Selasa, 01 September 2015

keadaan masyarakat pada masa Bercocok tanam

I. Pendahuluan Bercocok Tanam lahir melalui proses yang panjang yang dilalui oleh manusia prasejarah. Setelah masa berburu dan mengumpul makanan, manusia prasejarah memasuki Masa Bercocok Tanam yang merupakan masa yang amat penting karena pada masa inilah terdapat penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam yang bertambah cepat. II. Pembahasan A. Pola menetap (Revolusi dalam kehidupan manusia) 1) Asal mula tradisi bercocok tanam Berdasarkan penelitian etnobotany yang dilakukan oleh para peneliti Rusia, diketahui bahwa 7 daerah tempat kepandaian bercocoktanam mula-mula dilakukan dan kemudian berkembang dengan menanam tanaman tertentu. Daerah tersebut adalah: • Daerah aliran sungai-sungai besar di Asia tenggara (Sungai Mekong, Salwin, Irawadi, dan lain-lain), yang menyebar ke Kepulauan Indonesi, Filipina, maupun kedaerah Sungai Gangga di India. Dari sinilah berasal tanaman Padi dan keladi (Colocasia antiquorum); • Daerah aliran sungai-sungai di Asia timur (seperti Sungai Yangtse, dan Huangho), dengan menghasilkan berbagai macam jenis sayuran Cina, pohon Murbei, teh dan kedele; • Asia Barat-Daya, termasuk daerah aliran sungai Tigris dan Alfurat di Irak, yang menyebar ke Irian, Afganistan, hingga daerah hulu sungai Sindu di Pakistan. Dari daerah ini berasal berbagai varietas gandum seperti barley (Hordeum vulgare) dan wheat (Triticum vulgare), berbagai jenis buah Eropa misalnya anggur; • Daerah laut Tengah, terutama Mesir, Palestina, lembah-lembah sungai di Italia dan Spanyol, yang menjadi tempat asal buah zaitun dan buah ara; • Daerah Afrika Timur terutama Abesinia, tempat berasal berbagai varietas gandum eleusine (Eleusine caracana) • Daerah sekitar hulu sungai Sinegal di Afrika Barat, tempat berasal varietas gandum fonio (Digitaria exilis) dan sorghum (sorghum vulgare); • Daerah Meksiko Selatan, tempat asal jagung, kapas, singkong dan ubi (Ipomoea batatas), yang kemudian menyebar kearah utara hingga daerah sungai Mississippi; • Daerah Peru, tempat berasalnya tanaman kentang, singkong dan ubi. Menurut para ahli Prasejarah, bercocok tanam dimulai sejak zaman Neolitik (Zaman Batu Baru), dan bahkan sudah di kenal sejak zaman paleolitikum (Zaman Batu Tua), ketika manusia masih hidup berburu dan meramu. Pada masa ini tampak jelas bahwa cara hidup berburu dan mengumpulkan makanan mulai ditinggalkan dan masyarakat sudah menjalankan cara hidup menetap di suatu tempat dan mengembangkan penghidupan baru berupa kegiatan bercocok tanam sederhana dan penjinakan hewan-hewan tertentu. Jika dilihat dari penemuan di Indonesia telah didiami secara luas, dan cenderung untuk mendiami tempat-tempat terbuka yang dekat dengan air seperti pinggir sungai, tepian danau, dan daerah pantai. Selain itu, juga ada yang berdiam di tempat yang agak tinggi dan bukit-bukit kecil yang dikelilingi sungai atau jurang serta di pagar oleh hutan. Hal ini dilakukan untuk menghindari serangan musuh atau gangguan binatang buas. Terkadang disekeliling tempat tinggalnya dibuat tanggul dan parit pertahanan. Cara yang digunakan untuk memanfaatkan hutan yang belukar dengan cara menebang dan membakar pohon, sehingga terciptalah ladang-ladang yang memberikan hasil pertanian walaupun hasil pertanian yang diperoleh masih sederhana. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, kegiatan berburu dan menangkap ikan terus dilakukan. Masyarakat yang sudah mulai berproduksi seperti ini adalah di Eropa, Asia Kecil, Afrika, India, Asia Timur, Asia Tenggara, termasuki Kepulauan Indonesia. Pada masa ini terdapat pola hidup menetap di suatu perkampungan yang terdiri dari tempat tinggal sederhana yang didiami secara kelompok dan oleh beberapa keluarga. Pada tahap ini, populasi sudah mulai meningkat dan kegiatan-kegiatan dalam kehidupan perkampungan yang terutama untuk mencukupi kehidupan bersama, mulai diatur dan di bagi antar anggota masyarakat. Ada beberapa teori yang menyatakan tentang kehidupan masyarakat pada masa bercocok tanam ini. Teori Pertama, menyatakan bahwa pola perkampungan dari satu masyarakat pertanian ditentukan oleh beberapa faktor fisik, seperti kadaan topografi, iklim, dan potensi pertanian. Teori Kedua, menyatakan bahwa pola perkampungan bertolak dari sistem ekonomi yang berkembang dalam masyarakat, sedangkan sistem pemilikan tanah adalah faktor yang menentukan sistem ekonomi dalam masyarakat pertanian. Perubahan tata kehidupan yang ditandai oleh perubahan cara memenuhi kebutuhan hidup berlangsung secara perlahan-lahan. Untuk tempat tinggal, kemungkinan pada masa itu terbentuk desa-desa kecil semacam pedukuhan. Setiap dukuh terdiri dari tempat tinggal yang dibangun secara tidak beraturan. Pada awalnya, bentuk rumah pada tingkat permukaan agak kecil dan berbentuk bulatan-bulatan dengan atap yang dibuat dari daun-daunan yang langsung menempel di tanah. Rumah yang seperti diyakini sebagai bangunan tertua di Indonesia dan masih terdapat sampai sekarang seperti di Timor, Papua/Irian Jaya, Kalimantan Barat, Nikobar dan Andaman. Bangunan tersebut berkembang membentuk yang lebih besar yang di bangun di atas tiang, yang berbentuk persegi panjang dan dapat menampung beberapa keluarga inti. Rumah seperti ini di bangun karena perkampungan baru yang dibawa oleh para pendukung tradisi beliung persegi, serta meningkatnya jumlah penduduk yang semakin memerlukan tempat tinggal lebih banyak. Selain itu, karena pengelompokan sosial mengarah kepada Sistem Komunal. Rumah-rumah tersebut biasanya di bangun berdekatan dengan ladang atau pun sawah mereka, sehingga situasi bercocok tanam liar selalu berpindah-pindah untuk mencari tanah yang lebih subur. Tujuan dibangunnya bangunan yang seperti ini untuk menghindari bahaya banjir atau serangan binatang buas. 2) Sistem pemerintahan dan masyarakat Masa bercocok tanam ini, masyarakat sudah mengenal adanya sistem pemerintahan. Walaupun sisitem pemerintahan yang dikenalnya masih sederhana yang disebut Pemerintahan Desa. Pemimpin dalam suatu masyarakat mereka sebut sebagai Kepala Suku (Kepala Desa) yang dipilih dengan beberapa kriteria atau syarat, yaitu seorang pemimpin harus mempunyai kelebihan dibandingkan dengan masyarakat biasa seperti kelebihan kuat fisiknya dan mampu memimpin masyarakatnya. Selain itu, pemimpin juga harus dicintai dan dipercayai oleh masyarakatnya. Setelah dikenalnya sistem pemerintahan maka kehidupan masyarakat menjadi tentram, damai dan sejahtera. Selain itu, mereka juga mengenal asas gotong royong dan kekeluargaan dalam menjalankan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan. Misalnya bergotong royong dalam membuat tempat tinggal dan mencari bahan kebutuhan hidup sehari-hari, serta menghadapi bencana alam atau bahaya. Pengaturan bahan makanan sehari-hari dan pengaturan air untuk bercocok tanam dilakukan secara teratur dan penuh rasa kekeluargaan. B. Manusia pendukung dan kebudayaan Boscon-Hoabinh 1. Manusia pendukung a) Ciri-ciri Manusia pendukung pada masa ini sudah mulai menetap, bercocok tanam, berternak, mengembangkan perikanan, serta mengembangkan kebudayaan agraris walaupun dalam tingkatan yang masih sederhana. Mereka telah mampu membuat tempat tinggal yang permanen dan membuat kerajinan, membuat aturan hidup bersama dalam satu komunitas, seperti pembagian tugas. Oleh karena adanya kekosongan tentang manusia pada masa ini, maka kita harus memperhatikan sisa-sisa manusia dari negeri tetangga seperti di Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Di Thailand ditemukan ciri-ciri Mongoloid yang ditemukan dari Ban Kao, dengan ciri-ciri: Bentuk kepala bundar (brakikefal), Muka lebar, dan gigi seri yang menembilang. Temuan-temuan rangka di Indo – China juga menunjukkan ciri Mongoloid yang dominan, meskipun ciri-ciri Austro-melanesoid ada sedikit. Oleh sebab itu, Indonesia Timur sangat terpengaruh dengan ras Mongoloid. Walaupun sampai sekarang mereka terpengaruh oleh ras Austro-melanesoid dengan Mongoloid. Selain itu, ada juga jenis manusia pendukung dari masa ini adalah manusia dari ras Papua-Melanesoid, karena ditemukan fosil manusia ras Papua-Melanesoid baik pada kebudayaan Tulang Sampung maupun di bukit-bukit kerang di Sumatera. b) Populasi Masa bercocok tanam kelompok manusia sudah mulai besar, karena adanya pertanian dan peternakan yang dapat memenuhi makanan masyarakat dalam jumlah yang besar. Dalam periode ini, anak-anak sangat menguntungkan dalam masyarakat pertanian, karena mereka dapat membantu dalam berbagai kegiatan. Sehingga, dalam masa bercocok tanamm ini jumlah anak dalam tiap keluarga lebih banyak dari masa sebelumnya. Masa ini dikenal dengan adanya pola hidup menetap. Hal ini menimbulkan masalah baru dalam masyarakat, karena penduduk tidak berpindah-pindah sehingga banyak sampah dan kotoran dan terjadilah pencemaran untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia. Hal ini menyebabkan berbagai wabah penyakit dalam kehidupan masyarakat seperti penyakit schistosomiasis dan rhinoscleroma, sehingga dukun pada saat ini merangkap sebagai pemimpin kepercayaan masyarakat pula. 2. Kebudayaan Boscon-Hoabinh  Kebudayaan Hoa-Binh Terjadi antara 5.000 – 3.000 SM karena pada masa itu bahan-bahan mulai banyak, sehingga mulai terlihat menguatnya suatu budaya-budaya Hoa-Binh yang memiliki karakter Mesolitik, bahkan dengan ciri Neolitik seperti Pemolesan sebahagian benda-benda tajam. Pada saat itu, ada ekspansi suatu kelompok manusia yang datang ke Semenanjung yaitu orang Melanesia; berkulit hitam, yang datang dari Cina Selatan, namun sangat berbeda dari orang hitam Afrika. Kedatangan orang-orang ini terjadi dua periode; periode pertama terdiri dari orang-orang yang berperawakan pendek, kulitnya sangat hitam, yang mengajarkan teknik pemolesan sebagian kepada orang-orang Australoid. Hasil produksi dari tahap pertama ini terdapat di Tonkin, di tepi kanan Sungai Merah dan terutama di wilayah Hoa-Binh yang menjadi nama dari Kebudayaan ini.  Kebudayaan Bac-Son Kebudayaan ini serempak dengan gelombang kedua kelompok orang Melanesia yang menyebar di Indo-China dari arah Utara ke Selatan, yang merupakan asal mula dari kebudayaan Bac-Son. Dengan ciri manusianya lebih tinggi, kulitnya lebih putih dan rambutnya berombak, serta mereka dianggap sebagai manusia pembuat alat baru seperti kapak pendek yang di peroleh dengan memotong sebuah kapak berisi dua dan memoles bagian tajamnya dengan apik. Orang tersebut juuga banyak menggunakan kerang dan tulang serta mengenal tembikar yang dibuat dengan teknik keranjang. Di daerah Tonkin di Indo-China ditemukan pusat kebudayaan prasejarah, yaitu di pegunungan Boscon dan di daerah Hoabinh yang letaknya berdekatan. Alat-alat yang dutemukan di daerah tersebut menunjukkan adanya suatu kebudayaan yang disebut Mesolithikum. Kapak yang ditemukan di daerah tersebut merupakan kapak dengan cara pengeerjaannya yang kasar, disamping itu juga terdapat kapak yang sudah di asah (Proto-neolithikum). Kapak-kapak tersebut adalah Kapak Sumatera dan Kapak Pendek (Pebbles). Mme Madeleine Colani (Ahli prasejarah Prancis) menamakan kebudayaan tersebut dengan Kebudayaan Boscon-Hoabonh. Tonkin merupakan letak pusat dari kebudayaan Mesolithikum di Asia Tenggara yang tersebar ke berbagai daerah dan sampai ke Indonesia melalui Thailand dan Malaysia Barat. Selain ditemukannya perkakas, juga ditemukan tulang manusia, yang menunjukkan bahwa Tonkin didiami oleh dua golongan bangsa, yaitu jenis Papua-Melanesoide dan jenis Europacide. Selain, kedua golongan bangsa tersebuit juga ada jenis Mongoloide dan Australoide. Papua-Melanesoide mempunyai penyebaran yang paling luas di daerah Selatan, yaitu di Hindia Belakang, Indonesia sampai ke pulau-pulau lautan Teduh. Bangsa ini lah yang berkebudayaan Mesolithikum yang belum di asah (Pebbles), sedangkan kecakapan mengasah (Proto-Neolithikum) merupakan hasil pengaruh dari Mongoloid yang peradabannya sudah tinggi. Kebudayaan Mesolithikum di daerah asalnya Tonkin tidak ditemukan Flakes, sedangkan dari Abris Sous Roche flakes jenis ini sangat banyak ditemukan begitupun di Luzon (Filipina). Kebudayaan flakes datang dari Asia melalui Jepang, Formosa dan Filipina. Hal inik dikuatkan dengan kenyataan bahwa di Sumatera Timur, Malaysia Barat dan Hindia Belakang tidak ditemukan flakes. III. Penutup Pada masa bercocok tanam ini masyarakat mengalami perubahan struktur yang mana pada tahap sebelumnya mereka bergantung keoada alam dengan hidup nomaden yang mencari alam yang subur untuk dijadikan sebagai tempat tinggal yang mampu untuk memnuhi kebutuhan pokok mereka dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Namun, dengan bergantinya zaman, maka masyarakat prasejarah dari hidup nomaden sudah mulai mengenal pola hidup menetap serta mereka melakuka bercocok tanam untuk mermnuhi kebutuhan pokok mereka baik menanam padi di swan maupun di ladang. Dengan demikian, mereka sudah mampu untuk mengolah alam yang ada serta mereka sudah mampu menghasilkan berbagai jenis peralatan atau perkakas yang digunakan atau diperkukan pada saat itu. Sehingga kebudayaan masyarakat pada masa bercocok tanam sudah mulai maju dari pada masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa ini didukung oleh manuisia ras Austra-melanesia yang pada saat ini masih berada di Papua, dengan nama Papua-melanesia. Pada masa ini juga berkembang suatu kebudayaan yang disebut dengan Kebudayaan Bacson-Hoabinh yang merupakan kebudayaan di daerah Tonkin di China yang memberi pengaruh penting kepada Indonesia. Pada kebudayaan ini ada beberapa hasil kebudayaannya seperti kapak Sumatera dan Kapak Pendek. IV. Sumber Bernard Philippe Groslier. 2007. Indo Cina: Persilangan Budaya. Jakarta: Gramedia. Junaedi Al Anshori. 2007. Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah sampai Masa Prolamasi Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: PT. Mitra Aksara Penelitian. Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi: Pokok-Pokok Etnografi II. Jakarta: Rineka Cipta. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2007. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Jakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar