawasan pantai dekat Pariaman. Ulakan ini dianggap sebagai pusat keagamaan tertua di Minangkabau. Tokoh utamanya adalah orang keramat yaitu Syekh Burhanuddin, seorang ulama dari abad ke-17 yang dilaporkan bahwa ia adalah orang yang pertama kali mkendengarkan tentang Islam dari seorang pelaut muslim, sehingga mengunggahnya untuk pergi ke Aceh untuk mempelajari Islam lebih jauh. Setelah kembali ke Sumaterea Barat, ia mendidirikan pusat latihan dalam pendidikan Islam di Ulakan utnuk membekali murid guna untuk menyebarkan Islam di Minangkabau. Tetapi ajaran Islam yang ia kembangkan lebih dititik beratkan dalam penanaman agama dengan ajaran mistisme dan lebig di fokuskan terhadap figur Syekh itu sendiri. Pusat-pusat agama Islam yang paling awal juga dikembangkan sebagai persaudaraan yang bersifat mistik atau tarekat. Para pengikutnya mencari pengalaman sporotual dan mistik dengan dibimbing oleh ulama yang menjadi guru dan permimpin mereka. Pusat-pusat studi Islam di surau-surau tersebut merupakan basis utama dari orang Minangkabau yang masuk islam. Murid-murid yang sudah maju mekanjutkan pelajuarannya ke Aceh dan ke Timur Tengah ataupu India; setelah mereka pulang, mereka turut membantu bekas gurunya dulu atau mendirikan surau baru dimanapun. Jenis ajaran Islam yang disebarkan dari pusat-pusat studfi islam tersebut menitikberatkan ajaran dengan menanamkan uunsur mistik dan tidak begitu dekat hubungannya dengan agama yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi berkembang ajaran islam sebagaimana yang dipraktekkan di Makkah maupun di Madinah sejak periode yang sama. 3. Peninggalan-peninggalan Islam di Minangkabau Masjid utama yaitu Ganting, terletak agak jauh dari pusat. Semenjak pusat pemerintahan dan ekonomi pindah kepusat dari daerah pinggiran kedaerah sungai, dua masjid baru yang besar di bagun yaitu masjid Nurul Iman dan Takwa, dibangun di pusat kota sekarang ini. Pembangunan mesjid tertua Ganting di mulai pada tahun 1866 dan penyelesaiannya memakan waktu selama dua puluh tahun. Masjid ini disebut dengan masjid adat sebab berada di bawah bimbingan pemuka adat hingga tahun 1958, dan KAN Nan VIII suku yang baru berharap bisa m,engendalikan mesjid ini lagi. Masjid ini mempunyai mimbar di luar bangunan, yaitu di bagian depan, tempat pemimpin suku memberikan ceramah kepada jamaah pada Idul Fitri. Pada tahun 1957, Muhammadiyah mulai membangun pengganti mesjid kayu tersebut yang disebut masjid Raya yang dibangun dengan menggunakan batu bata. Pada waktu yang bersamaan, pemerintah bersama angkatan senjata nasional mulai membangun Mesjid Nurul Iman di Padang sebagai isyarat perdamaian setelah melakukan penindasan terhadap PRRI. Pada tahun 1960-an terjadi persaingan yang ketat di antara kedua masjid ini untuk menjadi yang terdepan. Masjid Nurul Iman dibangun dalam dua tahap, dan diresmikan pada tahun 1977. Masjid Muhammadan adalah salah satu masjid tertua di Indonesia sekaligus cagar budaya yang terletak di Kelurahan Pasa Gadang, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat. Masjid ini merupakan masjid peninggalan sejumlah Muslim keturunan India di Padang yang dibangun pada tahun 1843. Masjid dengan arsitektur bercorak India ini berada dalam kawasan Kota Tua Padang, yakni kawasan sehiliran Batang Arau di sekitar pelabuhan Muara. Keberadaan masjid ini turut berperan dalam penyebaran agama Islam dan perjalanan sejarah Kota Padang. Masjid ini berada di Jalan Pasa Batipuh yang berdiri berjejer mengikuti rangkaian bangunan tua di sepanjang jalan tersebut. Saat ini selain digunakan untuk aktivitas ibadah umat Islam, masjid berlantai tiga ini juga digunakan sebagai sarana pendidikan agama dan pesantren kilat bagi pelajar, bahkan juga menjadi salah satu daya tarik wisata terkenal di Kota Padang. Daftar Bacaan Colombijn, Freek. 2006. Paco – Paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di Indonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota. Yogyakarta: Ombak. Djoened, Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: balai Pustaka. Aritonang, Jan S. 2012. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Graves, Elizabeth E. 2007. Asal – Usul Elite Minangkabau Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Obor Indonesia. Kato, Tsuyoshi. 2008. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Balai Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar