Selasa, 01 September 2015

perkembangan historiografi abad 19 dan 20

1. Perkembangan Historiografi Eropa abad ke 19 dan 20 Sampai abad ke 19 banyak sekali pemikiran-pemikiran yang berkembang, karena padea masa sebelum abad ke 19 pemikiran masih kabur. Sehingga sangat sulit untuk mendeteksi sejauh mana kekuatan kebenaran hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Karena mengalami berbagai hambatan, yaitu (a) kemerosotan teori-teori tentang eksplanasi kausalitas sejarah dan pandangan filsafat sejarah abad pertengahan karena munculnya kelompok rasionalis yang mengurangi arti penting penyelidikan sejarah; (b) ketiadaan koleksi sumber asli, sehingga pengujian fakta sejarah terbentur kepada sumbernya; (c) lemahnya metode kritik sejarah dalam mengolah bahan; (d) kegagalan penulis sejarah dalam mengembangkan pengajaran sejarah secara sistematis dan kompeten sehingga tetep mengaburkan eksistensinya, serta yang terpenting adalah masalah metodenya. Hal ini lah yang menyebabkan pada abad ke 19 menjadi klimaks kesadaran dan pemikiran sejarah. Namun terjadi simpang siur, karena pada abad ke 19 melahirkan kebudayaan yang pluralistis (beragam), muncul berbagai aliran Materialistis-naturalisme yang bersandar pada filsafat ilmu alam, maka hidup kembali idealisme romantik sebagai pengaruh rasionalisme. Orang yang beraliran isme bukanlah orang yang profesional membahas bidang penelitian sejarah tetapi sangat berpengaruh terhadap perkembangan historiografi modern abad ke 19. Pada masa sebelum Renaisans Bangsa Eropa memang agak tertinggal dibandingkan Bangsa Asia atau Timur tengah. Namun demikian, setelah Renaisans dan Humanisme peradaban Eropa mengalami penyimpangan dari pola umum, yaitu berkembang dengan pesat. Pada abad 19-20, Bangsa Eropa mampu menunjukan superioritasnya dibanding bangsa lain. Faktor-faktor yang menyebabkan penyimpangan dari pola umum itu adalah sebagai berikut: • Rasionalisme, yaitu suatu alian pemikiran yang menganggap bahwa rasio merupakan kekuatan utama, mendasar atau sumber dari peradaban manusia. Rasionalisme timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan alam yang didasarkan atas daya pikir manusia. • Reformasi, yaitu suatu gerakan religious (Kristen) yang dahsyat dan didorong oleh perkembangan rasionalisme dan humanisme. Karena pada masa abad pertengahan, menurut Gereja, Injil tidak bisa dibaca oleh semua orang karena Injil hak monopoli kaum Rohaniawan. Namun pihak rasionalisme mengatakan bahwa semua orang dibekali rasio, sehingga bila menghendaki dan dengan cara belajar juga memiliki kemampuan membaca Injil. Banyak tokoh yang memprotes monopoli Gereja, diantaranya M. Luther King, Awingli, Calvin dan lain sebagainya. Mereka berpendapat dan berjuang bahwa setiap individu boleh membaca dan menerjemahkan kitab suci (Injil). Disinilah Nampak penonjolan individu yang dinilai tinggi, sehingga dalam perkembangan selanjutnya memunculkan faham Induvidualisme. • Nasionalisme, yaitu gerakan reformasi dari Lethur dan kawan-kawan menentang Gereja di Roma dengan mempropagandakan penerjamahan Injil kedalam berbagai bahasa agar dapat dibaca dan dipahami oleh semua orang. Hasilnya terjadi gerakan penerjemahan Injil kedalam berbagai bahasa dan ini menyebabkan timbulnya rasa nasionalsme. • Ekspansi, yaitu perluasan baik dalam bidang ekonomi, politik, geografis dan kebudayaan. Hal ini didorong akibat banyak petualang yang berhasil menemukan tempat-tempat baru dan memiliki peradaban yang luar biasa yang tidak kalah maju dengan benua Eropa. Perkembangan Histiriografi pada abad ke 20 sangat berkembang pesat karena perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan metodelogi sejarah memperkaya Histiriografi. Pada abad ini sejarah lebih membuat penulis baru dan memunculkan bidang kajian garapan sejarah tematis karena sejarah dikaji secara khusus yang berorientasi kepada rakyat kecil, atau penulisan sejarah lokal maupun sejarah tematis lainya. Sehingga memunculkan aneka ragam histiriografi modern sehingga penulisan sejarah beraneka ragam tetapi tidak lepas dari metodelogi penelitian. 2. Ciri historiografi abad ke 19 dan 20 a. Ciri-ciri historiografi abad ke 19 • Penghargaan kembali pada zaman pertengahan • Munculnya filsafat sejarah • Munculnya teori orang besar • Timbulnya nasionalisme • Munculnya liberalism. b. Ciri-ciri historiografi abad 20 • Muncul ketika dikenalkannya pendekatan-pendekatan baru dalam sejarah ekonomi dan sejarah intelektual. • Menaruh perhatian terhadap studi sejarah sebagai past politics (politik masa lalu). • Penulisan sejarah sudah mulai dilakukan secara mikro. • Histiriografi sejarah sudah mulai dilakukan secara lokal, mulai mempedulikan sejarah lisan. • Penulisan sejarah tidak hanya fokus pada orang-orang yang berkuasa saja tetapi juga orang-orang atau rakyat kecil. • Sudah bayak dilakukan penulisan sejarah ekonomi, intelektual. • Penulisan sejarah berorientasi pada pokok persoalan penelitian tertentu. • Menggunakan ilmu – ilmu sosial lain sebagai konsep dan teoritis. 3. Aliran yang muncul pada abad ke 19 dan 20  Aliran pada abad ke 19 a) Aliran Rasionalisme Dalam penjelasan mengenai Rasionalisme akan mengambil mengenai penjelasan dari tokoh Rasionalisme yaitu Voltaire, rasionalisme menolak visi tradisional yang bersumberkan kitab suci, dan memperjuangkan rasio sebagai interpretasi sejarah secara teologis. Voltaire juga berpendapat Tuhan telah menarik diri dari dalam pengaturan sejarah, mungkin Tuhan masih mengaturnya, namun tidak ikut campur dalam proses sejarah. Menurut voltaire, tujuan dari sejarah itu ditentukan oleh akal manusia, akal berperan menentukan jalan sejarah. Perkembangan proses sejarah manusia dalam mencapai kebahagiaan itu ditentukan oleh akal manusia. b) Aliran Positivisme Pada saat itu juga berkembang positivisme yang dipelopori oleh Agustus Comte. Positivisme merupakan aliran pemikiran (kejiwaan) yang mengajarkan bahwa ilmu harus dapat membuat hukum-hukumnya. Dengan demikian, hanya ilmu yang dilengkapi dengan hukum-hukumlah yang berhak diakui sebagai ilmu pengetahuan. c) Aliran Romantisme Aliran romantisme muncul karena reaksi terhadap aliran positivisme dan juga karena didorong gerakan nasionalisme. Dalam sejarah penulisan sejarah atau Historiografi, istilah romantik lebih berkaitan dengan sudut pandang politik. Romantik, yaitu visi yang konservatif mengenai negara dan masyarakat. Penulisan sejarah romantik adalah produk dan produsen dari historisme. Sedangkan romantik adalah berkaitan dengan kesadaran historis dan spirit untuk mempelajari dan menulis masa lampau miliknya sendiri (daerah, negerinya, sukunya atau bangsanya sendiri). Memang belum bisa ditemukan definisi Historiografi romantik secara pasti, namun karena bentuk dari ketidaksepakatan dengan aliran positivisme dan rasionalime, aliran romantik menyatakan tidak benar jika rasio itu merupakan prinsip yang menentukan segalanya, karena ada faktor yang terlupakan oleh rasionalisme yaitu sentimen, emosi atau perasaan. d) Metode Sejarah Kritis Metode Sejarah kritis muncul karena adanya kecenderungan untuk mengkritisi aliran sebelumnya terutama romantisme dimana penulisan sejarah dengan romantisme membuat sejarah itu akan terasa subjektif. Metode Sejarah kritis dipelopori oleh Leopold Von Ranken (1795-1886), dia memberikan kritikan terhadap sejarawan lama yang beraliran romntis. Ranken beranggapan bahwa peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi lebih menarik dari pada peristiwa yang diromantisir. Oleh karena itu dia menolak segala hal yang berbau khayalan dalam penulisan sejarah dan memilih berpegang teguh kepada fakta-fakta. Ranken berkata, "sejarah baru mulai apabila dokumen dapat dipahami, lagi pula, cukup banyak dokumen yang dapat dipercaya". Adanya metode kritis ini, maka sejarah sah sebagai ilmu sejarah. Menjelang akhir abad ke-19 kebenaran yang dikemukakan oleh Ranken mulai diragukan, sebab menulis sejarah sebagaimana yang terjadi dinilai bertentangan dengan psikologi. Sadar atau tidak, setiap orang yang menulis pasti mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Fakta sejarah bukanlah batu bata yang tinggal dipasang saja, melainkan fakta yang dipilih dengan sengaja oleh sejarawan. Seperti dikemukakan oleh Carl L. Becker (1873-1945), pemujaan terhadap fakta hanyalah ilusi. Sementara itu James Harvey Robinson (1863-1936) mengatakan bahwa sejarah kritis kita hanya dapat menangkap permukaan, tidak dapat menangkap realitas dibawah dan tidak dapat memahami perilaku manusia. Atas dasar pemikiran itu maka muncul gagasan barutentang perlunya sejarah baru atau 'new perpective on historical writing'. Berbeda dengan historiografi modern yang dipelopori Ranken yang menekankan kritik, maka sejarah baru menekankan perlunya penggunaan ilmu-ilmu sosial, sekaligus mendekatkan kembali ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, sehingga seringkali sejarah baru itu disebut sebagai sejarah sosial.  Aliran abad ke 20 Pada abad ke 20 lahirlah 2 teori, yaitu The New History dan Annales. Aliran New History berasal dari sekelompok sejarawan Amerika James H. Robinson, Fredick jackson Turner, Charles Beard dan Vernon L. Parrington. Yang menyatakan bahwa sejarah tidak lagi hanya berkenaan dengan kegiatan pilitik, tetapi sejarah mencakup semua bekas dan peninggalannya yang pernah difikirkan dan dilukiskan manusia sejak ia dilahirkan ke bumi, serta mencakup seluruh rekonstruksi tentang seluruh aspek kegiatan manusia, terutamaperluasan cakupan sejarah sosial seperti kebiasaan, emosi, mentalitet dari orang yang tidak di kenal sekalipun. Aliran ini merupakan sumbangan terpenting dalam penulisan sejarah kritis abad ke-19, karena selain mengandalkan data dokumen, tetapi juga memperhatikan fakta-fakta sosial dan ekonomi melalui statistik dan data lapangan seperti yang dikerjakan oleh ilmuwan sosial pada umumnya, serta lebih menekankan kepada sejarah tematis. Kedua, Aliran Annales di Perancis yang di pelopori oleh Marc Bloch dan Lucien le Febvre melalui jurnal ilmiahnya dengan nama Annales. Pada penulisannya lebih menekankan kepada rangkaian unit-unit yang homogen dengan menguji koherasi dan ketepatan analisis jangka panjang dengan perhitungan data statistik. Aliran ini telah memberikan sumbangan yang berarti untuk histiriografi abad 20 yang modern dalam artian sesungguhnya khusus dala bidang kajian ekonomi dan sosial. Aliran annales lebih bertolak kepada implikasi metodelogis yang membuat sejarawan lebih bersungguh-sungguh dalam penelitiannya, penelitian sejarah itu adalah manusia dan waktu yang dikenal dengan istilah “ History is a science of men in time “ Annales berhasil berhasi mengembangkan studi sejarah sosial yang menghasilkan cabang-cabang studi sejarah yag dikenal sejarah tematis. Sumbangan terbesar dari Annales ini adalah kepeloporan dalam mengabunggkan berbagai pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam studi sejarah, sehingga melahirkan konsep-konsep teoritis, sehingga menghasil garapan tersendiri yang dikenal dengan “ No Theory, no History” fernand Braundel menegaskan bahwa sudah saatnya sejarawan harus melengkapi dirinya dengan konsep-konsep teoritis untuk menggarap bahan studinya. 4. Sejarawan dan karyanya  Pada abad ke 19 • Leopold von Ranke Leopold von Ranke lahirkan pada 21 Desember 1795, di daerah Wieche, Saxon yaitu wilayah yang terletak di Jerman Timur, dia adalah anak seorang pengacara dan keturunan keluarga teologi. Setelah selesai studi sekolah menengah Schulforta, ia masuk ke Universitas Leipsic, mengambil bidang Teologi dan ilmu-ilmu dari dunia klasik (Yunani-Romawi) dengan mengambil konsentrasi ilmu bahasa (Filologi), penterjemahan dan penguraian teks-teks lama. Kemudian, setelah selesai kuliah, ia bekerja sebagai guru di Gymnasium Friedrichs di Frankfurt an der Oder, selama tujuh tahun yaitu dari tahun 1818-1825 M. Minatnya dalam bidang sejarah, itu semakin mendalam, setelah ia menjadi guru di Frankfurt. Sebenarnya pada masa itulah, ia membuat keputusan untuk menumpukkan usaha pengkajian sejarah dan meninggalkan bidang-bidang yang telah dipelajarinya di Universitas dulu. Leopold von Ranke meninggal di Berlin pada tanggal 23 Mei 1886 dalam usia 91 tahun. Dengan perubahan minat itu, ia menghasilkan karya sejarahnya yang pertama dengan judul Sejarah Bangsa-Bangsa Latin dan Tantonik: 1494-1514 ( Geschichte de romanischen und germanischen Volker 1494 bis 1514 ) yang telah diterbitkan pada tahun 1824.Dengan penerbitan ini, ia dikukuhkan menjadi Professor Ekstraordinarius di Universitas Berlin dalam bidang Sejarah. Pada waktu berusia 82 tahun, Ranke mulai menulis apa saja yang dianggap sebagai “Sejarah Dunia”, yaitu menceritakan sejarah perkembangan peradaban Eropa dari zaman Yunani-Romawi kuno sampai akhir zaman pertengahan. Buku karyanya yang pertama berjudul Sejarah Bangsa-Bangsa Latin dan Tentonic ini telah melambangkan sikap kritisnya terhadap sebuah karya sejarah. Pada hakekatnya, buku pertama ini merupakan sejarah politik dan hubungan diplomatik yang biasa saja. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah pandangan-pandangan yang dimuatnya dalam lampiran yang berjudul “Kritik Terhadap Sejarawan Modern”(Zur Kritik Neuever Geschichtsscheiber) yang secara keseluruhan merupakan analisis terhadap sumber-sumber sejarah dikajinya. Analisis itu menunjukkan bahwa sumber-sumber sejarah, seperti teks-teks lama harus dikaji dengan kritik sumber sebelum di terima dan di gunakan sebagai sumber sejarah. Kebanyakan karya-karya Ranke, lebih ditekankan pada bidang sejarah politik dan kegiatan-kegiatan hubungan diplomatik. Ini bukan berarti bahwa peristiwa-peristiwa lain yang “bukan politik”, sebagai bukan peristiwa sejarah. Semua peristiwa tersebut adalah peristiwa sejarah tetapi merupakan bagian dari politik dan kegiatan berpolitik. Konsep sejarahnya yang seperti itu, telah menyebabkan berlakunya pembentukan konsep sejarah yang dikenal sebagai sejarah yang saintifik. Sejarah yang saintifik sama artinya dengan sejarah itu seratus persen objektif, bahwa kebenaran boleh dibuktikan secara saintifik dan objektif. Konstribusi lainnya dari Ranke ialah memperkenalkan Seminar dan Quelllinkritik ( kajian yang kritis terhadap sumber-sumber sejarah), sebagai kaidah dalam penelitian sejarah. Seminar dan Quellinkritik, ini merupakan bagian dari pada proses penelitian yang diharapkan dapat menghasilkan karya sejarah yang mengandung peristiwa-peristiwa Wei Es Eigentlich Gewesen (seperti sebenarnya berlaku ). • Hegel Hegel dilahirkan di Stuttgart pada 27 Agustus 1770. Di Masa kecilnya, besarbesaran lahap Membaca literatur, surat kabar, esai Filsafat, Tentang Tulisan-Tulisan dan berbagai topik Lainnya. Masa Kanak-kanaknya Yang Rajin Membaca sebagian disebabkan Dibuat ibunya Yang Luar Biasa Progresif Yang Aktif mengasuh perkembangan intelektual anak-anaknya. Keluarga Hegel adalah sebuah kelas menengah Keluarga Yang Mapan di Stuttgart. Ayahnya seorang Pegawai Negeri KESAWAN Administrasi pemerintahan di Württemberg. Hegel adalah seorang anak sakit-sakitan Yang dan hampir Dunia karena sarana meninggal mencapai Usia Enam tahun. Hegel dikenal sebagai filsuf Yang menggunakan dialektika sebagai metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel hal doa adalah Lalu didamaikan dipertentangkan yang, Biasa dikenal atau Artikel Baru tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran) dan sintesis (kesatuan Kontradiksi). Pengiyaan Harus Berupa pengertian Konsep Yang indrawi empris. Pengertian terkandung di dalamnya Yang berasal Dari kata-kata sehari-hari, spontan, Bukan reflektif, sehingga terkesan abstrak, Umum, statis, dan konseptual. Pengertian tersebut diterangkan KESAWAN Secara Radikal agar-agar proses pemikirannya kehilangan ketegasan dan mencair. Pengingkaran adalah Konsep Pertama dilawanartikan (pengiyaan) pengertian, sehingga muncul pengertian Konsep Yang kedua kosong, formal, tak tentu, dan tak Terbatas. Menurut Hegel, Konsep KESAWAN kedua sesungguhnya Tersimpan pengertian Dari Konsep Pertama yang. Konsep pemikiran kedua Suami Juga diterangkan Secara Radikal agar-agar kehilangan ketegasan dan mencair. Kontradiksi merupakan motor dialektika (jalan kebenaran Menuju) Maka Kontradiksi Harus Mampu Membuat Konsep Yang bertahan dan saling mengevaluasi. Kesatuan Kontradiksi menjadi alat untuk melengkapi pengertian doa Konsep Yang saling berlawanan agar-agar Tercipta Konsep Baru Yang lebih ideal. Dalam The Philosophy of Right, Hegel menguraikan filsafat sosial dan politik yang melihat kehidupan sosial modern berlangsung dalam tiga jagat (atau lembaga) utama; keluarga, masyarakat sipil dan Negara. Kehidupan keluarga, di tandai dengan hubungan cinta dan kewajiban, sangat berlawanan dengan kehidupan di masyarakat sipil jagat hubungan pertukaran ekonomi yang perburuan kepentingan diri murninya memungkinkata perwujudan atas apa yang di sebut Hegel sebagai “subjective particulary” (Individualitas, via prduksi dan konsumsi) yang jelas-jelas menghianati karakter sosial mendalam (via pembagian tenaga kerja, spesialisasi dan sistem kebutuhan) yang menjadi ciri kehidupan ekonomi modern (kapitalis). Hidup dalam keluarga dan hidup dalam masyarakat sipil ini di mungkinkan dan di bawahi dalam konteks hukum dan peraturan lebih luas melalui “Negara Administratif” (apa yang biasa kita sebut sebagai “pemerintahan”). Namun demikian, konsep tentang “state power” sebagai komunitas etis mencakup ketiga jagat hidup itu (keluarga, masyarakat sipil, dan administrasi negara). Hal itu sangat bisa di lihat sebagai struktur abstrak, yang menandakan suatu cara saling berkaitan yang memungkinkan berbagai bentuk kehidupan yang terkandung di dalamnya (praktik-praktik sosial dan industri dari keluarga, masyarakat sipil, dan “pemerintah”). Klaim tentang ethicality Negara sebagai struktur abstrak dilandaskan, sebagaimana di jelaskan The Philosophy of Right, dalam reasionalitas soial itulah yang di pandang sebagai ekspresi tertinggi. Klaim bahwa dukungan kuat Hegel terhadap Negara (sebagai struktur abstrak atau cara berhubungan) di terjemahkan langsung sebagai pertahanan empiris atas “keadaan yang sebenarnya ada”. Hal itu dipandang merupakan suatu titik lemah, sehingga terbuka bagi pengkajian kritis tentang apakah, dan dalam kondisi apa, imajiner global alternatif mungkin itu di persyaratkan. Hal ini kontrak dengan penolakan kritis tentang problem Negara, mengajukan kembali pertanyaan tentang Negara (dalam istilah Hegel) pada zaman kita. • Aguste Comte Auguste Comte (1798), lahir di Montpellier, Perancis, adalah pendiri positivisme. Dia menganalogikan masyarakat layaknya organ tubuh manusia. Tidak heran, karena filsafatnya masih terpengaruh oleh aliran biologis/naturalisme. Dia terkenal dengan hukum tiga tahap perkembangan masyarakat: teologis, metafisik, positif. Hukum ini ia sebutkan dalam karyanya “Course of Positive Philosophy” yang ia buat sebanyak 6 jilid dari tahun 1830 sampai dengan 1842. Konsepsinya dalam buku ini didasari akan kekhawatirannya akan kacaunya masyarakat sehingga mereka membutuhkan suatu metode untuk mencapai keteraturan sosial. Comte menemukan itu ada dalam gejala-gejala ilmu pengetahuan dan kaitan antara semua ilmu tersebut. Buku ini pun menjadi dasar bagi aliran positivisme. Karya monumentalnya yang berikutnya adalah “System of Positive Politics” yang menjelaskan tentang agama humanitas. Latar belakang pembuatan karya besar keduanya itu dipengaruhi oleh pujaan hatinya Clothilde de Vaux yang sangat membekas dalam jiwanya. Menariknya kedua karyanya tersebut seperti sebuah seri dari pemikiran Comte. Dalam Course, Comte mengatakan sains bertransformasi menjadi filsafat; sedangkan dalam System, filsafat bertransformasi menjadi agama. Buku dengan judul asli Cours de Philosophie Positive (Pelajaran Filsafat Positif) adalah garapan dari karyanya sebelumnya yaitu Systeme de philosophie positive (1824) (Sistem filsafat positif). Course memuat dua tujuan, yaitu fondasi untuk sosiologi (yang ia sebut fisika sosial) dan koordinasi semua ilmu positif. Dalam tiga volume awal, ia menjelaskan lima ilmu sains yang fundamental (matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi) dan tiga volume berikutnya adalah ilmu sosial. Ilmu-ilmu alam telah ada pada waktu itu dan Comte hanya meringkas poin-poin dari doktrin dan metodologi utama mereka dengan membangunnya lewat analisa objektif dan historis. Awal mula positivisme yang dikembangkan Comte adalah kesadarannya akan Revolusi Perancis yang menurutnya adalah krisis yang cenderung ke arah reorganisasi masyarakat secara besar-besaran. Ia menyatakan bahwa reorganisasi itu hanya berhasil, masyarakat yang adil akan tercipta, jika orang mengembangkan metode berpikir yang baru tentang masyarakat. Comte melihatnya dalam sains dan mencoba mensistematisasikan metode itu. Lahirlah metode positif yang sesuai hukum-hukum ilmu alam: diarahkan pada fakta-fakta, pada hal yang berguna, ke arah kepastian, dan kecermatan. Sarana bantu bagi sains seperti observasi, eksperimen, dan perbandingan ditambah dengan metode historis yang ditujukan untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan di masyarakat. Comte memberikan analisis komprehensif tentang kesatuan filosofis dan metodologis yang jadi dasar ilmu alam dan sosial dalam Course. Dalam bukunya itu, Comte memperlihatkan bahwa evolusi filosofis yang dialami matematika, geometri, astronomi, fisika, kimia, biologi dan fisika sosial (sosiologi) adalah melewati tahapan perkembangan yang sistematis. Ia menjelaskan urutan gejala-gejala (statika) dan kaitan organis gejala-gejala (dinamika) ilmu-ilmu tersebut. Dalam ilmu alam, aspek statis dan dinamis yang berkaitan dengan objek yang mati dinamakan tetap dan gerak, sedangkan yang berkaitan dengan objek yang hidup dinamakan anatomi dan fisiologi. Dalam ilmu sosial yang mengambil objek gejala-gejala masyarakat, aspek-aspek tadi berhubungan dengan tata (keteraturan) dan kemajuan. Tata merupakan dasar dan hasil kemajuan, dan kemajuan hanyalah mungkin atas dasar tata. Jadi hukum-hukum yang harus ditemukan dengan pertolongan metode positif dapat dibagi dalam dua kelas, yaitu hukum-hukum mengenai urutan gejala-gejala sosial dan hukum-hukum mengenai kaitan gejala-gejala itu. Comte menjelaskan urutan gejala-gejala sosial dinyatakan dalam tiga tahap. Tahapan yang dibuat menunjukkan cara berpikir masyarakat pada saat itu. Titik awalnya adalah tahapan teologis dimana pikiran manusia saat itu dalam pencarian akan asal dan sebab akhir segala sesuatu, manusia mencari hal-hal itu dalam kekuatan-kekuatan alam dan benda-benda angkasa yang ia anggap punya kekuatan. Pada tahapan berikutnya, tahap metafisik, keterkaitan dengan sesuatu yang supranatural digantikan dengan entitas yang abstrak. Manusia mengalihkan perhatiannya pada kecintaan akan tanah air, pembelaan terhadap bangsa atau nasionalisme, dan sebagainya. Tahap ini adalah tahap kritis pemikiran teologis dan persiapan menuju stadium positif. Pada tahap positif yang mana akal manusia telah mencapai puncak ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, orang tidak lagi mencari pengetahuan absolut tentang sebab-sebab akhir tapi menanyakan kaitan statis dan dinamis gejala-gejala. Dalam kaitan antara gejala-gejala sosial, Comte menyebutkan meskipun cara pandang zaman prapositif lebih rendah daripada di zaman positif, namun cara berpikir di zaman terdahulu ini memberi sumbangan bernilai berupa konsensus atas seperangkat pandangan dan kepercayaan bersama yang penting bagi keteraturan sosial. Tahap positif tidak mungkin ada tanpa adanya tahap teologis yang mendahuluinya dan tahap metafisik yang menjembataninya. Benih-benih menuju tahapan berikutnya selalu ada, seperti pada masa fetisisme timbul pemikiran untuk beralih dari cara hidup yang berpindah-pindah menjadi menetap sebagai hasil usaha menjelaskan gejala dengan takhayul primitif. Masa itu digantikan dengan masa politeistik dimana manusia mulai menganggap adanya suatu kekuatan di luar dirinya dan menjadi monoteistik saat manusia mulai mengenal tuhan. Tapi sistem kepercayaan seperti itu mendorong manusia untuk mudah memisahkan kehidupan rohani dan duniawi sehingga kehidupannya diarahkan pada kekuatan lain yang sifatnya abstrak. Saat ilmu pengetahuan berkembang sebagai hasil kesempurnaan akal manusia, teknologi diciptakan dan manusia menuju tahap dimana kekuatan itu diarahkan pada benda-benda atau materi. Industri menjadi tipe organisasi sosial di era positif. Sedangkan tipe keteraturan sosial di tahap teologis mencerminkan tipe organisasi sosial yang militer. Di tahap metafisik, dominan dengan hukum karena masyarakat saat itu didominasi oleh mereka yang berusaha menarik doktrin sosial politik dari pemahaman tentang hukum alam. Pandangannya ini sempat dipuja oleh John Stuart Mill di Inggris. Bahkan ia terang-terangan menyatakan diri sebagai pengikutnya dan menjadi penyebar paham positivisme yang giat. Tapi kekecewaan mendalam harus ditelannya begitu Comte mengeluarkan buku fenomenalnya yang kedua, System of Positive Politics. Banyak yang menganggap Comte sudah gila karena cinta karena dalam bukunya tersebut, ia menyatakan pentingnya suatu agama di zaman positif (yang seharusnya ada dalam tahap teologis). Comte menyebutnya dengan “agama humanitas”. Ini adalah perubahan mendasar dalam karya Comte, ia berbalik dari seorang positivis menjadi seorang yang humanis. Kritik yang dilontarkan padanya pun berdatangan dari kaum positivis, termasuk dari Mill yang menganggap Comte dengan Course-nya adalah “Comte yang baik”, sedangkan Comte dengan System-nya adalah “Comte yang buruk”. Dalam bukunya ini, akal yang semula diagungkannya seakan dimerosotkan di bawah apa yang kita sebut cinta. Memang pada waktu menulis System, ia sedang dimabuk cinta atau bahkan bisa disebut mengalami cinta sejati sepanjang hidupnya. Ia mempersembahkan buku ini untuk mengenang istri yang tidak pernah digaulinya, yaitu Clothilde de Vaux. Kekuatan emosi begitu kentara dalam karyanya yang satu ini. Comte seakan lebih mengagungkan perasaan daripada akal budi dalam mempertahankan tata keteraturan sosial yang ia kemukakan dahulu. Bagi Comte, karyanya ini adalah realisasi dari metode positif yang ditujukan untuk keteraturan sosial dalam bukunya yang pertama. Jika kita ingat metode positif yang juga memakai metode historis untuk mengamati masyarakat, Comte melihat bahwa agama telah menjadi tonggak keteraturan sosial yang utama di masa lampau. Agama merupakan dasar untuk konsensus universal dalam masyarakat dan juga mendorong identifikasi emosional individu dan meningkatkan altruisme. Namun bukan agama tradisional seperti yang dipahami pada masa teologis yang dimaksud Comte. Ia menciptakan suatu agama baru yang mencakup hukum-hukum universal yang memungkinkan keteraturan sosial itu eksis, yaitu agama humanitas. Sumber utama agama humanitas adalah moralitas dan cinta yang sesuai dengan standar-standar intelektual dan persyaratan positivisme. Runtuhnya tatanan sosial tradisional yang mengarah pada anarki akibat Revolusi Perancis, menyebabkan Comte melihat moral sebagai sesuatu yang harus menundukkan ilmu sehingga reorganisasi masyarakat menjadi sempurna. Bertolak dari gagasan pikiran adalah hamba bagi hati, Comte melihat dalam biologi tabel otak manusia terdiri dari 18 fungsi internal, yaitu 10 kekuatan afektif, 5 fungsi intelektual, dan 3 sifat praktis. Dari sini tampak dominannya hati dalam meningkatkan energi dan menurunkan harga diri. Bagi Comte yang positivis, ini bukan psikologi, tapi semata-mata biologi. Moral menjadi suatu kekuatan yang dominan dan Comte melihatnya dalam agama. Agama memiliki 2 fungsi: fungsi moral, agama seharusnya mengatur setiap individu; dan fungsi politik, agama seharusnya menyatukan semua individu. Agama juga memiliki tiga komponen, sesuai dengan pembagian tabel otak, yaitu doktrin, ibadah, dan hukum moral (disiplin). “Cinta datang dan membawa kita pada iman, sepanjang pertumbuhan itu bersifat spontan; tapi begitu tersistematisasi, keyakinanlah yang membangun tindakan cinta”, kata Comte. Karyanya ini kurang diterima secara luas. Dalam Course, kita akan menemukan dasar-dasar dari positivisme yang berkembang hingga sekarang. Course sangat meninggikan akal sebagai tahapan akhir perkembangan manusia. Perkembangan masyarakat dari semenjak ketergantungannya akan supranatural, alam metafisik, dan berlanjut kepada alam pikiran positif dijelaskan dalam Course sebagai suatu fase yang pasti. Namun, gagasan Comte yang optimistis ini seakan ditafsirkan kembali dalam System bahwa yang diinginkan adalah reorganisasi masyarakat atas dasar humanitas. Comte, terlepas dari perkembangan jiwanya setelah ditinggal mati Clothilde, telah mengubah pandangannya menjadi moralistik dan penuh gairah cinta. Baginya, reorganisasi masyarakat baru sempurna jika dibangun atas cinta dan moralitas dalam agama yang ia sebut agama humanitas. Setinggi apapun akal manusia, tetap tidak akan bisa mengalahkan moralitas yang menyatukan mereka. Comte melihat ini lewat sejarah agama zaman dahulu. Dengan menyingkirkan sifat tradisionalnya dan fokus pada faktor-faktor dari agama yang menyatukan masyarakat, Comte tetap menghendaki positivisme sebagai wujud akhir masyarakat yang teratur. • Karl Marx Karl Marx (lahir di Trier, Jerman, 5 Mei 1818 meninggal di London, 14 Maret 1883 pada umur 64 tahun) adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia. Karl Marx adalah seseorang yang lahir dari keluarga progresif Yahudi. Marx menjalani sekolah di rumah sampai ia berumur 13 tahun.Setelah lulus dari Gymnasium Trier, Marx melanjutkan pendidikan nya di Universitas Bonn jurusan hukum pada tahun 1835. Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang berasal dari kaum terpelajar dan politikus. Marx memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme. Karya dari Marc adalah Akhir dari Kapitalisme Marx menulis bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas kerja internasional. Komunisme bukanlah hubungan yang diciptakan oleh negara, tetapi merupakan cara ideal untuk keadaan negara pada saat ini. Hasil dari pergerakan ini yang akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis.Komunisme adalah pergerakan yang akan menghilangkan keadaan yang ada pada saat ini.Dan hasil dari pergerakan ini menciptakan hasil dari yang lingkungan yang ada dari saat ini. Hubungan antara Marx dan Marxism adalah titik kontroversi.Marxism tetap berpengaruh dan kontroversial dalam bidang akademi dan politik sampai saat ini. Pada abad 20 • Lucien Febvre Lucien Febvre seorang sejarawan perancis yang hidup pada masa kekacauan dunia akibat perang dunia 1 dan ke 2. Lucien Febvre ( 1878 – 1956 ) lahir dari seorang guru bahasa yang ahli dalam filologi. Febvre lahir di Nancy, bagian timur laut Perancis dan menghabiskan masa kecilnya di Lorraine . Oleh ayahnya, Febvre kecil dikenalkan dan diajari mengenai teks – teks kuno dan tata bahasa yang kelak akan sangat berpengaruh dengan cara berpikirnya. Masa kecil Febvre dihabiskan dengan belajar di Lycee louis – le – Grand dan ketika sudah menanjak remaja, pada umur 20 tahun dia pindah ke paris untuk masuk di Ecole Normale Supreiure. Ketika di sana, Febvre memfokuskan diri belajar mengenai sejarah dan geografi. Febvre telah menelorkan pandangan modernisme yang itu di luar pandangan sejarah yang kolot dan kuno. Dia tidak menyukai penggabungan – penggabungan dan rekonstruksi sejarah hanya berdasarkan pada peletakan fakta – fakta yang sistematis dan monoton. Lucien Febvre lebih menyelaraskan rekonstruksi fakta – fakta sejarah dengan dibumbui oleh teori – teori sosial seperti antropologi, sosiologi, ekonomi, geografi, filologi dan lainnya. Ini terlihat pada karya tesisnya yang berjudul Philip the Second’ dan ‘France-Comte’ yang diterbitkan tahun 1911 . Tesis ini menggambarkan apa yang Febvre katakan sebagai pendekatan sosial dalam penulisan sejarah. Febvre merekonstruksi kehidupan penduduk desa dan kota dalam sebuah provinsi tradisional kecil di Prancis dengan cara menyelaraskan fakta-fakta dengan keadaan geografi dan lingkungan dalam masa itu. Pemikiran yang mempengaruhi Febvre pada saat kemudian adalah mengenai Teologi atau lebih spesifiknya mengenai protestanisme. Ada beberapa penelitian yang dilakukan Febvre untuk studi mengenai teologi ini. Dia berusaha mengungkap bagaimana agama diterjemahkan oleh para biarawan dan pendeta – pendeta yang kemudian disampaikan ke masyarakat umum. Febvre sendiri menolak anggapan bahwa ada kekuatan – kekuatan di luar manusia. Dia sangat tidak setuju dengan terkekangnya manusia dengan agama dan cara berpikir kuno. Hal ini akan sangat berbahaya jika diterapkan pada kondisi masyarakat modern. Pemikiran ini hampir sama dengan seperti apa yang telah dikatakan oleh Marx bahwa “ agama adalah candu rakyat “ . Manusia akan teralienasi dengan dirinya sendiri jika agama ada dalam kehidupannya. Dengan agama, manusia akan semakin asing dengan dirinya sendiri dan akan kehilangan jati dirinya sendiri sebagai manusia. Karir sejarawan Febvre sedikit terhenti ketika perang dunia berkecamuk di daratan dunia. Dibantu oleh Henri Berr, pendiri jurnal Revue de Synthese Historique, Febvre sebenarnya berencana menulis sebuah kajian yang lebih umum mengenai hubungan antara sejarah dan geografi, namun rencana tersebut terganggu oleh pecahnya Perang Dunia 1 . Dia harus ikut berjuang membela negaranya pada perang ini. Ketika mulai ikut perang dia berpangkat sersan, dan ketika berhenti berperang dia sudah menjabat sebagai kapten. Salah satu karya Febvre yang fenomenal adalah Philippe II et la France-Comte’ : Etude d’histoire politique, religious et sociale. Karya ini berbicara mengenai wilayah France Comte’ ketika berada ddalam genggaman Philippe II dari Spanyol abad XVI. Yang menarik adalah Febvre tidak berbicara banyak tentang Philippe II. Tetapi lebih menelaah wilayah France-Comte’ yang unik. Buku ini menggambarkan dengan total analisis Febvre tentang konsep “kehidupan interior provinsi”. Ia juga melukiskan secara kompleks keadaan sosio-geografis masyarakat France-Comte’. Febvre semakin tergila-gila dengan hubungan antara sejarah dengan geografi. Terbitlah buku La Terre et l’evolution humaine. Buku ini berpijak pada pandangan Friedrich Ratzel bahwa lingkungan fisik menjadi fondasi tetap dari perasaan dan aspirasi manusia yang berubah-ubah dan juga menentukan nasib orang-orang dengan sangat kejam ( A geographical Introduction of History). Febvre menyampaikan 2 keberatan terhadap pandangan Ratzelian. Pertama, Febvre menekankan keberagaman respons yang diberikan terhadap lingkungan tertentu. Kedua, pengaruh lingkungan terhadap manusia selalu dimediasi ole hide-ide dan struktur-struktur masyarakat. Terbitlah buku A New Kind Of History. Dalam buku ini Febvre mengkritisi bahwa munculnya borjuasi menghubungkan 2 periode. Mengenai keterlibatan borjuasi pun sebenarnya telah dikritisi oleh Alexis De Torcqueville. Febvre semakin terjebak dalam periode abad renaisans dan reformasi. Lalu muncullah biografi mengenai Martin Luther. Buku ini berjudul Martin Luther : A Destiny. Luther dikenal sebagai tokoh reformasi agama Kristen dari dikotomi religiusitas. Pendukungnya memang banyak tetapi musunya juga banyak. Nietzsche pun sebagai kritikus moralitas terkejam mengakui bahwa karya-karya Luther merupakan karya-karya pedoman sekaligus karya sastra terbaik. Orang-orang berpendapat bahwa karya terbaik Febvre sekaligus terkontroversial adalah The Problem of Unbelief in The Sixteenth Century yang mencermati bahwa tuduhan Abel Lefrance terhadap Gargantua dan Pantagruel karya Francois Rebelais sebagai serangan terhadap Kristen adalah tak berdasar. Dia menunjukkan bahwa tuduhan yang ditunjukkan kepada Rebelais adalah ambigu setelah menjelaskan ide-ide para penerbit kecil, teolog, kontroversialis dan penyair. “Ateis” dijelaskan hanya sebagai rasa ngawur untuk menibulkan pelbagai kontroversi seputar itu. Febvre menolak alasan bahwa krya itu adalah karya seorang ateis. Menurutnya karya itu merupakan karya seseorang yang dipengaruhi oleh tradisi umum abad pertengahan memparodikan yang sakral. Akibat tanggapannya ini Febvre mendapat kritik tajam sekaligus membangun diskusi lebih lanjut mengenai masalah ini. Ada satu karya Febvre yang tidak dibahas oleh Marnie Hughes Warrington yaitu The Coming Of the Books. Buku ini dibuat berdua dengan Henri Jean Martin. Buku ini menarik karena membahas tentang perkembangan peredaran buku yang menjadi awal mula kapitalisme cetak berkuasa di dunia. Ada yang membuat buku-buku meledak dalam kurun waktu 1500-1600. Ini disebabkan pada saat itu Eropa sedang berada dalam ledakan kesejahteraan. Sehingga usaha percetakan menjadi alat komoditas para borjuis untuk mengendalikan kapitalisasi. Penulis terlaris dalam kurun waktu 1500-1550 adalah Martin Luther. Di antara selutuh buku berbahasa Jerman yang terjual antara tahun 1518-1525 buku Luther mencapai sepertiganya. Anderson mengungkapkan 3 fakta menarik tentang bahasa cetak. (1) mereka menciptakan ajang pertukaran dan komunikasi terunifikasi di bawah bahasa Latin dan di atas bahasa ibu-ibu lisan (2) Kapitalisme cetak memberikan kepastian baru kepada bahasa, membentuk membangun bangsa (3) Kapitelisme cetak menciptakan bahasa kekuasaan yang jenisnya berlainan dengan bahasa ibu yang dipakai dalam urusan administratif. Tidak dapat dipungkiri bahwa Febvre memberikan sumbangsih yang besar dalam perkembangan substansial sejarah. Sekilas kalau kita melihat Febvre kita menampilkan sosok Sartono Kartodirjo. Dua-duanya tidak selalu mengkultuskan seseorang dan selalu terlibat dalam substansi politik. Terakhir, Kant menjelaskan bahwa melihat sejarah perlu memenuhi 2 persyaratan, sebagai filsuf : memahami apa yang penting dalam kehidupan manusia, sebagai sejarawan : dapat menggabungkan sejarah dari semua zaman dan semua manusia dalam arti keseluruhan. • Marc Bloch March Bloch lahir di Perancis pada tahun 1886. Dia adalah putra dari Gustave Bloch, seorang Profesor bidang sejarah kuno keturunan Yahudi. Walaupun seorang sejarawan, Bloch juga memberikan kontribusinya pada Prancis ketika Perang Dunia II sebagai tentara berpangkat Sersa. Ketika belajar di Ecole Normale, Bloch menyelenggarakan debat antara sejarawan Belgia dan Prancis tentang hakikat dan natur sejarah. Ketika dia memformulasikan pandangan-pandangannya sendiri tentang sejarah, Bloch mulainya dengan membandingkan antara sejarah (ilmu sosial) dengan sains (ilmu alam). Menurutnya, sejarah dan sains memiliki perbedaan dalam menyelesaikan suatu fenomena. Dia berpendapat bahwa sains hanya mempersepsi fenomena yang ada hanya dengan kesadarannya, sedangkan sejarah mempersepsi fenomena yang terjadi dengan kesadarannya maupun kesadaran para agen sejarah. Ini berarti bahwa menurutnya, keragaman interpretasi terhadap kejadian atau fenomena yang telah terjadi dimungkinkan. Melalui penelitian terhadap catatan milik gereja di Paris, Bloch mencoba menghasilkan laporan sistematis tentang aspek sosial, legal, dan ekonomi dari seseorang yang terbebas terhadap jerat feodalisme di daerah tertentu. Selama setahun dia membuat peta yang menggambarkan lenyapnya perbudakan di Ile-de-France dan mengamati hakikat dan natur perbudakan di sana. Setelah itu, karya-karya Bloch semakin banyak diantaranya adalah: ladang-ladang terbuka dan tertutup di pedesaan Prancis, pembukaan tanah di sekitar Paris abad XI dan XII, peran pendeta dalam masyarakat dan ekonomi, kaitan antara monarki dan kaum tani, bentuk-bentuk peradilan feodal, dll. Dalam artikel pertamanya Blanche de Castille et les serfs du chaptire de Paris, dia mengemukakan bahwa ordonansi kerajaan tahunn 1251-1252 yang membebaskan beberapa petani, adalah merupakan tindakan monarki yang lemah. Dalam artikel-artikel yang dibuatnya, Bloch memberikan bukti-bukti yang mengagumkan hasil dari studi kritisnya. Dalm karyanya yang berjudul Les forms de la rupture de l’hommage dans l’ncien droit feiodal, dia memberikan sudut pandang yang berbeda dalam menyajikan masalah dalam sejarah. Melalui karyanya tersebut, Bloch berpendapat bahwa beragamnya tata cara masyarakat menentang jerat feodal menjadikan bukti bahwa peraturan dan praktek feodal tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainya. dia juga menulis karya yang berjudul Les rois thaumaturges. Dalam karyanya ini, Bloch menilik dari kedokteran, psikologi, ikonografi, dan antropologi. Dia menganalisis asal usul, perkembangan, dan lenyapnya kepercayaan di Inggris dan Prancis pada kekuatan mukjizat kerajaan dalam mengobati penyakit radang kelenjar (Scrofula, seperti TBC). Menurut Bloch, sekitar tahun 1000-an Raja Prancis Robert memakai kekuatan ini untuk mengukuhkan legitimasi dan hak turun temurun keluarganya. Selanjutnya, Raja Henry I dan II mengadopsi praktek ini untuk mengendalikan kekuasaannya terhadap kaum pendeta. Menurut Bloch, klaim kekuasaan mereka bergabung dengan cita-cita Kristen tentang pemimpin yang terpusat, menghasilkan nuansa dan warna kerajaan. Oleh sebab itu, kekuasaan kerajaan di Prancis dan Inggris tidak saja dalam bentuk militer , legal, dan kelembagaan tapi juga dalam bentuk-bentuk mukjizat. Bloch juga menulis tentang peran perbandingan dalam sejarah. Meskipun dia bukan pencetus metode perbandingan, Dalam Pour une histoirie compareie des societies europeienes, bahwa masa depan sejarah tergantung pada pemakain metode perbandingan. Dalam karyanya ini terdapat 2 cara perbandingan. Pertama, mereka bisa mencari fenomena universal dalam budaya-budaya yang jauh masa ruangnya. Kedua, mereka bisa melakukan studi paralel terhadap masyarakat-masyarakat yang semasa. Bloch lebih memilih cara yang kedua, karena menurutnya itu lebih memberikan hasil yang lebih banyak dan lebih jelas. • Oswald Spengler Pemikiran sejarah visioner dari filusuf sejarah Oswald Spengler (1880-1836) tertuang dalam karya monumental yaitu Decline of the West (keruntuhan dunia Barat). Karya yang diterbitkan pada 1918. Dalam karyanya, Spengler meyakini adanya kesamaan dasar dalam sejarah kebudayaan besar dunia, sehingga memungkinkan ia dapat memprediksi secara umum tentang jalannya sejarah masa depan (the course of future history). Predeksi Spengler terutama menyatakan bahwa kebudayaan Barat telah menemui ajalnya (doom), setelah ia melihat awal dan berakhirnya kebudayaan Barat (the beginning of the end). Ia percaya bahwa setiap kebudayaan berlangsung melalui sebuah siklus mirip dengan siklus kehidupan organisme. Kebudayaan dilahirkan, tumbuh kuat (grow strong), melemah (weaken), dan akhirnya mati (die). Oswald Spengler yang dilahirkan di Blankenburg, Jerman Tengah berpandangan bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan waktu sekitar seribu tahun. Dalam karya monumentalnya Spengler meramalkan keruntuhan Eropa. Ramalan itu didasarkan atas keyakinan bahwa gerak sejarah ditentukan oleh hukum alam (fatum), yang dalam bahasa Jerman disebut schiecksal. Dalil Spengler ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta. Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai wujud dari fatum. Fatum adalah hukum alam yang menjadi dasar segala hukum kosmos, setiap kejadian, setiap peristiwa akan terjadi lagi dan terulang lagi. Tiap-tiap masa pasti datang menurut waktunya, Itulah keharusan alam yang mesti terjadi. Seperti halnya historical materialism, paham Spengler tentang kebudayaan pasti runtuh apabila sudah melewati puncak kebesarannya. Oleh sebab itu keruntuhan suatu kebudayaan dapat diramalkan terlebih dahulu menurut perhitungan. Suatu kebudayaan mendekati keruntuhan apabila kultur sudah menjadi civilization (kebudayaan yang sudah tidak dapat tumbuh lagi). Apabila kultur sudah kehilangan jiwanya, maka daya cipta dan gerak sejarah akan membeku. Lebih lanjut Spengler membedakan dua pengertian yakni kultur dan zivilisation. Istilah pertama adalah kebudayaan yang masih hidup, sedangkan yang kedua adalah peradaban, atau kebudayaan yang telah mati. Dalam Decline of the West terangkum filsafat Spengler yang terangkum dalam tiga konsep yaitu relativisme, pesimisme dan determinisme. Pesimisme berati perkembangan masyarakat ditentukan oleh fatum, bukan manusia sehingga manusia hidup dalam sikap pesimis. Tidak mampu merubah keadaan. Dalam dunia Islam termasuk kelompok Jabariyah. Selanjutnya, determinisme berarti manusia tidak bisa menentukan jalannya sejarah. Perjalanan sejarah ditentukan oleh faktor dari luar diri manusia. Dan yang terakhir adalah relativisme. pandangan ini berarti merupakan konsekuensi bahwa sejarah tidak memiliki patokan yang jelas dan masing-masing kebudayaan memiliki isinya sendiri-sendiri. Dengan demikian suatu kebudayaan tidak pernah bisa dimengerti oleh kebudayaan lain. • Arnold Toynbee (1881-1975) Karya utama dari filusuf Inggris, Arnold Toybe adalah A Study of History. Tulisan ini banyak menimbulkan perdebatan panjang sejak zaman Hegel (1770-1831). Karya ini terdiri dari 12 jilid. Tiga jilid pertama terbit tahun 1934, tiga jilid kedua terbit tahun 1939, selanjutnya jilid tujuh sampai sepuluh terbit 15 tahun kemudian. Dasar karya besarnya tersebut adalah saat dimulainya Perang Dunia I. Toynbee sadar akan adanya kesamaan antara sejarah Yunani dan Romawi kuno dengan masa itu. Dengan demikian dia beranggapan mungkin ada kesamaan pola dimanapun dalam sejarah umat manusia, seperti halnya yang tercantum dalam Decline of the West karya Oswald Spengler. Prediksi Spengler terutama menyatakan bahwa kebudayaan Barat telah menemui ajalnya (doom) setelah dia melihat awal dari berakhirnya kebudayaan Barat. Spengler menggambarkan sikap pesimitis peran manusia dalam mempertahankan kehidupannya. Arnold Toynbee tidak puas dengan teori Spengler. Alasannya karena Spengler hanya mempelajari di peradaban yang sangat tidak memadahi dan pesimitis. Sehingga dalam karyanya A Study of History Toynbe menyatakan pemikiran visionernya untuk menjawab persoalan timbul-tenggelamnya peradaban dengan teorinya Challenge and Response (tantangan dan jawaban). Ia memberi contoh tentang kelahiran peradaban Mesir yang menurut pendapatnya merupakan sebuah respon terhadap tantangan kegersangan lingkungan alam sekitarnya yang mengancamnya, yaitu Padang Pasir Sahara. Dihadapkan pada tantangan ini, Mesir Kuno mengeringkan rawa-rawa di wilayah Sungai Nil bagian selatan dan diterusan dengan segala respons positif sehingga melahirkan peradaban besar dalam sejarah. Toynbe lebih menekankan peran manusia yang memiliki kekuatan untuk mengubah perjalanan masa depan dan tetap menjaga peradapan dari kehancuran. Ini tentu berbeda dengan Spengler yang beranggapan bahwa kehidupan kebudayaan manusia sama dengan kehidupan mahluk lainnya. Menurut Toynbe, unit yang tepat dalam studi sejarah bukanlah negara-negara bangsa (nation-states) atau periode, tetapi masyarakat secara keseluruhan. Dia meneliti sedikitnya 21 kebudayaan di dunia. Hasil dari temuannya itu menunjukkan bahwa timbul dan tenggelamnya kebudayaan disebabkan adanya Challenge and Response. Peradaban, menurut Toynbe, tumbuh karena adanya respon terhadap rangkaian tantangan-tantangan yang menjadikan sebuah spirit, seperti halnya di Mesir. Manusia merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan kekuatannya, manusia mampu menjawab tantangan yang ada. Itulah yang menyebabkan mengapa peradaban masa lampau mencapai panggung kemajuan yang tinggi. Arnold Toynbe adalah seorang filusuf sejarah yang berpandangan bahwa pola sejarah adalah siklis. Artinya sejarah itu berulang polanya. Adapun tujuan akhir sejarah menurut Toynbe adalah terciptanya masyarakat yang humanis kultural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar