Selasa, 01 September 2015

posisi ekonomi kelompok Cina di Hindia Belanda

POSISI EKONOMI KELOMPOK CINA DAN HINDIA BELANDA Secara sosio – ekonomi, posisi ekonomi yang kuat dari Warga Indonesia keturunan Cina telah berhadapan dengan ketertinggalan Warga Negara Indonesia asli. Secara historis, posisi ekonomi tersebut berawal dari kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang menjadikan orang Cina sebagai kelas perantara (go between) ataupun kalangan menengah (middlemen). Mereka menghubungkan kepentingan-kepentingan perdagangan dan induestri dari para elite penguasa kulit putih dengan warga bumi putera. Dengan sistem koneksi dengan penguasa politik kolonial dan sisitem jaringan kekerabatan (clan), mereka muncul sebagai kekuatan ekonomi yang sangat tangguh dan penting di Hindia Belanda. Mereka menguasai perdagangan enceran (ratailer) dan keagenan (grosir) yang meliputi perdagangan barang-barang kebutuhan sehari-hari, industri tekstil, penerbitan dan percetakan, perkebunan, pabrik gula, bisnis hiburan dan pertunjukan, dan sebagainya. Mereka membentuk suatu komunitas yang eksklusif dengan subkultur khas yang disebut kantong budaya pecinan. Sukses orang-orang Cina di samping karena kebijakan pemerintah kolonial Belanda dalam hal ini kompeni, juga karena budaya Cina (the old Chinese culture) yang ulet, hemat dan tekun. Karena itu mereka mampu menguasai perekonomian dan berada pada kelas menengah pada zaman kolonial. Pecinan merupakan daerah strategis pusat lalu lintas perekonomian yang terletak di tepi-tepi jalan raya yang berdektan dengan pasar di kota-kota besar Hindia Belanda. Potensi ekonomi mereka sebagai kaum konsumen jelas sangat kuat meskipun tidak terdapat suatu angka statistik yang memberikan gambaran pendapatan golongan ini setiap bulannya. Pada masa kolonial, pasar beras hampir dikuasai oleh para pedagang Cina yang memiliki ikatan yang kuat dengan elite setempat; para Priyai menggunakan ikatan tersebut untuk memonefikasikan panen padi diwilayahnya. Sehingga para petani berada pada posisi yang rentan, posisi yang bergantung. Di pasar mereka berhadapan dengan para saudagar Cina yang disokong oleh elit lokal dan menguasai akses menuju pasar melalui sewa pajak pintu gerbang dan pajak lainnya. Di beberapa daerah, kontrol saudagar-saudagar cina atas tanah bahkan jauh lebih besar: didaerah pedalaman sekitar Batavia mereka menyewa banyak tanah perkebunan swasta, yang didalamnya ditanam gula dan padi sebagai produk ekspor. Diwilayah pantai utara atau pesisir, mereka memperoleh akses atas bagian kepemilikan tanah yang cukup substansial yang dimiliki oleh para elite tersebut. Mereka juga aktif sebagai pemberi pinjaman. Pada periode ini dapat dikatakan Cina mengalami jaman keemasan dalam perkembangan ekonomi di Hindia, walaupun pola perdagangan orang Cina mengalami perubahan penting dari perantara dalam perdagangan internasional ke ekonomi pedesaan. Para pedagang Cina mendominasi pasar beras yang pada bulan-bulan sebelum panen meminjamkan uang kepada petanidengan tingkat bunga yang sangat tinggi, pada saat harga sedang tinggi dan suplai beras sangat sedikit. Pasar terintegrasikan dengan buruk oleh orang cina yang mendominasi pasar beras lokal, juga mendominasi perdagangan pasar-pasar kota, pengimpor utama beras, dengan biaya transaksi pengumpulan beras pada tingkat lokal sangat tinggi. Selain itu, orang Cina memiliki kecendrungan untuk bekerja bersama dan menciptakan suatu monopoli yang sebenarnya atas niaga beras dalam pasar impor. Monopoli lokal (kelompok) Cina perantara adalah bagian yang tidak terpisahkan dari politik ekonomi kolonial, yang memperoleh sebagain besar uangnya dari hasil menyewakan izin pengumpulan pajak kepada orang Cina yang sama. Perkumpulan orang-orang Cina (kongsi) berkompetisi untuk memperoleh sewa pajak-pajak tersebut dalam rangka untuk memperoleh akses ke daerah pedesaan, yang dibatsi oleh negara kolonial untuk melindungi petani. Orang cina mempunyai akses atas sumber modal yang relatif murah dan tingkat bunga yang sangat tinggi atas segmen lain dari pasar modal. Keuntungannya yaitu segmen pasar modal yang kecil tidak memiliki biaya transaksi yang besar, yang mendorong naiknya tingkat bunga atas pasar modal (pedesaan, informal) lainnya. Pada tahun-tahun awal STP muncul tanda-tanda bahwa kontrol pedagang Cina atas dasar padi dan permodalan menurun berkat suntukan uang segar kedalam ekonomi pedesaan. Armada Cina berdagang melalui pelabuhan-pelabuhan besar di Hindia Belanda, tanpa melihat jaringan dagang Makassar di timur raya di kurangi dan dialihkan ke Singapura sejak tahun 1870 – an. Para pedagang Cina menetap di Maluku dan membuka jaringan hubungan langsung dengan Singapura. Pedagang-pedagang Cina membawa beras dan barang impor lainnya bagi penduduk di Maluku. Para pedagang Inggris dan Cina memperkuat posisinya melalui pedagang-pedagang Eropa. Kebijakan petinggi kolonial terhadap orang Cina berkembang demikian rupa yang memungkinkan mereka muncul pada posisi perantara. Dengan posisi kunci sebagai penebas gerbang tol, penyelenggara rumah gadai, monopoli penjualan candu dan garam atas nama pemerintah colonial, orang Cina dengan leluasa memperluas jaringan. Sektor yang didominasi oleh orang Eropa tidak bisa dimasuki oleh orang Cina, seperti perkebunan, perdagangan ekspor-impor, perdagangan besar, dan perbankan. Namur disisi lain, meskipun penguasan tanah di luar kota dilarang oleh Undang-undang Agraria 1870, beberapa tanah partikelir yang berada di tangan Cina, sejak sebelum peraturan ini dikeluarkan, tetap dipertahankan. Kegiatan ekspor – impor barang untuk kepentingan masyarakat Eropa di Hindia Belanda sepenuhnya dikontrol oleh pengusaha Eropa. Begitu depresi ekonomi 1930 melanda, golongan Eropa mengalami kesulitan pemenuhan kebutuhan. Hal ini dibaca oleh pedagang Cina, dengan sigap mendirikan berbagai industri barang substituís. Cina mendominasi industri jenis konsumsi yang semula di impor ini sampai awal abad ke -21 DAFTAR BACAAN Lutien, Daan. 2012. Ekonomi Indonesia 1800 – 2010. Jakarta: Gramedia. Habib, Achmad. 2004. Konflik antara Etnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina – Jawa. Yogyakarta: LKiS. Rasyid, Abdul Asba. 2007. Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia. Jakarta: Obor Indonesia. Susanto, Budi. 2003. Identitas dan Post Kolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: KANISIUS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar